Menyusuri Jejak Sejarah Cirebon yang Kini Berusia 598 Tahun - Giok4D

Posted on

Pada tahun 2025, Cirebon genap berusia 598 tahun. Itu berarti sudah lebih dari lima abad daerah yang kaya akan sejarah dan budaya ini berdiri. Peringatan hari jadi Cirebon rutin dilaksanakan setiap tanggal 1 Muharram.

Peringatan hari jadi ini menjadi momen penting untuk menengok kembali jejak sejarah dari daerah yang dikenal dengan julukan Kota Udang.

Pemerhati sejarah Cirebon Farihin Niskala menjelaskan bahwa cikal bakal kota ini bermula dari sebuah wilayah berupa pedukuhan yang dipimpin oleh tokoh bernama Ki Danusela, yang kemudian dikenal sebagai Ki Gedeng Alang-alang.

“Kalau mengacu pada naskah Purwaka Caruban Nagari, peristiwa babad alas yang dilakukan oleh Ki Gedeng Alang-alang dan Pangeran Walangsungsang itu terjadi pada tahun 1445. Tahun itu dianggap sebagai awal mula Cirebon muncul,” terang Farihin di Cirebon, baru-baru ini.

Sebab, di tahun tersebut setelah Ki Gedeng Alang-alang dan Walangsungsang melakukan babad alas, kemudian mulailah dibentuk pemerintahan awal Cirebon yang disebut dengan Pakuwuan.

“Jadi di tahun 1445 itu eranya Pakuwuan. Karena kepala pemerintahannya disebutnya Kuwu. Dan, saat itu yang diangkat sebagai Kuwu adalah Ki Gedeng Alang-alang,” kata Farihin.

Ki Gedeng Alang-alang sendiri memiliki nama asli Ki Danusela. Namun karena wilayah yang dipimpinnya masih rimbun dan banyak ditumbuhi alang-alang, ia kemudian mendapat sebutan Ki Gedeng Alang-alang.

“Sebutan Ki Gedeng Alang-alang ini karena beliau menjadi pembesar di sebuah wilayah yang rimbun dan banyak ditumbuhi alang-alang. Kalau nama aslinya Ki Danusela. Ki Gedeng Alang-alang itu julukan. Beliau itu Kuwu pertama,” kata Farihin.

“Adapun Walangsungsang diangkat sebagai wakil, jabatannya Pangraksabumi dan dikenal dengan sebutan Ki Cakrabumi. Jadi Walangsungsang saat itu menjadi wakilnya Ki Danusela,” sambung dia.

Kala itu, wilayah yang dipimpin oleh Ki Gedeng Alang-alang bernama Kebon Pesisir yang kini dikenal sebagai daerah Lemahwungkuk. Saat itu, wilayah tersebut banyak dihuni oleh masyarakat dari berbagai suku bangsa.

Dari keberagaman itu pula menjadi awal mula nama Cirebon lahir. Masyarakat dari berbagai suku dan budaya itu bersepakat untuk menamai wilayah tersebut Sarumban atau Caruban yang berarti campuran.

“Di situ ada masyarakat dari berbagai wilayah. Ada dari Arab, Cina, Persia, India, Tumasik (Singapura), Ujung Mendini (Malaysia), Jawa, Sunda dan lain-lain. Mereka kemudian bersepakat menamai Kebon Pesisir dengan sebutan Sarumban atau Caruban yang artinya campuran,” kata Farihin.

“Jadi kata Caruban itu berasal dari Sarumban, artinya campuran. Nah percampuran berbagai suku, bangsa, budaya, bahasa, agama inilah yang melahirkan sebuah entitas baru yang kemudian kita kenal sebagai Cirebon hari ini,” kata dia menambahkan.

Selain itu, Farihin menjelaskan bahwa lahirnya Cirebon juga tidak bisa dipisahkan dari visi dan misi dakwah Islam yang dibawa oleh Pangeran Walangsungsang. Dalam proses dakwah tersebut, Walangsungsang mempersatukan masyarakat lintas suku dan budaya menjadi satu kesatuan.

“Lahirnya Cirebon ini bersamaan dengan visi-misi dakwah Islam yang dibawa oleh Pangeran Walangsungsang atas perintah gurunya, Syekh Nurjati. Tapi dasar yang dilakukan oleh Walangsungsang dalam penyebaran Islam itu adalah beliau menyatukan seluruh masyarakat dari berbagai latar belakang,” terangnya.

Pada fase berikutnya, setelah era Pakuwuan, Walangsungsang kemudian mulai mendirikan sebuah keraton sebagai bentuk pemerintahan kala itu. Sekitar tahun 1454, ia membangun Keraton Pakungwati lengkap dengan pasukannya.

“Dibangunnya Cirebon tidak bersamaan dengan dibangunnya keraton. Awalnya, yang dibangun adalah wilayah tanahnya, kemudian berdirilah sebuah dukuh atau desa yang disebut dengan Caruban. Beberapa tahun setelahnya, yaitu sekitar tahun 1454 barulah Walangsungsang membangun keraton, lengkap dengan pasukan militernya. Keratonnya dinamakan Keraton Pakungwati,” kata Farihin.

Pada era ini, Walangsungsang atau yang juga dikenal sebagai Pangeran Cakrabuana kemudian menjadi pemimpin di sebuah keraton yang dibangunnya. Walangsungsang sendiri merupakan putra dari Prabu Siliwangi, seorang raja dari kerajaan Pajajaran.

“Keraton yang dibangun Walangsungsang saat itu statusnya masih di bawah Kerajaan Pajajaran,” kata Farihin.

Karena wilayah kekuasaannya semakin luas, Walangsungsang lalu mendapat apresiasi dari sang ayah. Prabu Siliwangi kemudian mengirim utusan untuk memberikan penghargaan kepada Walangsungsang.

“Ketika Walangsungsang mendirikan keraton dan wilayahnya semakin luas, prestasi ini kemudian diapresiasi oleh ayahnya, Prabu Siliwangi dengan mengirim utusan Ki Jaga Bayan untuk memberi penghargaan dan memberikan kursi Gading Gilang Kencana kepada Walangsungsang,” ucap Farihin.

“Dan di situlah momentum Walangsungsang kemudian diangkat sebagai Tumenggung Sri Mangana,” kata dia.

Dalam perjalanannya, tampuk kepemimpinan pun berganti. Setelah masa kepemimpinannya, Walangsungsang kemudian menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada keponakannya, yaitu Sunan Gunung Jati.

“Walangsungsang mengangkat keponakannya, Sunan Gunung Jati sebagai raja berikutnya,” terang Farihin.

Menurut Farihin, jika menilik dari sejarahnya, perjalanan berdirinya Cirebon melewati beberapa fase. Di antaranya adalah fase Pakuwuan, fase Ketumenggungan, dan fase Kesunanan.

“Jadi bentuk pemerintahan yang pertama adalah Pakuwuan, kemudian Ketumenggungan, dan selanjutnya adalah fase Kesunanan,” terang Farihin.

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.

Fase Kesunanan sendiri muncul karena pada masa itu Cirebon dipimpin oleh seorang raja yang disebut sunan. Di era ini, yang menjadi pemimpin di Cirebon adalah Sunan Gunung Jati.

Di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati, Cirebon kemudian melepaskan diri dari Kerajaan Pajajaran dan menjadi negara yang berdaulat.

“Di era kesunanan ini kemudian Cirebon melepaskan diri dari pemerintahan Pajajaran untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat,” kata Farihin.

Selama berabad-abad, Cirebon tumbuh sebagai daerah multikultural dengan beragam kekayaan seni, budaya, dan tradisi. Ada banyak peninggalan sejarah di Cirebon yang hingga masih bisa dilihat keberadaannya.

Keraton-keraton seperti Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaprabonan menjadi bukti kejayaan masa lalu sekaligus sebagai penjaga warisan budaya.

Hingga kini, keraton-keraton di Cirebon masih berdiri kokoh dan tetap terjaga. Saat ini, keraton-keraton tersebut kerap menjadi tujuan bagi para wisatawan yang ingin menambah pengetahuan sejarah.

Selain sebagai objek wisata, keraton-keraton itu juga menjadi pusat kegiatan budaya, mulai dari prosesi adat, pertunjukan seni, hingga upacara keagamaan.

Pada tahun ini, Cirebon akan memperingati hari jadinya ke-598. Pemerintah Kota Cirebon telah menyiapkan beragam kegiatan untuk mengisi dan memeriahkan hari jadi Cirebon.

Walangsungsang Mendirikan Keraton

Peralihan Tampuk Kepemimpinan

Peninggalan Sejarah di Cirebon

Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *