Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Cirebon kembali menjadi sorotan. Meski dirancang untuk meningkatkan asupan gizi pelajar, pelaksanaannya ternyata menuai pro dan kontra, terutama di kalangan orang tua serta siswa tingkat Sekolah Dasar (SD).
Hal tersebut mengemuka dalam dialog antara Komite Sekolah dan Komisi IX DPR RI yang digelar di ruang Paseban Setda Kabupaten Cirebon, Senin (1/12/2025).
Komite SDN 4 Kenanga, Kecamatan Sumber, Ratna, menyampaikan bahwa tidak semua siswa antusias menyantap makanan MBG yang disajikan di sekolah. Menurutnya, variasi menu yang terbatas membuat anak-anak cepat bosan.
“Menu MBG perlu dibuat lebih menarik. Anak-anak itu sensitif soal tampilan. Misalnya nasi dibentuk seperti boneka agar mereka tertarik makan,” ujar Ratna.
Ia menambahkan, selain tampilan, cita rasa dan penyajian yang kurang kreatif juga membuat sebagian siswa memilih tidak menghabiskan makanan MBG.
Ratna mengungkapkan bahwa sempat beredar kabar viral mengenai siswa yang mengalami keracunan setelah mengonsumsi menu MBG di daerah lain. Kabar tersebut ikut memengaruhi persepsi orang tua di Kabupaten Cirebon.
“Orang tua jadi khawatir dan melarang anaknya makan MBG. Bahkan ada yang meminta agar MBG diganti saja dengan uang,” tuturnya.
Kekhawatiran ini, menurutnya, berimbas pada penurunan minat siswa terhadap menu MBG meski distribusinya terus berjalan di sekolah.
Kritik juga datang dari Kepala SDN Karangmulya, Saerah. Ia menyoroti snack MBG yang dibagikan setiap hari Sabtu, terutama jenis roti yang dinilai terlalu umum dan mudah ditemukan di pasar.
“Anak-anak bosan karena rotinya sama seperti yang dijual di toko-toko. Kami berharap snack-nya ditingkatkan kualitas gizinya dan lebih variatif,” jelasnya.
Adapun untuk menu hari Senin hingga Jumat, pihak sekolah mengaku penyajian makanan olahan sudah mengikuti standar Badan Gizi Nasional (BGN), dan proses distribusinya berjalan normal.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh, menyoroti sejumlah temuan terkait penyelenggaraan Sentra Pemberdayaan Perempuan dan Generasi Berencana (SPPG) di beberapa daerah. Ia mengingatkan bahwa mekanisme penetapan penerima manfaat seharusnya dilakukan secara ketat berdasarkan wilayah kecamatan, bukan lintas daerah.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
“Penghitungan penerima manfaat itu berdasarkan tiap kecamatan. Kecamatan A kebutuhannya berapa, itu disesuaikan dengan calon penerima manfaat. Jadi tidak bisa lintas kecamatan, apalagi lintas kabupaten,” tegas Nihayatul saat melakukan kunjungan kerja.
Ia mengaku terkejut setelah menerima laporan bahwa ada SPPG yang menyalurkan manfaat kepada warga dari kabupaten lain hanya karena lokasi SPPG berada di wilayah perbatasan. Menurutnya, hal tersebut berpotensi mengurangi jatah bagi masyarakat setempat.
“Kalau lintas kabupaten berarti dia mengambil jatah SPPG kabupaten Cirebon. Ini harus ditertibkan. Kalau tidak, nanti bisa-bisa melebar sampai lintas provinsi,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Nihayatul juga menyoroti temuan dari Dandim setempat yang melaporkan adanya SPPG dengan jumlah penerima manfaat hanya sekitar 1.000 orang. Angka tersebut jauh di bawah ketentuan minimal yang telah ditetapkan, yakni lebih dari 2.000 penerima manfaat, khususnya di wilayah Pulau Jawa yang memiliki populasi lebih padat.
“Saya cukup kaget, karena di peraturan kita itu minimal sekitar 2.500 penerima manfaat. Di luar Jawa mungkin bisa dimaklumi karena penduduknya lebih sedikit. Tapi di Jawa seharusnya tidak demikian,” jelasnya.
Keheranan lain muncul ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melaporkan bahwa hingga kini belum ada satu pun SPPG di Kabupaten Cirebon yang melakukan konsultasi. Padahal, BPOM memiliki peran penting dalam pembinaan, khususnya terkait pengecekan makanan dan dukungan ahli gizi.
“Saya kaget karena ini sebenarnya mandat dari Komisi IX, dan sudah ditindaklanjuti dengan MoU antara BPOM dan BKKBN. Harus ada pembinaan dari BPOM. Mereka tidak membuka kelayakan, tetapi melakukan pembinaan-mulai dari ahli gizi hingga pengecekan makanan,” tegas Nihayatul.
Ia meminta BPOM untuk lebih proaktif dan “jemput bola” dalam memberikan pendampingan kepada SPPG, agar pelaksanaan program berjalan sesuai standar serta memastikan masyarakat menerima manfaat secara tepat, aman, dan berkualitas.
Sementara itu, Wakil Bupati Cirebon, Agus Kurniawan Budiman, mengatakan kunjungan Komisi IX DPR RI dilakukan untuk mengevaluasi keberlanjutan program MBG sekaligus mendengar masukan dari para pemangku kepentingan.
“Beberapa stakeholder hadir seperti Badan Gizi Nasional (BGN), BPOM, dan BPJS Kesehatan. Tujuannya agar pelaksanaan MBG di Kabupaten Cirebon bisa lebih baik,” jelasnya.
Menurutnya, forum tersebut membahas berbagai kendala di lapangan, mulai dari distribusi, kualitas bahan baku, hingga standar layanan higiene sanitasi (SLHS) yang harus dipenuhi SPPG penyedia makanan.
“Komisi IX juga memberikan solusi-solusi untuk memperbaiki pelaksanaan MBG agar manfaatnya semakin dirasakan oleh masyarakat,” tambahnya.
Agus menegaskan bahwa program MBG tidak hanya bertujuan meningkatkan gizi anak-anak, tetapi juga berperan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
“Program ini membuka lapangan pekerjaan dan menggerakkan rantai suplai bahan baku di Kabupaten Cirebon. Ini berdampak langsung pada ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Dengan berbagai catatan evaluasi yang disampaikan, Pemerintah Kabupaten Cirebon berharap pelaksanaan MBG dapat terus disempurnakan agar lebih aman, bergizi, dan menarik bagi seluruh siswa.







