Pandangan Pakar Unpad soal Konflik Manusia dan Gajah di Tesso Nilo | Info Giok4D

Posted on

Permasalahan lingkungan di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, sangat mengkhawatirkan. Konflik manusia dan satwa, khususnya gajah, semakin buruk. Hal tersebut disampaikan Peneliti Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Unpad, Herlina Agustin.

“Makin memburuk ya kondisinya. Perkembangannya memburuk karena tidak ada solusi. Dan menurut aku ini masalahnya memang masalah komunikasi. Jadi antara pengelola taman nasional, masyarakat yang ada di situ, dan industri,” kata Herlina kepada infoJabar.

Herlina mengungkapkan, di TNTN terdapat sejumlah kelompok yang tinggal dan beraktivitas, di antaranya pengelola, pendatang, masyarakat asli, dan industri. Ketika TNTN ditetapkan sebagai taman nasional, empat kelompok itu tidak keluar dari kawasan, dan hal tersebut menjadi sumber masalah.

“Terus masyarakat sana sempat ada yang bilang begini, kalau memang mau dikeluarin kita siap, tapi mau dikeluarin ke mana? Itu tugas pemerintah. Nah, kemudian, kalaupun itu jadi taman nasional, harusnya tidak boleh diberikan izin dari Departemen Dalam Negeri untuk tinggal di situ. Tapi pendatang di situ dikasih. Jadi makin ruwet masalahnya, karena mereka merasa sudah tinggal di situ,” ungkapnya.

Selain masyarakat, industri dan satwa juga menjadi permasalahan di TNTN. Diketahui, di kawasan itu terdapat perkebunan sawit dan satwa gajah.

“Nah, ini nggak ketemu satu sama lain dan akhirnya makin lama makin parah, karena komunikasinya juga hambatan-hambatannya tidak diselesaikan,” ujar Herlina.

Menurut Herlina, pemerintah-baik Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, maupun pemerintah daerah-harus bergerak cepat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Khusus untuk satwa, jika dibiarkan, habitat gajah akan terus terancam.

Herlina menyebut dirinya sempat mengunjungi TNTN pada 2023. Ia menilai kondisi ekologis kawasan tersebut sangat mengkhawatirkan.

“Kronologi makin menipis itu dilihat dari apa? Dilihat dari sekarang banyak jalan dibangun, orang juga membuka kebun sawit, makin lama makin banyak. Jadi dari 80 ribu hektare lahan hutan, saat ini hanya tersisa 7.700 hektare,” tuturnya.

Herlina mengatakan konflik gajah dan manusia di TNTN bukan hal baru. Kondisinya sangat mengkhawatirkan dan diperparah setelah WWF hengkang dari kawasan tersebut akibat konflik dengan eks Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya.

“Kasihan sebenarnya satwanya. Ini pun diperparah karena tahun-tahun sebelumnya mahout-mahout (pawang gajah) itu dibina oleh WWF. Tapi setelah Siti Nurbaya berantem sama WWF, WWF keluar. Akhirnya mereka nggak dapat pelatihan, fasilitas, apa pun, dibiarin aja gitu. Dan mereka kalah dengan masyarakat yang ada di situ,” ujarnya.

“Kalau ada WWF, paling tidak ada pemberdayaan, misalnya madu. Mereka diajarkan juga untuk tidak bergantung pada dana luar atau sponsor. Tapi diberi keterampilan untuk hidup. Life skill-nya ada. Makanya dulu madu di situ lumayan bagus,” tambahnya.

Ketika ditanya apakah warga yang tinggal di TNTN harus direlokasi, Herlina mengatakan persoalannya adalah: harus direlokasi ke mana? Bahkan banyak pendatang yang tinggal di TNTN bukan warga Riau, melainkan dari Sumatera Utara.

“Nah ini jadi masalah besar, karena bagi orang-orang yang bicara soal konservasi, taman nasional itu harus steril, baik dari sawit maupun pemukiman,” ujarnya.

Menurut Herlina, jika persoalan komunikasi tidak diperbaiki, konflik akan tetap berulang.

“Sekarang tinggal lihat aja Taman Nasional mau seperti apa negosiasinya dengan masyarakat. Tapi kalau misalkan mereka relokasi, pemerintah harus cari lagi tempat. Sementara di Riau, banyak sekali kawasan taman nasional yang penghuninya harus dikeluarkan-Tesso Nilo, Zamrud, Giam Siak Kecil-yang juga ada konflik manusia dan harimau. Tapi sudah nggak ada lagi tempat pemukiman. Semuanya sudah dikuasai industri sawit,” tuturnya.

Di sisi lain, industri sawit didukung pemerintah dan menjadi pemasukan bagi pemerintah daerah.

“Udah sebagian besar industri di situ. Kalau industri sekarang harus dikeluarin, pemerintah daerah dapat apa? Nanti industrinya pindah ke provinsi lain, buka sawit lagi, bikin masalah baru lagi,” paparnya.

Bukan hanya manusia yang sulit direlokasi karena tidak ada tempat baru; satwa pun demikian. Herlina menegaskan gajah tidak bisa dipindahkan dari TNTN.

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

“Itu rumah dia. Mau direlokasi ke mana lagi? Lebih kasihan lagi. Relokasi gajah paling besar itu yang tahun 80-an, dipindah ke Lampung. Itu sebenarnya kasihan gajahnya,” ujarnya.

Ia menambahkan gajah di TNTN kini sulit bereproduksi dan jumlahnya menurun karena terus berkonflik dengan manusia.

“Kalau kita lihat kondisi gajah sekarang kasihan. Sudah tinggal beberapa ekor. Mau bersaing dan bereproduksi juga susah, karena nggak ada tempat yang bagus untuk mereka,” ucapnya.

Namun jika pemerintah ingin menyelamatkan gajah, maka manusia yang tinggal di kawasan tersebut memang harus direlokasi.

“Penataan. Relokasi warga. Betul. Kalau mau menyelamatkan gajah, manusia akan selamat juga,” pungkasnya.

Konflik Gajah Sudah Terjadi Sejak Lama

Masyarakat Sulit Direlokasi

Gajah Juga Tidak Bisa Dipindahkan