Virli Fariham (30), warga Kampung Ciheulang Hilir, Karang Tengah, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, menjalani hari-hari sebagai ibu dengan tantangan yang tak semua orang bisa bayangkan. Dua anaknya, Rafa (10) dan Sunan (5), mengidap thalasemia mayor, kelainan darah genetik yang membuat mereka harus rutin menjalani transfusi darah setiap dua minggu sekali.
“Anak pertama waktu itu usia 8 bulan, tiba-tiba sakit-sakitan, kulitnya kuning banget. Kalau kata orang kampung kayak ‘konengeun,” cerita Virli kepada infoJabar, Minggu (18/5/2025).
Awalnya, ia tak menyangka kondisi itu serius. Tapi setelah pemeriksaan laboratorium di RS Sekarwangi, hemoglobin (HB) anak pertamanya hanya di angka 3, jauh di bawah batas normal yang berkisar di angka 12. Saat itu pun ia mulai panik.
“Kirain cuma transfusi sekali aja. Tapi bulan depannya kambuh lagi. Kuning lagi, HB turun lagi. Lama-lama dokter curiga ini bukan penyakit biasa. Disarankan periksa ke spesialis anak, akhirnya divonis thalasemia,” katanya.
Pengalaman pahit itu membuat Virli lebih sigap saat anak keduanya lahir. Ketika Sunan masih berusia 4 bulan, ia langsung memintanya diperiksa HB dan analisa darah. Hasilnya sama, Sunan juga mengidap thalasemia mayor.
“Saya langsung pasrah. Dokter juga bilang ini genetik, jadi kalau pasangan masih sama, kemungkinan besar anaknya juga bawa gen thalasemia,” ujarnya lirih.
Kini, Rafa sudah kelas 3 SD, sedangkan Sunan baru mau masuk TK. Keduanya tumbuh aktif, meski harus berkawan dengan transfusi dan obat-obatan seumur hidup.
Meski beban hidupnya tidak ringan, Virli mengaku tidak pernah mendapat bantuan khusus dari pemerintah atau lembaga lain. Semua biaya, selain transfusi yang ditanggung BPJS, ia tanggung sendiri.
“Bantuan nggak ada. Cuma bidan-bidan di puskesmas sudah tahu, jadi kalau mau cek HB suka dibantu. Tapi untuk yang lain ya mandiri semua,” ucap dia.
Virli bersyukur pelayanan di RS Bhayangkara Polri, tempat ia rutin membawa kedua anaknya, cukup baik. “Di sana dikasih obat-obatan thalasemia juga. Kalau di rumah sakit sebelumnya enggak dapat,” tambahnya.
Tak setiap proses pengobatan thalasemia anaknya berjalan mulus. Masalah terbesar yang masih sering ia hadapi adalah stok darah. Terutama saat musim libur panjang atau bulan Ramadan, PMI kerap kekurangan stok, dan Virli harus mencari pendonor sendiri.
“Kalau sudah kayak gitu kita harus gerak cepat cari pendonor. Soalnya thalasemia nggak bisa nunggu. Harus transfusi tepat waktu,” jelasnya.
Menurutnya, thalasemia masih belum banyak diketahui masyarakat. Karena itu ia sangat mengapresiasi kegiatan seperti seminar dan edukasi yang diadakan pada Hari Thalasemia Sedunia di Bale Sawala, Desa Kebonpedes, Kecamatan Kebonpedes, Kabupaten Sukabumi.
“Orang-orang masih banyak yang belum paham thalasemia itu apa. Makanya kegiatan kayak seminar penting banget, biar pada tahu. Ini penyakit serius, bukan kayak flu biasa,” tegas Virli.
Meski hidup dalam keterbatasan dan tekanan mental, Virli tak pernah berhenti berjuang untuk kedua anaknya. Baginya, melihat Rafa dan Sunan bisa tetap sekolah, bermain, dan tertawa adalah alasan terkuat untuk terus bertahan.
“Yang penting mereka tetap bisa hidup senormal mungkin. Sisanya, saya serahkan sama Tuhan,” tutupnya.