Di Kabupaten Indramayu, ada sebuah desa yang terkenal lewat kerajinan tenunnya. Tak hanya indah dipandang, setiap helai kain buatan tangan dari desa ini juga menyimpan jejak tradisi yang hidup dari generasi ke generasi.
Namun, belakangan suara hentakan alat tenun di rumah-rumah warganya mulai jarang terdengar. Tangan-tangan terampil yang dulu setia menenun kain khas desa setempat kini mulai berkurang.
Desa tersebut bernama Juntikebon. Dari pusat pemerintahan Kabupaten Indramayu, Juntikebon berjarak sekitar 20 Kilometer dan bisa ditempuh dalam waktu 30 menit dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Selama perjalanan menuju desa yang terletak di Kecamatan Juntinyuat ini, hamparan sawah terbentang luas di sisi kiri dan kanan jalan, menyuguhkan nuansa khas pedesaan.
Sore itu, awan mendung sedikit menyelimuti langit Desa Juntikebon saat jarum jam hampir menunjuk pukul 15.00 WIB. Di tengah suasana yang teduh, suara alat tenun terdengar samar-samar dari sebuah rumah sederhana.
Trek… Trek… Trek… bunyi itu terus bersahutan, seirama mengikuti ayunan tangan seorang perajin yang tengah menggerakkan kayu dan benang.
Perajin yang sedang duduk di teras rumah itu adalah Sunari. Di usianya yang kini memasuki 70 tahun, ia merupakan satu-satunya perajin yang masih setia membuat kain tenun.
Saat ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu, Sunari menyambut dengan senyum hangat. Hari itu, ia tengah sibuk di depan alat tenun miliknya. Jemarinya terlihat begitu lihai saat menyusun benang demi benang untuk dijadikan sepotong kain.
Di usianya yang tidak lagi muda, butuh waktu hingga beberapa hari bagi Sunari untuk membuat sepotong kain tenun. Setiap helai kain dibuat dengan proses menenun yang membutuhkan waktu dan ketelitian.
“Kalau sekarang sih karena udah sering ngerasa capek, paling lima hari baru jadi satu potong,” ucap Sunari.
Sunari telah memiliki pengalaman selama enam puluh tahun sebagai perajin kain tenun. Ia mulai belajar menekuni kerajinan ini sejak usianya masih remaja.
Baginya, melakoni kegiatan menenun bukan sekadar pekerjaan, melainkan sebuah tradisi yang telah berlangsung turun-temurun dan hingga kini masih dipertahankan.
“Saya sendiri awalnya belajar menenun dari orang tua,” kata dia.
Enam dekade telah dilalui, Sunari tetap setia menggarap kain tenun dengan cara-cara tradisional. Hingga kini, ia masih mengandalkan alat produksi yang disebut dengan alat tenun gedog atau gedogan. “Dari dulu pakainya alat ini,” tutur Sunari.
Dari alat itu pula, kain tenun asal Desa Juntikebon, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu ini kemudian dikenal dengan nama tenun gedogan. “Dinamakan tenun gedogan barangkali dari nama alatnya,” ujar dia.
Dalam karya berjudul Jejak Tenun Gedogan Junti, Dedi Suwidiantoro dkk menuliskan penjelasan tentang alat tenun gedogan. Alat tenun ini sebagian besar terbuat dari material kayu dan dioperasikan secara manual.
Perajin seperti Sunari yang menggunakan alat ini menenun dalam posisi duduk di lantai dengan kaki selonjor. Selama proses pembuatan kain, tubuhnya menjadi penopang bagi bentangan benang.
Meski terlihat sederhana, alat tenun tersebut memiliki beberapa komponen yang saling berkaitan. Seperti por sebagai penahan pinggang, wuluh berfungsi menjaga benang tetap sejajar, hingga jinjingan untuk membuat anyaman tenun.
Ada pula wlira yang berfungsi memadatkan kain. Suri yang bentuknya menyerupai sisir dipakai untuk memisahkan benang. Alat tenun gedogan juga dilengkapi dayan untuk menarik benang dan apit untuk menggulung kain yang telah selesai ditenun.
Selain itu, terdapat sejumlah peralatan tambahan lainnya. Ada jantra yang terbuat dari pelek roda dan kayu, serta pajal sebuah alat dari bambu kecil sepanjang 5 hingga 7 sentimeter. Kedua alat itu digunakan untuk menggulung benang.
Tak ketinggalan undar sebagai tempat benang yang akan digulung agar tidak kusut. Lalu teropong, sebuah alat dari bambu dengan lubang penjepit berukuran 9 sentimeter yang gunanya sebagai tempat pajal agar benang mudah diulur.
Ada juga gulungan benang itu sendiri yang disebut kluntungan, dan pemanen yang berfungsi untuk menggulung benang dari kluntungan.
Dengan banyak komponen di dalamnya, alat tenun gedogan terlihat begitu kompleks. Tapi dari situlah setiap benang perlahan disusun hingga menjadi sehelai kain tenun.
Dengan tingkat kerumitan dan ketelitian selama proses pembuatan, Sunari membanderol kain tenun buatannya dengan harga sekitar ratusan ribu rupiah.
Aktivitas Sunari dalam menekuni kerajinan itu tak sebatas menghasilkan sepotong kain. Di setiap helainya, terdapat motif yang membuat tampilan kain menjadi lebih istimewa.
Di tengah kesibukannya sore itu, Sunari berhenti sejenak, ia lalu menunjukkan dua potong kain yang telah selesai dibuat. Kedua kain tersebut tersimpan rapi di dalam rumah, masing-masing berwarna hijau dan merah.
Meski berbeda warna, kedua kain tersebut menampilkan motif yang sama. Sunari menyebut motif yang terukir di kedua kain buatannya bernama motif Babaran.
“Contoh yang sudah jadi seperti ini. Kalau ini dua-duanya motifnya Babaran,” kata Sunari sembari membentang kain tenun hasil karyanya.
Motif babaran pada kain yang ditunjukkan Sunari didominasi corak garis-garis pada bagian tengah. Sementara di bagian sampingnya menampilkan corak lain.
Awalnya, Sunari hanya membuat kain tenun tanpa sentuhan motif atau polos. Namun, seiring waktu ia mulai membuat motif pada kain hasil karyanya. Kemampuan itu ia peroleh setelah belajar kepada warga desa yang juga perajin tenun.
“Waktu dulu sih tidak ada motifnya, polos. Kemudian waktu mulai membuat motif itu saya belajar dulu ke tetangga,” kata dia.
Motif babaran bukan satu-satunya motif pada kain tenun khas desa ini. Menurut Sunari, selain motif babaran ada pula motif Kluwungan, Suwuk, Kembang Bonteng, Kacang Ijo dan beberapa motif lain.
Di antara motif-motif tersebut, ada beberapa yang lekat dengan kepercayaan masyarakat setempat. Seperti motif Kluwungan yang diyakini sebagai penolak bala.
Konon, jika ada seorang anak yang berada di tengah dalam sebuah keluarga, sementara kakak dan adiknya meninggal, maka anak itu harus mengenakan kain tenun bermotif Kluwungan agar terhindar dari nasib serupa.
“Misalkan kita anak tengah-tengah, adik meninggal, kakak juga meninggal, khawatir kita ikut meninggal, ada syaratnya, yaitu pakai tenun motifnya Kluwungan,” kata Sunari.
Selain itu, ada juga motif Suwuk yang dipercaya dapat membantu menyembuhkan anak ketika demam, dengan cara digunakan sebagai selimut.
“Jaman dulu, katanya kalau anak sedang panas (demam), selimutnya pakai kain tenun (motif) Suwuk,” terang Sunari.
Di balik ragam motif dari kain tenun itu tersimpan cerita panjang tentang tradisi menenun di Desa Juntikebon. Dahulu, kata Sunari, aktivitas menenun hampir bisa ditemukan di setiap rumah-rumah warga.
“Dulu di sini memang tempatnya penenun. Hampir semuanya menenun,” kata dia, mengenang desanya yang pernah ramai oleh para perajin kain tenun.
Kini kondisinya jauh berbeda. Dari tahun ke tahun jumlah perajin tenun di desa itu terus berkurang. Dan saat ini, hanya Sunari yang masih setia menjaga nyala tradisi.
“Penenun di sini sekarang udah nggak ada lagi, tinggal saya sendiri,” ujar Sunari.
Ibu dua anak itu pun tak ingin tradisi menenun di desanya hilang begitu saja, dan ia percaya suatu saat nanti akan ada generasi penerus yang melanjutkan jejaknya.
Saat ini, Sunari mulai menurunkan kemampuan menenun kepada cucunya. Perlahan, ia mengajarkan bagaimana cara menyusun benang untuk dijadikan sepotong kain.
“Ya mudah-mudahan nanti ada yang meneruskan. Sekarang saya lagi mulai mengajari cucu,” kata dia. Sunari juga menyatakan terbuka bagi warga desa yang ingin belajar menenun.
Sekretaris Desa Juntikebon, Eka Nurkolama tak menampik soal jumlah perajin tenun di desanya yang terus berkurang. Ia menyebut, Sunari merupakan satu-satunya perajin yang ada saat ini.
“Sekarang memang tinggal Bu Sunari perajin yang masih eksis,” kata dia saat ditemui di Kantor Desa Juntikebon.
Padahal, menurut Eka, Juntikebon merupakan desa yang sejak dulu terkenal dengan kerajinan tenunnya. “Se-Kabupaten Indramayu, kerajinan kain tenun mungkin hanya ada di sini,” kata dia.
Pemerintah desa pun tak ingin kerajinan tenun yang telah menjadi ciri khas desanya itu punah. Hanya saja, menurut Eka, melahirkan seorang perajin yang mau meneruskan tradisi ini bukan perkara mudah.
“Kalau pemdes, pemerintah, sebenarnya sudah beberapa kali mengadakan pelatihan. Cuma sumber daya manusianya itu sendiri, terutama anak-anak muda sekarang, minatnya memang kurang,” kata dia.
Meski begitu, upaya pelestarian tetap dilakukan melalui program pelatihan. Kali ini, pemerintah desa sengaja menyediakan satu ruangan di lingkungan kantor desa untuk dijadikan sebagai tempat pelatihan.
Di sana, para peserta tidak hanya diajarkan menenun kain, tetapi juga dibekali keterampilan untuk membuatnya menjadi berbagai macam produk kerajinan. “Yang pelatihan sekarang ini, kain tenunnya ada yang dibikin tas, gantungan kunci, dan beberapa produk lain,” ucap Eka.
Di ruangan yang dijadikan tempat belajar, suasana begitu hidup saat kegiatan berlangsung. Suara alat tenun dan mesin jahit memenuhi ruangan, berpadu dengan obrolan kecil para peserta.
Di antara mereka, ada yang fokus di depan alat tenun dan mengoperasikannya dengan hati-hati. Di sudut lain, beberapa peserta sedang menggulung benang, sementara yang lainnya sibuk menjahit kain tenun yang telah selesai dibuat. Kain tenun itu dijahit untuk dijadikan berbagai macam produk menarik.
Salah seorang peserta yang ikut dalam program pelatihan itu adalah Wasiah. Wanita 43 tahun itu memilih ikut pelatihan untuk menghidupkan kembali tradisi menenun di desanya. “Mudah-mudahan bisa buat tambah-tambah ekonomi juga,” kata dia.
Setidaknya ada sepuluh orang yang mengikuti program pelatihan tersebut. Mereka adalah ibu-ibu dari desa setempat. “Yang ikut warga sini semua, ibu-ibu, ada sepuluh orang,” kata Wasiah.
Di sela-sela waktu pelatihan, beberapa peserta tampak antusias menunjukkan hasil karya mereka. Dua di antaranya berupa tas dan gantungan kunci yang tampak menarik dengan balutan kain tenun.
Upaya melestarikan tradisi menenun di Desa Juntikebon ini mendapat dukungan dari PT Kilang Pertamina Internasional Unit VI Balongan. Melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), perusahaan itu menyediakan alat produksi dan menghadirkan sejumlah pelatih bagi warga yang mengikuti program pelatihan.
Officer 1 CSR & SMEPP PT Kilang Pertamina Internasional Unit VI Balongan, Andromedo Cahyo Purnomo, mengatakan program pelatihan menenun di Desa Juntikebon sudah memasuki tahun kedua. Program pelatihan ini digelar untuk menjaga agar tradisi menenun di desa itu tidak hilang karena berkurangnya jumlah perajin.
Sebelum pelatihan dimulai, kata Andro, pihaknya mencoba menelusuri penyebab menurunnya jumlah perajin tenun di Desa Juntikebon. Ia pun menyebut ada beberapa hal yang diduga menjadi alasan tradisi menenun di desa itu kian meredup.
“Mungkin secara ergonomis, alat tenun gedogan bikin pegal punggung bagi generasi sekarang. Yang kedua, pangsa pasarnya terlalu eksklusif, karena dulu tenun gedogan identik dengan acara adat atau momen sakral di wilayah itu. Namun kan perlu bagaimana agar kain tenun gedogan ini tetap hidup,” kata dia saat berbincang dengan infoJabar.
Menurut Andro, keberadaan Sunari menjadi harapan tersendiri bagi keberlangsungan tradisi menenun di Desa Juntikebon. Dari situ, pihaknya mencoba mengenal lebih dalam tentang tenun gedogan, mulai dari motif hingga kekhasan lainnya.
“Alhamdulillah masih ada Bu Sunari dan kami coba melakukan regenerasi dengan melibatkan masyarakat sekitar,” ujar dia.
Pada tahun 2024, Pertamina mulai mengadakan program pelatihan kepada masyarakat dengan melibatkan Sunari sebagai pembimbing. “Karena Bu Sunari yang paham betul terkait motif dan sebagainya, jadi beliau yang mengajarkan,” kata Andro.
Dalam pelatihan itu, Pertamina mengenalkan kepada para peserta mengenai metode menenun yang dinilai lebih ergonomis dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). dengan alat tersebut, proses menenun dilakukan dengan cara duduk, bukan lagi dalam posisi selonjor.
“Kami coba bikin metode menenun yang lebih ergonomis dengan bantuan alat tenun bukan mesin atau ATBM. Tapi tidak menghilangkan jejak dari tenun gedogannya, seperti motif dan unsur khas lainnya. Esensinya kan di situ sebenarnya,” ujarnya.
Di tahun 2025, program pelatihan mulai merambah ke tahap penganekaragaman produk dengan tujuan agar hasil tenun bisa menembus pasar yang lebih luas.
“Di tahun kedua ini kami melakukan diversifikasi produk. Ada tas, dompet, ikat kepala dan sebagainya. Kita bekerja sama dengan pemerintah Desa Juntikebon untuk mengadakan pelatihan sampai menciptakan produk turunan, sebagai upaya untuk keberlanjutan. Dulu hanya untuk acara adat istiadat pemakaiannya, sekarang bisa dipakai untuk umum,” kata Andro.
Mengingat usia Sunari yang tidak lagi muda, Pertamina lalu menghadirkan beberapa pelatih dari luar daerah untuk membantu proses regenerasi dan menularkan semangat dalam melestarikan tradisi menenun.
“Di Kabupaten Sleman itu ada desa yang menjadi sentra tenun. Dan itu masih eksis sampai sekarang. Itulah kenapa saya minta bantuan dari kelompok yang ada di sana, bagaimana mereka mempertahankan ciri khas dan kebudayaan mereka sehingga masih bertahan sampai saat ini. Itu yang ingin kami tularkan ke sini, yaitu semangatnya,” terang Andro.
“Kita sudah beberapa kali mengadakan pelatihan. Rata-rata satu tim yang datang ke sini 5 orang pelatih. Ada yang mendampingi diversifikasi produk, proses pemintalan benang, sampai menggunakan alatnya. Jadi fokus pelatihan di tahun ini ada dua, yaitu belajar membuat kain tenun dan membuat produk turunannya,” ujar dia.
Andro mengatakan, selain mengajarkan proses pembuatan produk, pihaknya juga meminta kepada para pelatih untuk mendampingi peserta dalam memasarkan hasil karya mereka. Sebab, produk kain tenun dari daerah asal para pelatih tersebut telah berhasil menembus pasar ekspor.
“Kedepannya kita juga meminta bantuan untuk proses pemasaran. Karena yang dari Sleman itu sudah sampai ekspor. Bagaimana mereka bisa melangkah sampai ke ekspor, tahapan-tahapan itulah yang kami minta tolong ke mereka untuk mendampingi ibu-ibu di sini,” terang Andro.
Selain itu, pihaknya juga akan berupaya mengenalkan produk kain tenun dari Juntikebon lewat berbagai pameran. Andro meyakini, jika hasil karya dari para peserta mempunyai kualitas yang baik, maka produk tersebut akan memiliki daya saing.
“Ketika sebuah produk memiliki kualitas dan inovasi yang bagus, tentu akan bisa bersaing,” kata dia.
Sementara itu, Andro mengungkap program pelatihan pembuatan kain tenun dan turunannya itu perlahan mulai menunjukkan hasil. Ia menyebut, para peserta pelatihan mulai menerima pesanan dari pemerintah desa untuk produk yang mereka buat.
Andro pun menilai peluang pasar untuk produk turunan dari kerajinan kain tenun yang dibuat oleh peserta pelatihan kini mulai terlihat. “Ternyata ketika sudah dibuat produk turunannya, mulai terlihat pangsa pasarnya. Sudah ada orderan dari pihak desa,” kata dia.
Upaya pelestarian lewat program pelatihan ini selaras dengan perhatian pemerintah daerah terhadap tenun gedogan yang kini mulai kekurangan perajin.
Sub Koordinator Cagar Budaya dan Museum pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Indramayu, Suparto Agustinus, mengatakan regenerasi penenun menjadi tantangan yang perlu diatasi bersama untuk menjaga kelestarian tenun gedogan.
Sejauh ini, kata Suparto, pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk menjaga tenun gedogan tetap lestari. Salah satunya dengan mengenalkannya kepada anak-anak sekolah.
“Tujuannya agar anak-anak bisa mengenal dan menyukai tenun gedogan, supaya mereka juga mau ikut belajar,” kata dia.
Di sisi lain, Suparto mengungkap tenun gedogan bukan sekadar kerajinan tradisional. Lebih dari itu, ia telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb).
Berdasarkan catatan infoJabar, tenun gedogan telah ditetapkan sebagai WBTb Indonesia. Merujuk pada laman resmi Kemendikdasmen, karya budaya ini tercatat dengan nama Tenun Gedogan Dermayu dan telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Nomor 414/P/2022 pada domain Kemahiran dan Kerajinan Tradisional.
Sebagai upaya pelestarian tenun gedogan, Suparto mengaku sangat mendukung adanya program pelatihan yang digulirkan oleh Pertamina.
“Ini adalah salah satu upaya terbaik yang dilakukan Pertamina agar tenun gedogan tetap lestari. Tinggal bagaimana masyarakat setempat bisa menyambut program tersebut dengan baik,” kata Suparto.
Ia berharap, program pelatihan itu bisa melahirkan generasi baru yang meneruskan jejak tradisi, merawat warisan budaya yang dijaga Sunari hingga kini.
“Semoga dari program pelatihan itu akan lahir Sunari-Sunari yang lain,” ujar Suparto.
Pertahankan Cara Tradisional, Gunakan Alat Tenun Gedogan
Ragam Motif Kain Tenun
Juntikebon: Desa yang Pernah Ramai Penenun
Upaya Melestarikan Tenun di Desa Juntikebon
Bantuan Alat Produksi dan Hadirkan Pelatih
Pemasaran Produk
Tenun Gedogan Indramayu Ditetapkan sebagai WBTb Indonesia











