Realita Soleh, Pejuang Nafkah yang ‘Bertempur’ dengan Langkah Tertatih

Posted on

Suasana pagi di Jalan Otista, Kota Bandung nampak tenang. Para pedagang kaki lima (PKL) baru berdatangan, mereka tampak sibuk menata barang jualan di gerobaknya. Ada penjual mangga harum manis, sawo, pakaian, topi, gorengan, dan lainnya.

Saat melintas di jalan itu, seorang pedagang yang mencuri perhatian infoJabar. Pedagang itu memegang tongkat besi, berjalan tertatih-tatih, saat menata minuman kemasan di gerobak biru dengan merk salah satu perusahaan air mineral.

Selain menata botol-botol minuman, pria tua itu nampak sibuk mengelap gerobak miliknya. Masih seperti tadi, pria itu menggunakan tongkat besi untuk menopang tubuhnya.

“Mau minuman apa a, yang dingin juga ada,” kata pria bernama Soleh saat membuka perbincangan dengan infoJabar, Rabu 3 September 2025.

Pria berusia 53 tahun itu sangat murah senyum, bahkan kepada infoJabar Soleh mempersilakan duduk di kursi plastik yang digunakannya untuk berjualan. Saat berbincang, pria asal Samarang Garut ini sudah berjualan minuman kemasan hingga rokok puluhan tahun lalu.

“Dulu jualan dijinjing, nenteng termos dan keranjang plastik, baru sekarang-sekarang jualan pakai gerobak. Gerobaknya ini dapat gratis dari perusahaan air mineral, asal air mineral yang saya jual merknya ini, jangan yang lain,” ungkap Soleh.

Soleh mengaku, dia sakit hingga sempat tidak dapat berjalan dengan baik sejak satu tahun ke belakang. “Saya alami syaraf kejepit, kakinya panjang sebelah, sudah setahun ke belakang. Sebelumnya yang jualan istri, sekarang sudah agak lebih baik bisa dorong gerobak sendiri, jadi jualan lagi,” tuturnya.

Sebelum lancar kembali mendorong gerobak, Soleh mengaku dibantu istrinya bernama Elin (43). Soleh mengatakan dia harus tetap berjualan demi anaknya yang masih sekolah.

“Anak dua, pertama cewek, lulusan SMK, sudah kerja di toko batik di Bali, namanya Sofi. Kedua namanya Aditya, masih sekolah kelas 4. Meski yang gede sudah kerja, saya harus tetap berjualan demi menafkahi keluarga,” ujarnya.

Selain itu, setiap bulannya dia harus membayar kontrakan Rp700 ribu. “Kontrakan sebulan 700 ribu, ngontrak di daerah Nyengseret, belum jajan anak dan makan,” tambahnya.

Soleh mengakui, jika tempat dia berjualan ada di zona merah PKL. Soleh mengaku terpaksa berjualan di pinggir jalan demi mendapatkan banyak pembeli.

“Alhamdulillah barang punya sendiri, gerobak saja hasil bantuan. Tahu (aturan PKL), hari Senin saja enggak boleh jualan, jadi jalan ini bersih setiap Senin. Razia dadakan juga suka ada, tapi suka ada imbauan, kalau diimbau ya sudah ulang saja, saya enggak pernah melawan karena takut, amit-amit ya (gerobak dibawa Satpol PP),” jelasnya.

Soleh menyebut, meski barang jualannya tidak mudah basi seperti yang menjual makanan, buah atau gorengan. Dia mengeluhkan penurunan pembelian, apalagi akhir-akhir ini kondisi perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

“Sebelumnya kebagian Rp150 ribu per hari, sekarang paling Rp50 ribu bawa ke rumah atau paling gede Rp70 ribu. Selain sepi, pedagang juga banyak, tapi pembeli jarang,” tuturnya.

Belum lagi jika ada yang melakukan pungutan liar (pungli). “Kadang ada kadang enggak, kalau ada saya kasih Rp2 ribu. Ya, saya kasih, asal jangan maksa,” tambahnya.

Pedagang lainnya, Munawar mengaku, dia lebih baik berjualan di pinggir jalan dari pada di dalam kawasan Tegalega. “Saya jualan di pinggir aja, memang di dalam pembelinya banyak, tapi yang minta-mintanya banyak” ujar Munawar.

Penjual gorengan itu menuturkan, dia tak permanen berjualan di sana saja. Di waktu-waktu tertentu dia kerap pindah berjualan. “Kadang ke SD, pengajian, atau keramaian lainnya,” ucapnya.