Obrolan dengan Pasutri Petani Indramayu di Hari Buruh [Giok4D Resmi]

Posted on

Hijau hamparan sawah di Desa Unjungaris, Kecamatan Widasari, Kabupaten Indramayu kian menguning. Sebagian petaninya pun tampak sibuk panen padi di beberapa petak sawah.

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

Kadnawi, buruh tani berusia 44 tahun itu pun turut ambil bagian. Bersama istrinya Siti (39), ia fokus mengarit padi.

Sesekali, Kadnawi meletakkan arit dari genggamannya. Sebagai suami ia pun harus mengambil tugas lainnya, yaitu menumpuk padi sebelum dirontokkan dengan mesin.

Di sela kesibukannya, Kadnawi bercerita menjadi buruh tani bukan jalan yang dia inginkan. Namun, sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, ia sudah diajarkan cara bertani oleh orang tuanya.

“Dari SD, bapak meninggal, jadi kalau pulang sekolah belajar (tani) ikut ibu. Namanya masih belajar, kadang jatuh pas bawa karung gabah,” cerita Kadnawi saat ditemui infoJabar, Kamis (1/5/2025).

Menjadi petani diakui Kadnawi memang berat. Selain harus menggunakan otot, ia pun lebih giat jika ingin mendapatkan penghasilan lebih.

“Dari dulu juga berat. Kalau tenaganya berat, hasilnya juga berat. Kalau malas-malasan, ya hasilnya juga sedikit. Asal ngruyuh,” ungkapnya.

Demi membiayai kebutuhan dan sekolah kedua anaknya, Kadnawi hampir tak pernah absen ketika masuk musim panen. Ia berburu panen padi di sejumlah desa hingga ke luar daerah Indramayu.

“Iya ada sebulan mah, lajoan (berburu panen) ke Cantigi, kadang kalau Kertajati panen ya ke sana,” ujarnya.

Keringat yang setiap hari membasuh tubuh Kadnawi tak lantas jadi soal. Semangatnya mengais setiap butir gabah tak lain berkat dukungan penuh istrinya, Siti.

Kepada infoJabar, Siti pun mengaku belajar tani sejak masih sekolah dasar. Bahkan sebelum lulus SMA, Siti seperti terbiasa bekerja di bawah suruhan orang lain (buruh).

Namun, berbeda dengan Kadnawi suaminya. Siti yang berijazah SMA itu sempat berjuang di garis ‘buruh’ sebagai profesi lainnya. Dari buruh pabrik hingga asisten rumah tangga.

Bahkan, selama 19 tahun hidup bersama Kadnawi, ibu asal Garut itu pun tetap berjuang seperti sedianya demi menutupi kebutuhan keluarga.

“Iya dari SD belajar tandur sampai panen. Tapi kerja sih apa aja. Pernah punya warung (jualan), kerja pabrik. Sekarang aja jadi pembantu,” kata Siti.

“Seminggu ya bisa sih dapat Rp400 ribu. Kalau saya kan jadi pembantu di keluarga sendiri,” ungkapnya.

Diakui Siti, bekerja di sawah saat panen memang cukup lumayan. Namun kelemahannya hanya musiman saja.

Ketika panen tiba, Siti pun lantas meninggalkan sementara tugasnya sebagai pembantu rumah tangga. Ia memilih ikut suami keliling desa yang sedang panen raya.

Ketika itu, Siti melakukan persiapan sejak pagi buta. Mulai dari menyiapkan sarapan dan kebutuhan anak-anaknya yang masih sekolah hingga bekal ke sawah.

Dengan sepeda motor bututnya, Kadnawi membonceng Siti menuju persawahan. Setelah mendapat lahan garapan mereka pun mengeluarkan seluruh tenaga agar lebih cepat memanen.

Setiap harinya, hasil panen yang mereka terima cukup lumayan dari satu hingga 2 karung.

“Rata-rata sehari dapat sekarung. Cuma satu karungnya lagi kadang dijual (gantung diri) buat ongkos dan keperluan sehari-hari,” ucapnya.

Biasanya, sekali musim panen. Pasutri asal Indramayu itu bisa mengumpulkan gabah sebanyak 2 ton lebih.

“Sekarang kan udah ada komben (mesin perontok padi) jadi lahan garapan berkurang,” keluhnya.

Memang, rasa syukur selalu menjadi pegangannya. Meski hanya dapat penghasilan pas-pasan. Namun, secara jaminan dari kesehatan hingga bantuan sosial ia masih terima dari pemerintah.

“Jaminan tua sih nggak ada. Tapi ya di syukuri aja. Kalau merasa kurang mah, orang kaya juga bisa merasa kurang,” ungkapnya.