Salah satu destinasi wisata sejarah yang ada di Kabupaten Kuningan adalah Gedung Perundingan Linggarjati, yang berlokasi di Desa Linggajati, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan. Di bagian depan gedung, terlihat deretan pagar besi yang mengelilingi seluruh area gedung Linggarjati.
Gedung Linggarjati sendiri memiliki luas sekitar 2 hektare, di sekitar gedung terdapat area taman dengan rerumputan dan pepohonan yang rindang. Untuk area bangunanya terbagi dalam beberapa bagian seperti bangunan utama, paviliun, garasi, teras, dan sebuah bangunan yang berada di sebelah timur.
Di dalam bangunan utama, pengunjung akan diperlihatkan dengan area pintu masuk yang di dalamnya langsung terlihat sebuah papan informasi berisi naskah perjanjian Linggarjati. Tepat di bawah papan informasi, terdapat miniatur yang menggambarkan proses perundingan Linggarjati berlangsung.
Juru pelihara Gedung Linggarjati, Nana Bolin mengatakan, gedung Linggarjati membeli memiliki enam kamar tidur. Di setiap kamarnya terdapat dua kamar tidur dengan kasur berwarna putih dan dipan yang terbuat dari kayu.
Di dalam kamar juga terdapat wastafel, dua kursi dan lemari besar yang terbuat dari kayu. Di setiap kamar juga dipasang foto para penghuni kamar tersebut dulu. Berbeda dengan kamar hotel di zaman sekarang, di setiap kamar tidur tidak memiliki kamar mandi di dalamnya.
Menurut Nana, tidak adanya toilet di kamar tidur karena saat itu orang Belanda masih menganggap jika ada toilet di dalam kamar tidur akan membuat kamar menjadi kotor dan tidak sehat.
“Kenapa tidak ada kamar mandinya, karena orang Belanda menganggap kalau kamar ada kamar mandinya itu tidak sehat,” tutur Nana.
Tidak hanya kamar, ada juga ruangan utama yang menjadi tempat perundingan Linggarjati berlangsung. Di ruang utama, terlihat beberapa kursi dan meja yang terbagi dalam beberapa bagian. Selain meja dan kursi, di ruang utama juga terdapat foto selama proses perundingan berlangsung, dari mulai foto kedatangan para delegasi hingga foto para wartawan luar negeri yang sedang mengetik naskah berita hasil perundingan Linggarjati.
Selain ruang utama, ada juga ruangan yang menjadi tempat pertemuan Presiden Soekarno dengan penengah perundingan Linggarjati, Lord Killearn dari Inggris. Di dalam ruangan tersebut juga terdapat sebuah kursi yang dulu diduduki Soekarno dan Lord Killearn serta sebuah foto saat pertemuan tersebut berlangsung.
Menurut Nana, Soekarno hanya singgah di gedung Linggarjati selama satu jam sebelum perundingan berlangsung. Beliau tidak tinggal tidur di gedung Linggarjati, namun, menginap di pendopo Bupati Kuningan.
“Satu jam sebelum perundingan, sebelum berangkat ke Jogja, presiden ke sini berbicara dengan penengah dari Inggris. Presiden nginep bukan di sini tapi di Pendopo Kuningan, bukan di Pendopo sekarang tapi pendopo dulu yang sekarang lokasinya jadi taman kota,” tutur Nana.
Nana memaparkan, pada saat perjanjian Linggarjati berlangsung ada beberapa tokoh nasional yang terlibat, seperti perwakilan Indonesia yang dipimpin oleh Sutan Syahrir, anggotanya Moh Roem, Adnan Kapau Gani dan Soesanto Tirtoprojo. Sedangkan untuk delegasi Belanda Wim Schermerhorn sebagai ketua, Mr Van Poll, Dr F de Boer, dan Van Mook.
Kala itu, yang bertugas sebagai moderator atau penengah adalah Lord Killearn dari Inggris. Untuk notulennya sendiri J Leimena, Soedarsono, Amir Syarifuddin dan Ali Boediarjo.
“Untuk waktu perjanjiannya berlangsung selama tiga hari dari 11 – 13 November 1946 dan menghasilkan 17 naskah. Isinya kurang lebih, satu Belanda mengakui secara de facto Indonesia punya tiga wilayah, yakni Sumatra, Madura dan Jawa. Lalu dibentuk menjadi RIS,” tutur Nana.
Selain pengakuan de facto dan pembentukan Negara Indonesia Serikat (RIS), perjanjian yang dilaksanakan pada 15 November 1946 juga berisi penarikan pasukan Belanda dan pembentukan Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai presidennya.
Nana memaparkan, mulanya pada tahun 1918 Gedung Linggarjati merupakan rumah dari seorang dari seorang wanita pribumi yang tinggal sebatang kara bernama Jasitem, yang kemudian dinikahi oleh seorang berkebangsaan Belanda bernama Tuan Tersana. Pada tahun 1921, oleh Tuan Tersana bangunan tersebut direnovasi menjadi semi permanen.
Lalu pada tahun 1930, bangunan tersebut menjadi tempat tinggal permanen oleh seorang berkebangsaan Belanda lain yang bernama Van Os. Pada tahun 1935, setelah menjadi bangunan permanen, rumah tersebut dikontrak oleh Teo Huitker untuk dijadikan hotel bernama Rustoord.
Pada masa penjajahan Jepang, Gedung Linggarjati masih dijadikan hotel tempat penginapan tentara Jepang bernama Hotel Hokay Ryoken. Lalu, pada tahun 1946 setelah Indonesia merdeka, hotel tersebut berganti nama menjadi Hotel Merdeka. Dan baru digunakan sebagai tempat perjanjian pada tahun 1946.
Setelah perjanjian, gedung Linggarjati sempat digunakan kembali sebagai penginapan pada saat Agresi militer Belanda II dan juga sempat digunakan sebagai tempat sekolah rakyat.
“Di tahun 1948 itu saat agresi militer sempat jadi markas Belanda, lalu jadi Sekolah Rakyat selama 25 tahun dari tahun 1950-1975 dan di tahun 1976 itu diserahkan kepada departemen pendidikan dan kebudayaan,” tutur Nana.
Kala itu, lanjut Nana, setelah perundingan selesai, Gedung Linggarjati sempat terbengkalai yang mengakibatkan beberapa benda bersejarah di dalamnya hilang.
“Setelah perundingan, Inikan dulu sempat terbengkalai. Benda-benda peninggalanya sebagian sudah hancur dan dijarah masyarakat. Jadi di sini, ada yang replika ada juga yang asli kayak guci-guci, kursi meja dan juga piano,” tutur Nana.
Nana juga mengatakan, ada beberapa alasan kenapa Gedung Linggarjati dijadikan tempat perundingan, pertama alasan keamanan di mana saat itu Kabupaten Kuningan jadi salah satu tempat yang masih aman di Indonesia. Kedua, karena letaknya di bawah kaki Gunung Ciremai yang masih asri.
“Awalnya Belanda menginginkan perundingan dilaksanakan di Jakarta, tapi Indonesia menolak. Kedua Indonesia menginginkan diplomasi di Yogyakarta, tetapi Belanda juga menolak. Baru ada salah satu usul dari Menteri Sosial Pertama Maria Ulfah, ketika mudik ke Kuningan beliau mengusulkan pada presiden agar Gedung Linggarjati dijadikan tempat perundingan,” tutur Nana.
Selain bangunan dan benda bersejarah, ada juga area kandang rusa yang lokasinya di belakang Gedung Linggarjati. Di dekatnya, terdapat sebuah musala yang bisa digunakan pengunjung untuk beribadah.
Salah satu pengunjung, Saputro mengatakan, bahwa dirinya merasa nyaman bisa berkunjung ke Gedung Linggarjati. Selain karena suka sejarah, alasan lain Saputro berkunjung ke Gedung Linggarjati adalah karena suasananya yang asri dan adem.
“Enak di sini adem. Kebetulan suka sejarah juga kan, jadi bisa lihat-lihat peninggalan masa lalu,” tutur Saputro.
Bagi yang ingin berkunjung ke Gedung Perundingan Linggarjati Kuningan dikenai tiket masuk sebesar Rp 10.000 untuk orang dewasa dan Rp 5.000 untuk anak-anak. Untuk jam operasionalnya dimulai dari pukul 07.30 WIB sampai 17.00 WIB.
Sedangkan untuk rutenya dari Cirebon bisa langsung ke arah jalan raya Cirebon-Kuningan lurus terus lalu belok ke arah Jalan Madirancan lalu belok kiri di Jalan Aria Kemuning lurus terus sampai ke Jalan Ciremai sampai terlihat tulisan Gedung Perundingan Linggarjati.
Sejarah Gedung Linggarjati
