Masyarakat Sunda sebelum menggunakan angka jam sebagai penanda waktu, mengungkapkan waktu sehari semalam atau 24 jam dengan hal-hal yang dekat dengan keseharian mereka. Penyebutan waktu di Sunda bahkan terasa inderawi. Misalnya, ada waktu yang ketika itu tidak terdengar suara apapun karena manusia lain tertidur, disebutlah ‘Tumorék’.
Namun, penyebutan waktu seperti itu saat ini kurang umum dipakai. Banyak orang Sunda yang telah menggunakan jam sebagai penanda waktu. Penyebutannya menjadi misalnya, ‘tabuh satu (pukul 01.00)’, ‘tabuh dua (pukul 02.00)’, dan seterusnya.
Untuk menyebutkan ‘Waktu’, bahasa Sunda punya sejumlah kata yang bermakna sama (sinonim). Waktu di dalam bahasa Sunda disebut juga wanci, wayah, dan tabuh.
Wanci umumnya dipakai untuk menyebut waktu dalam 24 jam. Seperti contoh ‘tumorék’ di atas, menjadi ‘wanci tumorék’. Waktu senja disebut ‘wanci sareupna’. Waktu ketika lembayung merona di ufuk barat disebutlah ‘wanci sariak layung’.
Sementara ‘Wayah’, umumnya tidak dirangkaikan dengan penyebutan waktu dalam 24 jam. Melainkan untuk menyebut waktu yang sedang dihadapi. Misalnya, ‘wayah kiwari karek jol’ (jam segini baru datang), menandakan keterlambatan. Atau ungkapan lain, ‘salah wayah’ (pada waktu yang tidak tepat). Lihat juga misalnya ‘sagawayah’ (dari sagala wayah, artinya kapan saja/ kapanpun).
Nah, ‘tabuh’ yang artinya waktu juga lebih sering dipakai untuk ukuran waktu yang ditandai dengan perputaran jarum jam. Seperti dicontohkan di awal artikel, tabuh umumnya satu rangkai dengan angka pada jam. Contoh, ‘tabuh satu (pukul 01.00)’, ‘tabuh dua (pukul 02.00)’, dan seterusnya.
Janari Leutik
Janari leutik berkisar antara pukul 02.00. Janari sendiri menurut kamus Sundadigi punya arti ‘waktu di antara tengah malam dan subuh’. Semakin mendekat ke subuh, disebut Janari Gedé.
Jika pada Janari Leutik orang-orang Sunda mulai bangun dari tidur untuk menyiapkan santapan sahur pada bulan puasa, maka pada Janari Gedé mereka memulai untuk bersantap sahur. Janari pada silam masa sering juga dipakai untuk kata ganti ‘sahur’. Janari Gedé berkisar antara pukul 03.00.
Pukul 04.00, biasanya ayam jantan di kampung-kampung berbunyi kukuruyuk. Dalam bahasa Sunda, onomatope suara ayam itu adalah ‘kongkorongok’.
Lihatlah di timur, sinar fajar semburat. Waktunya sekitar pukul 05.00. Cahaya fajar yang mulai kelihatan di timur itu dalam bahasa Sunda disebut ‘balébat’.
Orang Sunda biasa keluar rumah sejak pagi, untuk pergi ke huma atau ke persawahan. Mereka keluar sejak sangat pagi, boleh jadi sejak Balébat.
Lama berjalan, situasi yang sebelumnya gelap lambat laun mulai remang-remang akibat pancaran sinar matahari (Carangcang). Pohon-pohon yang tegak seperti tiang (tihang) mulai terlihat, meski belum jelas betul. Waktu itu di dalam Sunda disebut Carangcang Tihang. Sekitar pukul 06.00.
Meleték artinya mekar atau menetas. Ini sebuah ibarat bahwa matahari telah benar-benar keluar dari peraduannya. Ini berlangsung sekitar pukul 07.00.
Bagi para peladang, terbitnya matahari menjadi penanda untuk mulai bekerja. Mereka pagi benar sudah berada di ladang untuk menggemburkan tanah. Aktivitas menggemburkan tanah ini dinamakan Ngaluluh Taneuh. Waktunya memang tidak tepat betul pukul 08.00, bisa jadi lebih pagi dari itu.
Ketika matahari benar-benar muncul pada pagi hari, rasanya hangat untuk dipakai berjemur. Orang Sunda yang baru punya bayi misalnya membawa bayi ke halaman untuk berjemur. Waktu sekitar pukul 09.00 ini disebut Haneut Moyan, atau waktu yang hangat untuk berjemur.
Matahari tampaknya sudah mulai meninggi. Terasa panas sinarnya kena kulit. Petani-petani di ladang dan di sawah juga mulai merasakan panasnya matahari. Waktu ini disebut rumangsang. Sekitar pukul 10.00, ketika badan mulai berkeringat karena bekerja dan terkena sinar matahari.
Kerbau yang digunakan untuk menarik bajak di sawah rasanya mulai lelah. Maklum, pak tani mengajaknya bekerja sejak pagi. Baiklah kalau lelah, kita lepaskan (pecat) dulu kayu pada punuk kerbau (sawed) yang terhubung ke bajak di belakangnya itu.
Waktu melepas bajak pada kerbau ini disebutlah Pecat Sawed. Sekitar pukul 11.00. Mungkin tidak selalu harus dilepaskan bajaknya, yang jelas, waktu ini adalah waktu istirahat untuk kerbau dan petaninya.
Lihatlah ke langit, matahari sudah benar-benar ada di tengah-tengah. Pasa di atas ubun-ubun. Waktu ini disebutlah manceran, yakni matahari pas pada pancer (tengah/poros)-nya. Waktunya sekitar pukul 12.00.
Ini adalah waktu zuhur, tepatnya ketika matahari telah sedikit condong ke barat dari posisi pancer-nya. Waktunya sekitar pukul 12.30. Waktu ini cukup lama, mungkin sampai datangnya waktu Salat Ashar.
Berdirilah ketika matahari berada di barat, sekitar pukul 15.00, maka kita akan mendapati bayangan tubuh kita sama tingginya dengan badan kita. Waktu ketika bayangan panjangnya sama dengan bendanya itu disebut Kalangkang Satangtung. Ini umumnya waktu Shalat Ashar.
Tunggang Gunung
Lihatlah matahari dari posisi kita berdiri tampak seperti menempel pada punggungan gunung. Matahari itu seperti sedang bertengger di punggung gunung. Di dalam bahasa Sunda, pemandangan itu disebut Tunggang Gunung. Waktunya muking sekitar pukul 16.00.
Sariak Layung
Semakin sore, langit yang cerah akan menampilkan warna-warna indah di sebelah barat. Disebutlah lembayung senja. Di dalam bahasa Sunda, pesta warna di langit pada waktu tersebut dinamakan Sariak Layung. Waktunya sekitar pukul 17.00.
Datanglah waktu magrib. Matahari seperti mata terpejam (reup). Hari seperti anak yang memejamkan mata untuk tidur. Waktu yang tiba-tiba gelap ini disebut Sareupna. Waktunya sekitar pukul 18.00.
Selepas magrib, orang masih ada yang berkeliaran. Namun, tidak jelas betul wajah seseorang ketika berpapasan. Ini lantaran belum ada lampu Penerangan Jalan Umum (PJU), juga belum musim listrik. Orang melihat orang lain dalam siluet saja. Wajah orang tidak jelas. Harieum Beungeut.
Pukul 20.00, anak-anak (budak) sudah mulai mengantuk. Mereka tidak lagi berlari-lari bermain. Mereka sudah berada di tempat tidur. Mereka istirahat (reureuh). Waktu ini disebut Sareureuh Budak.
Anak-anak sudah tidur. Orang tua belum. Dan dalam kesunyian rumah-rumah panggung di Sunda dahulu kala, terdengar bunyi tokek. Suaranya nyaring, merambat melalui udara yang dingin. Saat ketika terdengar suara tokek ini disebut ‘tumoké’. Waktunya mungkin sekitar pukul 21.00.
Biarlah suara tokek itu, hitung-hitung menemani malam. Orang tua (kolot) mulai ngantuk ‘tersihir’ suara tokek yang relaktatif. Mereka pun menyusul beristirahat (reureuh). Waktu sekitar pukul 22.00 ini disebut Sareureuh Kolot.
Tengah malam, ketika semua orang tertidur dan malam benar-benar sudah pada puncaknya. Ada yang menyebutkan, pukul 24.00 ini selain ‘tengah peuting’ adalah juga ‘indung peuting’. Indung dalam bahasa Sunda bisa dimaknai sesuatu yang paling besar. Seperti ‘indung suku’ (ibu jari kaki).
Pukul 01.00, di lingkungan sekitar tidak terdengar suara apapun. Saking sunyinya, terasa telinga seperti budek (torék).
Demikian infoers waktu-waktu sehari semalam di dalam kebudayaan Sunda. Apakah di daerahmu masih ada yang menggunakan penyebutan waktu itu?