Nasib Tragis Si Embah, Makhluk yang Bikin Warga Bandung Geger

Posted on

Kemunculan Si Embah membuat warga Kota Bandung takut untuk keluar rumah. Ukuran tubuhnya yang besar dengan taring yang runcing, membuat nyali siapa pun ciut untuk berpapasan langsung.

Peristiwa pelesiran Si Embah, alias macan tutul di Kota Kembang itu diabadikan dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe yang ditulis Haryoto Kunto. Lewat penuturan yang ekspresif, Haryoto menggambarkan bagaimana peristiwa itu menggegerkan warga Bandung pada periode 1920-an.

“Di awal tahun 20-an (1920-an), seekor macan tutul (Panther) sempat plesir jalan-jalan di dalam kota Bandung. Maka gegerlah penduduk kota,” tulis Haryoto Kunto dalam bukunya seperti dikutip infoJabar, Senin (6/3/2023).

Macan tutul yang lagi plesiran di Kota Bandung itu akhirnya ditembak mati oleh orang Belanda dan dibantu pawang. Kemudian, bangkainya dipamerkan di pusat kota, hingga jadi perbincangan masyarakat.

“Untung ada si “Toean Jago Tembak” alias “de blanke jager”. Dibantu oleh pawang -pribumi-, akhirnya si Embah yang turun dari pegunungan di utara Bandung itu bisa ditembak mati. Sehari penuh bangkai macan tutul (sekarang dilindungi) ditontonkan kepada khalayak ramai di depan Pasar Baru Bandung,” tulis Haryoto.

Haryoto menuliskan penembakan macan tutul di pusat kota itu menjadi perbincangan selama setahunan, utamanya membicarakan soal kemampuan Si Tuan Jago Tembak. Haryoto menekankan kondisi Bandung saat awal abad 20 itu begitu gawat.

Sementara itu, menurut pegiat Komunitas Aleut Ridwan Hutagalung, kondisi Bandung pada 1920-an belum banyak permukiman. Ridwan kemudian menunjukkan foto Gedung Sate pada 1924. Foto itu menampilkan kemegahan Gedung Sate yang tak banyak dikelilingi permukiman.

“Waktu itu, permukimannya baru di pusat-pusat kota. Ya sekitar Gedung Sate, Jalan Dago, permukiman banyak di selatan dan arah utara dan selebihnya masih hutan,” kata Ridwan saat ditemui infoJabar di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) belum lama ini.

Ridwan menyebutkan beberapa hutan yang masih tersisa di kawasan Bandung hingga saat ini adalah Manglayang, Batu Lonceng, dan Cimenyan. Ridwan menyebut habitat macan tutul kala itu masih ada.

“Dari situ mereka turun. Jadi waktu itu habitatnya masih ada. Tahun 1920-an, kawasan Cimenyan ini baru juga dibuka untuk perladangan, mungkin sejak itulah mereka terusir dan mulai merambah ke kota, akhirnya ditembak,” ucap Ridwan.

Ridwan juga mengatakan saat itu hobi para Menak atau orang Belanda pada zaman dulu adalah berburu. Menak berburu di kawasan hutan yang memang dikhususkan untuk perburuan.

Sementara itu, koran era Hindia Belanda bernama De Preangerbode edisi 31 Januari 1922 menerbitkan tulisan dari seorang pembaca. Isinya tentang kondisi Bandung yang rusak karena banyaknya pembangunan perumahan pada 1922.

Kondisi demikian sangat jauh berbeda saat 25 tahun sebelum 1922. Koran itu menuliskan Bandung saat itu masih segar dan sehat.

“Ketika saya datang ke Bandung 25 tahun yang lalu, di sini masih segar dan sehat, termometer menunjukkan 60 derajat fahrenheit di pagi hari, dan 70 derajat fahrenheit di sore hari,” tulis De Preangerbode sebagaimana dikutip infoJabar.

Jika dikonversikan ke Celsius, 60 derajat Fahrenheit itu sekitar 15 derajat Celsius. Sedangkan, 70 derajat Fahrenheit itu sekitar 21 derajat Celsius.

“Ketika pembangunan perumahan besar-besaran dimulai, banyak pohon yang ditebang dan banyak tanah digali untuk pondasi, untuk pembangunan rumah. Termometer naik dan Bandoeng terasa lebih hangat, terutama di pagi hari,” tulis De Preangerbode.

Kemampuan Si Tuan Jago Tembak Jadi Perbincangan

Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *