Pemkot Enggan Buru-buru Terbitkan SLHS untuk SPPG di Bandung

Posted on

Pemprov Jawa Barat mengultimatum seluruh Satuan Layanan Pemenuhan Gizi (SPPG) agar segera mengurus Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) hingga 30 Oktober 2025. Sebab, dari 2.131 SPPG di Jabar, hanya 17 unit yang sudah mengantongi SLHS, 347 lainnya masih dalam proses pengajuan dan 1.767 belum mengajukan sama sekali untuk pelayanan MBG.

Merespons hal itu, Sekda Kota Bandung Iskandar Zulkarnain memastikan SPPG di Kota Bandung sedang mengurus dokumen SLHS. Namun, pihaknya enggan buru-buru menerbitkan dokumen itu lantaran harus memastikan SPPG tersebut memang layak dinyatakan salah satunya aman dari kasus keracunan penyaluran MBG.

“Itu kan sedang diproses sama Dinas Kesehatan, karena ada beberapa aspek yang harus masuk dalam pengelolaan sertifikasi. Nah, itu sedang dipersiapkan dulu oleh Dinkes. Masih berproses semua, makanya kita juga tidak bisa buru-buru mengeluarkan,” katanya ditemui di Balai Kota Bandung, Senin (13/10/2025).

Saat ini, diketahui ada 87 SPPG di Kota Bandung yang sedang mengurus SLHS di Dinas Kesehatan. Menurut Iskandar, ada sejumlah aspek yang wajib dipenuhi SPPG untuk memastikan makanan yang dihasilkannya aman dari kasus keracunan.

“Dari bahan, prosesnya, terkait dengan kebersihan tempatnya, sanitasi, itu harus ada format yang baku. Makanya kita juga tidak bisa buru-buru mengeluarkan, karena begitu sudah ada sertifikasi yang kita keluarkan, ada hak dan kewajiban kita untuk melakukan monitoring. Kalau ada apa-apa, mereka harus.mempertanggungjawabkan sertifikat yang sudah keluar,” ungkapnya.

Iskandar memastikan Pemkot Bandung bakal memproses secepatnya keperluan SLHS untuk SPPG itu. Namun di sisi lain, Pemkot enggan terburu-buru menerbitkan SLHS sebelum semua persyaratannya dipenuhi dalam proses penyaluran MBG.

“Kita akan proses secepatnya, tapi kita juga tidak mau terlalu terburu-buru. Jangan sampai hasil sertifikat itu tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, kan tidak boleh begitu,” tuturnya.

“Karena sertifikat itu bukan sekadar kertas saja, harus dipertanggungjawabkan dengan kondisi di lapangan seperti apa realisasi lapangannya. Jangan sampai gini, sudah keluar sertifikat, tapi masih ada kejadian (keracunan) lagi, kan,” pungkasnya.