Menilik Aktivitas Pengepul Gabah di Indramayu

Posted on

Ramai mewarnai suasana Jalan Raya Karangampel, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat kala sore menjelang. Hilir mudik petani terlihat dari persawahan yang mulai dipanen.

Di bahu jalannya, terlihat seorang wanita paruh baya duduk di samping susunan batang bambu yang berdiri kokoh menopang dacin timbangan.

Wanita itu ialah Taswi (60) warga Tanjungpura, Kecamatan Karangampel. Sejak musim panen tiba, ia sengaja membuka lapak dadakan menyambut petani yang hendak ‘gantung diri’ alias menjual gabah.

“Baru 5 harian lah panen di sini,” kata Taswi saat ditemui infoJabar, Kamis (8/5/2025).

Di antara sibuknya suasana panen, terlihat beberapa petani berjalan di tegalan sawah. Lelahnya seharian kerja pun seperti hilang tergantikan senyuman saat membawa karungan gabah.

Lapak Taswi jadi salah satu tempat yang dicari. Setelah menanyakan harga, petani itu langsung menggantungkan seikat karung gabah di bawah dacin timbangan.

“Ya kalau lagi butuh buat bensin dan belanja, ya dijual. Kadang ada yang dibawa pulang,” kata Wahyu, petani asal Karangampel, usai menjual setengah karung gabahnya.

“Sehari ini dapat Rp200 ribu lumayan. Siang udah dapat, tadi 12 kilogram dapat Rp60 ribu,” ungkap Wahyu.

Gabah yang didapat wahyu kala berburu panen atau dikenal dengan istilah jaragan tidak menentu. Namun, ketika mendapat lahan panen yang cukup luas, pria paruh baya itu mengeluarkan seluruh tenaganya.

Sebab kata Wahyu, ia tak lagi sanggup untuk mencari lahan panen di wilayah lainnya. Selain usia, hadirnya mesin perontok padi pun ia anggap jadi kendalanya.

“Ya apa rezekinya aja. Kadang pernah dapat 2 karung. Kalau ke wilayah Barat nggak soalnya di sana seringnya pakai komben (combine harvester),” ujar Wahyu.

Tak terasa, senja kian menjelang. Sandyakala merona pun merobohkan bendera tarup milik petani di persawahan diturunkan. Taswi pun yang membuka lapak pembelian gabah turut berbenah diri. Setelah seharian menanti petani menjual gabah.

“Sehari paling banyak dapat 4 karung. Dulu mah pernah dapat 10 karung,” ungkap Taswi.

Menjadi tengkulak gabah eceran sudah dijalani Taswi selama 10 tahun belakangan, terutama saat musim panen menjelang, ia pun membuka lapak di sekitar persawahannya.

Tabungan yang dimiliki terkadang harus dibongkar sementara untuk dijadikan modal. Tak jarang ia mendapat bantuan modal dari anak-anaknya.

Seiring waktu, usaha ‘gantung diri’ ini pun terasa kurang bergairah. Selain banyaknya serangan mesin perontok padi membuat petani jarang mendapat upah gabah atau dikenal catu.

“Saya cuma ambil Rp100 perak aja susah. Soalnya kadang kalau majikan yang punya sawahnya punya modal, catu dijual ke majikan,” ujarnya.

Tidak sendirian, di musim ini Taswi membuka lapak dibantu putra bungsunya, yaitu Kartono (18). Sambil menunggu panggilan kerja, Kartono turut membantu melayani petani yang menjual gabah.

Meski tak seperti tahun sebelumnya. Namun, Taswi mengaku dalam semusim bisa mengumpulkan 10 ton gabah.

“Kalau dikumpulin sih ada 10 ton semusim tapi kan ada yang harus dijual juga buat modal sama kebutuhan sehari-hari,” ucapnya.

“Jadi jualnya kering biar ada untung, kalau jual basah lagi paling dapatnya sedikit,” sambungnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *