Misteri Batu Bidak Catur dan Jejak Bangsa Kekar Tiang di Ciletuh - Giok4D

Posted on

Pada tahun 2016, kawasan Geopark Ciletuh di Kabupaten Sukabumi sempat menghebohkan warga dan para arkeolog dengan penemuan batuan aneh menyerupai bidak catur. Bebatuan ini ditemukan berserakan di sebuah lereng perbukitan di Dusun Cingaleng, Kampung Onclang, Desa Girimukti, Kecamatan Ciemas. Lokasinya masuk ke dalam kawasan Geopark Ciletuh yang kemudian menjadi sorotan arkeolog dan pemerhati sejarah.

Ade Mulyono (37), warga setempat yang pertama kali menemukan dan membagikan penemuan itu ke media sosial, mengungkapkan kekhawatirannya terkait kondisi lokasi temuan. Ia mencurigai adanya aktivitas penggalian liar di sekitar area batuan yang belum tersentuh penelitian.

“Kita sulit memantau semua, ternyata areal bebatuan itu tak hanya tersebar hingga areal 1-2 kilometer ke bukit sebelah. Ada jejak-jejak penggalian, saya khawatir jika ada yang jahil dan membawa bebatuan itu pulang ke rumah,” kata Ade kala itu.

Ia juga mengkritisi lambatnya respons pemerintah daerah, yang meski sempat menjanjikan kunjungan ke lokasi, belum juga muncul secara resmi kala itu.

“Belum ada yang datang secara khusus ke sini, baru kemarin ada Asisten Daerah II. Itu juga katanya habis rapat terus pengen mantau,” lanjutnya.

Ade menekankan pentingnya perhatian dan penelitian terhadap batuan tersebut agar tak hilang begitu saja.

“Mohon kepada pihak terkait untuk diadakan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui asal usul batu tersebut dan tentunya bisa ikut menjaga khasanah budaya kita,” tandas Ade.

Respon akademis kemudian datang dari Balai Arkeologi Bandung. Melalui pengamatan foto-foto yang dikirim kerabatnya, Peneliti Utama Bidang Prasejarah Lutfi Yondri menyimpulkan bahwa batuan tersebut merupakan objek arkeologis.

“Ya, itu benda bisa disebut artefak,” ucap Lutfi.

Menurutnya, masyarakat Hindu-Buddha pada masa lampau tidak selalu membangun candi besar, tetapi juga membuat versi kecil atau miniatur yang memiliki fungsi spiritual.

“Itu bukan bidak catur. Tapi dari segi bentuk, kalau di era klasik Hindu Budha, masyarakat Hindu Budha tak selalu mendirikan candi untuk pelaksanaan keagamaannya. Tapi kadang kala mereka juga membuat miniatur candi,” tutur Lutfi.

Ia mendesak adanya intervensi dari pihak berwenang untuk menyelamatkan temuan tersebut dari kerusakan atau pencurian.

“Saya selaku ahli arkeologi mengharapkan pihak atau instansi terkait untuk segera mengambil tindakan dan perhatian untuk melakukan pengamanan serta penelitian,” ujar Lutfi.

Pandangan sejalan juga disampaikan oleh arkeolog Universitas Indonesia, Ali Akbar. Meskipun kawasan Ciletuh belum dikenal luas sebagai situs purbakala, ia meyakini batu-batu itu adalah benda bersejarah.

“Sebenarnya bukan atau sejauh ini kawasan itu belum dikenal sebagai wilayah purbakala. Tapi temuan batu itu jelas benda purbakala atau artefak,” kata Ali.

Ali mengemukakan dua hipotesis terkait bentuk dan fungsi batu tersebut.

“Tentu saja perlu penelitian intensif untuk memastikannya. Namun dugaan awal ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah merupakan bagian dari struktur candi. Tetapi tentu harus ditemukan batu-batu yang lebih banyak lagi. Salah satu temuan mirip dengan kemuncak atau puncak candi,” jelas Ali.

“Kemungkinan kedua adalah semacam pembatas atau semacam pagar. Pembatas ini tentu saja menandai wilayah penting karen terbuat dari bahan yang besar dan telah dibentuk secara khusus. Kecil kemungkinan berasal dari periode prasejarah, karena karakter temuannya berbeda,” sambungnya.

Kekhawatiran akan rusaknya situs membuat sejumlah komunitas lokal mengambil langkah preventif. Mereka memasang pembatas untuk melindungi batuan tersebut dari tangan jahil.

“Untuk kepastiannya memang harus ahli purbakala yang meneliti, karena sayang jika hanya dibiarkan berserakan tanpa dilakukan penelitian. Untuk menandai dan mengamankan lokasi kami pasang garis pengaman, lagi pula hari ini banyak anak-anak sekolah yang ingin melihat langsung lokasi temuan ini,” ujarnya.

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

Ade Mulyono yang kembali menelusuri area perbukitan, melihat fenomena baru yang makin memperkuat dugaan bahwa batuan ini bagian dari struktur buatan manusia.

“Saya kan awam, nggak faham dengan benda purbakala. Tapi kalau dari bahan dan bentuk makin ke bawah dari areal temuan pertama malah makin mirip tembok candi,” kata Ade.

Dalam penjelasan lebih lanjut, Lutfi Yondri mengungkapkan bagaimana pengaruh Hindu-Buddha telah menyebar ke wilayah selatan Jawa Barat sejak abad-abad awal Masehi.

“Di Jabar itu lebih awal menerima budaya Hindu dan Buddha, tapi kita belum tahu persis perkembangan Hindu Budha di selatan Jabar itu sejak kapan. Sedangkan di kawasan Jabar itu sudah menerima budaya Hindu-Buddha sejak abad 4 atau 5 Masehi. Ya mungkin setelah era-era itu berkembang ke selatan Jabar,” tutur Lutfi.

Ia pun membenarkan penamaan lokal terhadap batu-batu itu sebagai “bidak catur” meskipun secara ilmiah bentuknya lebih mirip miniatur bangunan suci.

“Itu benda artefak. Karena masyarakat awam melihat seperti bidak catur, ya menyebutnya begitu. Tapi saya cenderung menyebutnya miniatur candi (peninggalan) ketika itu,” ujar Lutfi.

Ia kembali menegaskan pentingnya pengamanan dan edukasi kepada masyarakat.

“Jangan dibiarkan berserakan. Instansi terkait harus segera meninjau dan menyelamatkan. Minimal menginformasikan kepada masyarakat kalau benda itu merupakan data penting yang perlu diteliti lebih lanjut,” ucap Lutfi.

Sementara itu, Ali Akbar memaparkan sudut pandang baru mengenai kemungkinan besar adanya hubungan antara posisi artefak dan budaya maritim masa lalu.

“Letak situs yang berada di punggungan bukit. Dari bukit tersebut dapat melihat laut selatan tanpa terhalang apa pun. Sepertinya ada relasi maya berkonsep budaya maritim antara nenek moyang dan laut yang bersifat transendental,” kata Ali.

Penempatan batu di lokasi seperti itu memperkuat dugaan bahwa masyarakat pembuatnya menganut sistem kepercayaan yang menjadikan laut sebagai entitas spiritual.

“Peninggalan megalitik, mega artinya besar, litik atau lithic artinya batu,” urai dia.

“Situs-situs megalitik seperti di Cisolok, Pelabuhan Ratu, Sukanagara, Gunung Padang meskipun berada di bukit atau gunung atau di ketinggian, namun sepertinya juga berorientasi ke laut,” jelasnya.

Ali menduga, banyaknya batu yang ditemukan bisa menjadi petunjuk adanya area pemakaman atau penanda individu penting.

“Melihat banyaknya jumlahnya, diduga ini penanda individu masa lalu yang sudah meninggal,” tutup dia.

Penelusuran lebih lanjut menghubungkan penemuan di Ciletuh dengan Situs Gunung Padang di Cianjur, situs megalitik terbesar di Asia Tenggara.

“Situs Gunung Padang yang berbentuk punden berundak ada di kabupaten Cianjur tepat bersebelahan dengan kabupaten Sukabumi. Penelitian intensif di Situs Gunung Padang menunjukkan selain situs tersebut terdapat situs-situs lainnya dalam area 5 kilometer dari Situs Gunung Padang. Situs-situs tersebut saling berkaitan karena memiliki karakter yang sama yakni megalitik dan sama-sama menggunakan batu kekar tiang (columnar joint),” jelas Ali.

Ali menunjukkan bahwa sungai dan garis pantai menjadi penghubung penting antar situs-situs purba ini.

“Penelitian menelusuri Sungai Cimandiri yang hulunya 2 kilometer di selatan Gunung Padang ternyata mengalir ke Sukabumi dan bermuara di Pelabuhan Ratu. Survei di daerah aliran sungai juga menemukan situs-situs menggunakan batu columnar joint. Penelitian di Pelabuhan Ratu juga menemukan punden berundak yang menggunakan columnar joint. Hal yang menarik adalah dari Situs Pelabuhan Ratu dapat melihat laut selatan dengan mudahnya,” jelas dia.

Pola serupa muncul di Ciletuh, yang juga berada dekat tambang emas dan berorientasi ke laut.

“Situs Ciletuh atau batu mirip bidak di Sukabumi diperkirakan memiliki kaitan dengan Situs Gunung Padang karena sama-sama merupakan peninggalan megalitik atau batu besar dan berorientasi ke laut. Ada satu lagi persamaannya yang mungkin dapat memberikan gambaran siapa para pembuat peninggalan-peninggalan tersebut,” jelas Ali.

Ali bahkan menyebut keberadaan tambang emas sebagai penanda jejak kekuasaan masyarakat masa lalu.

“Situs Ciletuh yang kadang disebut Situs Batu Bidak atau Anak Catur karena beberapa peninggalannya mirip pion catur terletak dekat dengan lokasi pertambangan emas. Sekitar 8 kilometer dari situs terdapat pertambangan emas yakni di daerah Pasir Manggu. Sungai yang mengalir di dekat situs juga disebut Ciemas sekaligus sepertinya menjadi dasar penamaan kecamatan yakni Kecamatan Ciemas. Dalam bahasa Sunda, ci artinya air atau sungai. Penggunaan istilah emas kemungkinan besar karena memang daerah tersebut dikenal dengan potensi sumber daya emas,” urai dia.

Jejak megalitik dan potensi emas juga ditemukan di lokasi-lokasi lain di Sukabumi dan Cianjur.

“Jika dilihat lagi kaitan yang lebih luas dengan situs-situs lainnya di sekitar Cianjur dan Sukabumi terdapat situs-situs megalitik yang dekat dengan potensi emas misalnya Situs Sukanagara dan situs-situs di Cisolok. Dari situs-situs tersebut juga dapat melihat laut selatan,” ungkap dia.

Untuk menyebut masyarakat yang membangun struktur-struktur besar ini, Ali memperkenalkan istilah “Bangsa Kekar Tiang”.

“Saya pribadi untuk sementara menggunakan istilah Bangsa Kekar Tiang untuk menyebut masyarakat yang membuat peninggalan-peninggalan tersebut. Bangsa ini sedikitnya tersebar di Cianjur, Sukabumi, bahkan Banten. Bangsa ini kerap menggunakan batu kekar tiang (columnar joint) untuk membuat bangunan atau struktur, religius, mampu mengetahui potensi emas dan menggunakannya, dan memiliki relasi dengan laut serta kemampuan untuk berinteraksi lebih luas lagi melalui laut,” beber Ali.

Menurutnya, jalur perairan kemungkinan besar menjadi akses utama mereka dalam menjangkau wilayah-wilayah pegunungan.

“Jika pada masa modern ini ingin berkunjung ke situs-situs tersebut, akan mengalami kesulitan karena umumnya ditempuh dari utara melalui perbukitan yang menanjak dan berkelok, maka nenek moyang kita tampaknya justru menggunakan akses selatan melalui lautan. Situs-situs megalitik lebih mudah diakses melalui laut selatan,” tambah dia lagi.

Ali menyimpulkan bahwa Bangsa Kekar Tiang merupakan entitas yang bukan hanya menguasai alam, tetapi juga jalur perdagangan dan spiritualitas kawasan selatan Jawa.

“Secara singkat, Bangsa Kekar Tiang merupakan Penguasa Jalur Pegunungan Emas dan Perekat Laut Lepas,” jelas Ali.

Sebagai penutup, ia mengaitkan pola penggunaan batu kekar tiang ini dengan kerajaan-kerajaan besar dalam sejarah nusantara.

“Pada masa kemudian atau Masa Sejarah ketika manusia telah mengenal tulisan terdapat kemiripan yang perlu mendapat perhatian. Pada hampir semua kerajaan besar bercorak Hindu, Buddha, dan Islam terdapat penggunaan batu columnar joint terutama sebagai prasasti dan simbol,” urai dia.

“Kekar Tiang atau columnar joint misalnya ditemukan di Kerajaan Kutai di Kalimantan, Kerajaan Sriwijaya di Sumatera, Kerajaan Pajajaran dan Majapahit di Jawa, bahkan terdapat sampai di pulau-pulau di timur Indonesia,” tegas Ali yang dikenal sebagai peneliti Gunung Padang ini.

Bangsa Kekar Tiang