Peyeum dan Soekarno

Posted on

Saat Konferensi Asia Afrika (KAA) berlangsung di Bandung tahun 1955, salah satu hidangan utama para tamu dari berbagai negara adalah peuyeum. Dua tempat yang dijadikan tempat penyajiannya adalah Gedung Pakuan dan Hotel Savoy Homann.

Peuyeum merupakan makanan tradisional orang Sunda, khususnya di wilayah Bandung dan sekitarnya. Terbuat dari olahan Singkong yang difermentasi dan memiliki cita rasa yang khas. Cara membuat peuyeum adalah dengan menyiapkan bahan dasar singkong, air, dan ragi.

Diyakini, peuyeum dapat menghangatkan tubuh, sebagai cemilan. Ragi sebagai bahan fermentasi menjadi faktor utama yang menimbulkan efek hangat. Cocok dengan iklim Bandung yang cenderung sejuk dibanding daerah lain.

Saking nikmatnya peuyeum, seperti yang disajikan di KAA dalam bentuk colenak (dicocol/dicolek enak), Soekarno dibuat ketagihan. Hampir setiap waktu, saat masa perjuangan di Bandung sebelum kemerdekaan, peuyeum selalu menemaninya.

Colenak yang disajikan di KAA buatan Murdi Putra, Cidurian Bandung. Sampai sekarang turun temurun dari beberapa generasi masih lestari. Namun, harus berjuang dengan kuliner Bandung lainnya, yang terkenal penuh inovasi.

Alkisah, dinukilkan dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, karya Cindy Adams, 1966, hlm. 116, melintas wartawan di hadapan Soekarno yang sedang mencari tulisan untuk korannya. Lalu Soekarno menyapa, akan membuatkan tulisan asal dibayar 10 rupiah. Namun, wartawan tersebut seolah akan mempercepat gowesannya, tanda menolak dan tidak setuju. Lalu Soekarno kembali menurunkan menjadi 5 Rupiah, namun tidak ada jawaban. Soekarno akhirnya menurunkannya lagi, menjadi 2 Rupiah. Sontak wartawan tersebut berhenti dan menjawab, “setuju!”

Sang Wartawan menyandarkan sepeda ke dinding rumah Soekarno, sedangkan Soekarno masuk ke rumah dan langsung menulis seluruh tajuk dengan mesin ketik, termasuk ada tambahan dengan pena. Dengan 1.000 karakter kata dalam waktu 15 menit, tulisan selesai.

Semua dilakukan Soekarno, hanya untuk menjamu tamu teman sekelasnya, bernama Sutoto, agar bisa membeli kopi dan Peuyeum. Pada saat bersamaan, Soekarno tidak memiliki uang.

Peuyeum kesukaan Soekarno itu berasal dari kawasan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Sebuah dataran tinggi sejuk, memiliki kesuburan dan kontur tanah yang baik. Awalnya, singkong yang ditanam masyarakat disepanjang kawasan perbukitan Bandung Utara, mulai dari Cimenyan hingga Manglayang, diperuntukkan memenuhi kebutuhan tepung tapioka untuk roti makanan orang Belanda.

Spektrum peuyeum saat ini semakin variatif dalam pembuatan kuliner, di tengah arus urbanisasi yang deras. Dulu, singkong hanya dimanfaatkan untuk pembuatan keripik, kecimpring, gendar atau peuyeum yang memiliki kekuatan tahan lama. Saat ini, pembuatan Bolu Peuyeum atau Kue Molen Peuyem, giat dilakukan para pembuat makanan, bagian dari pengembangan bisnis global.

Meski demikian, sentra-sentra pembuatan peuyeum dalam pusaran masyarakat urban cenderung tergerus, mengingat peralihan zaman yang serba cepat dan instan. Belum lagi ketersediaan lahan yang terus tergerus oleh pengembangan pemukiman.

Saat pertengahan tahun 1980-an dan awal 1990-an, Saya sering menyaksikan pedagang dari atas Padasuka (Cimenyan), bergerombol ke bawah menggunakan tanggungan dengan berjalan kaki. Jumlahnya sangat banyak pada jam 3-4 jelang Subuh. Lalu berkumpul di perempatan Jl. Padasuka-Jl. Penguhu Haji Hasan Mustofa untuk menunggu angkot yang akan mengangkutnya ke berbagai daerah di Bandung. Adapun yang keluar kota, berjalan sampai terminal Cicaheum. Sungguh pemandangan yang mungkin tidak akan pernah lagi terlihat. Dengan beban berat dipikul, namun para pedagang masih tetap bisa ngobrol disertai canda.

Tidak heran, jika Soekarno saat menjadi Presiden, membentuk tim untuk membuat buku masakan Indonesia dari Sabang sampai Merauke untuk menyerap dan merekam resep masakan, serta budaya dapur Indonesia dengan daerah asalnya. Penantian panjangnya terwujud dalam buku Mustikarasa, yang diterbitkan Departemen Penerangan tahun 1967. Buku dengan tebal hampir 1.200 halaman ini juga bagian dari artefak sejarah keterlibatan pemerintah yang nyata dalam budaya makan dan politik pangan. Tentunya, peuyeum termasuk di dalam 1.600 resep masakan Nusantara yang termaktub dalam buku ini.

Siapa yang belum pernah nyoba peuyeum? Terkadang, orang di luar daerah Bandung suka memelesetkan peuyeum jadi peuyempuan (perempuan). Aya-aya wae

Zaini Shofari. Ketua Fraksi PPP DPRD Jawa Barat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *