Nelangsa Deni Kehilangan Tempatnya Mengais Rezeki di Jalur Wisata Subang

Posted on

Material bekas warung di jalur wisata Subang-Lembang masih teronggok di tanah tempatnya dulu terbangun. Di antara kegelapan, sekelebat cahaya dari senter seseorang menyorot ke puing-puing.

Seorang pria sedang mengumpulkan kayu hingga benda-benda lain yang masih bisa dimanfaatkan. Namanya Deni Kristiadi, salah seorang pemilik warung di jalur Subang-Lembang yang dirobohkan oleh Satpol PP Jawa Barat dan Subang.

Tempatnya menggantungkan hidup selama 15 tahun belakangan itu kini rata dengan tanah. Tak ada lagi terang lampu di gelap malam kebun teh Subang, tak ada lagi tempat berteduh kala pemotor terjebak hujan, tak ada lagi hangat dan aman ketika melewati rute pada malam hari yang sepi.

“Ya mengumpulkan yang masih bisa dimanfaatkan saja, paling kayu, batu bata, itu juga nggak banyak,” kata Deni saat berbincang dengan infoJabar.

Deni bersama beberapa temannya mengangkut barang yang sudah mereka pilah ke atas mobil bak terbuka. Tak banyak, namun bisa dimanfaatkan untuk membangun usaha baru menyambung hidup.

Rintik hujan dan dingin daerah kebun teh Wates tak terlalu dirasa. Kecewa masih berkecamuk di benak Deni dan para pemilik warung yang 7×24 jam menjual mie, jagung bakar, ketan, dan minuman.

“Ya dampaknya sangat besar, karena kami masyarakat kecil yang sehari-hari menggantungkan hidup dari warung ini. Keuntungan kami juga nggak besar, apalagi sekarang, dapat Rp100 ribu sehari sudah alhamdulillah,” kata Deni.

15 tahun lalu, Deni sudah berkutat dengan aktivitas melayani pembeli. Saat itu ia masih duduk di bangku SMP, sementara warung tempatnya mencari rezeki milik orangtuanya. Beberapa tahun membantu bisnis orangtua, ia memutuskan buka warung sendiri.

Berbekal uang pinjaman dari sana sini, Deni mendirikan warung miliknya sendiri. Ada 3 kios dengan ukuran sekitar 5 meter per kiosnya yang menjadi sumber penghidupannya.

“Kalau dihitung-hitung dari awal sampai seperti kemarin sebelum dirobohkan, sekitar Rp500 juta sudah keluar. Itu pinjaman, bukan uang pribadi. Hasil warung kan saya pakai buat anak istri,” ujar Deni.

Pria asli Kecamatan Lembang itu mengembara ke Subang setelah menikah dengan istrinya. Warung tak cuma tempatnya berjualan, namun juga sekaligus tempat tinggalnya setiap hari.

“Makanya bingung setelah dirobohkan, soalnya kan tinggal juga di sini. Ya akhirnya sekarang balik lagi ke rumah istri di Desa Palasari, Subang,” kata Deni.

Hilangnya warung-warung itu menjadi kerugian besar. Bukan cuma berbicara sebagai orang yang dirugikan atas pembongkaran itu, namun menurut Deni risiko tindak kriminal di malam hari bakal meningkat gegara tak ada sumber penerangan dan kehadiran orang-orang.

“Jelas takut nanti lewat sini, risiko ada begal semakin besar. Kemudian kecelakaan, waktu warung ada saja kan sering ada kecelakaan, apalagi sekarang kalau malam hari jalan sepi terus gelap. Makanya enggak kebayang sama kami,” kata Deni.

Pembongkaran bangunan yang dianggap ilegal itu bukan tanpa perlawanan, Deni dan pedagang lainnya sempat mencoba mengadang alat berat merobohkan bangunan. Namun apa daya, mereka yang tak memiliki bekingan akhirnya kalah juga.

“Kita sempat melawan kok, tapi ya namanya orang kecil tetap kalah juga akhirnya. Katanya memang akan ada kompensasi, Rp10 juta per warung tapi muat buat apa? Jauh kalau buat modal usaha,” ujar Deni.

Ia tak mau berlarut-larut dalam kesedihan dan kekecewaan. Sebagai orang yang merasa dizalimi, ia mendoakan yang terbaik buat pemimpin negeri ini. “Saya berdoa yang terbaik buat Kang Dedi Mulyadi khususon,” kata Deni.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *