Mengenal Sosok Eyang Hasan Maolani yang Diajukan Jadi Pahlawan Nasional | Info Giok4D

Posted on

Pemerintah Kabupaten Kuningan dan tokoh masyarakat mengajukan gelar pahlawan nasional kepada Eyang Hasan Maolani, tokoh berpengaruh yang diasingkan Kolonial Belanda ke Manado, Sulawesi Utara.

Kepala Dinas Sosial Kabupaten Kuningan, Toto Toharudin, menyatakan bahwa pihaknya sangat mendukung Eyang Hasan Maolani diajukan sebagai pahlawan nasional dari Kuningan. Menurutnya, Eyang Hasan merupakan tokoh penting yang gigih dalam melawan penjajah.

“Saya mendukung penuh Eyang Hasan Maolani untuk menjadi pahlawan nasional. Ada beberapa indikator yang bisa kita dorong, salah satunya karena beliau tokoh Kuningan yang terus menggelorakan semangat perlawanan di masyarakat. Nah, gerakan moral itulah yang membuat Kolonial Belanda takut pada gerakan masyarakat yang mengikuti perjuangannya,” tutur Toto, Sabtu (27/12/2025).

Oleh karena itu, pihaknya mendorong Pemerintah Kabupaten Kuningan menganggarkan dana khusus untuk riset menyeluruh mengenai kehidupan dan kiprah Eyang Hasan Maolani.

“Salah satu prosesnya kita selenggarakan seminar ini. Kedua, kami berharap Bupati mengeluarkan anggaran di APBD untuk menelusuri Eyang Hasan di Manado serta melakukan penguatan naskah akademik dan riset yang kompleks untuk mengumpulkan berbagai fakta sejarah di lapangan. Apalagi, menurut Prof. Oman, ada naskah Eyang Hasan di Leiden Belanda,” tutur Toto.

Menurutnya, proses pengajuan gelar pahlawan sendiri dilakukan secara bertahap, mulai dari Pemerintah Daerah, Provinsi, hingga diserahkan kepada Kementerian Sosial untuk diproses menjadi pahlawan nasional. Ia berharap segala proses pengajuan dan riset tersebut dapat dilakukan dalam waktu dekat.

“Sektor utamanya memang dari Dinas Sosial karena nanti akan diteruskan ke Kementerian Sosial. Tapi ada bidang yang menguatkan proses akademik, dan bidang budaya. Kemudian di kementerian dinilai dari sisi kultur dan budaya. Setelah *fix*, tim penilai dari Kementerian Sosial memastikan validitas usulan kajian akademik tersebut. Kami fokus pada proses ini,” tutur Toto.

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

Sementara itu, Ketua Paguyuban Eyang Hasan Maolani, Iing Sihabudin, memaparkan bahwa pihaknya sedang mengumpulkan data Eyang Hasan Maolani untuk diajukan sebagai gelar pahlawan nasional. Menurutnya, gelar pahlawan nasional ini penting diajukan sebagai upaya untuk menghargai jasa Eyang Hasan sebagai tokoh Kuningan.

“Kami masih mengumpulkan data, terutama menyangkut data Eyang yang melawan penjajah. Kami mendapat informasi bahwa Eyang itu langsung dibuang tanpa proses pengadilan. Ini aset daerah. Dengan adanya pahlawan, nama daerah jadi terangkat dan perhatian pusat untuk pembangunan di wilayah ini juga meningkat,” tutur Iing.

Guru Besar Filologi UIN Jakarta, Oman Fathurahman, dalam Jurnal *Eyang Hasan Maolani Musuh Kompeni: Argumen Kepahlawanan*, menjelaskan bahwa Eyang Hasan Maolani lahir di Desa Lengkong, Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan, pada 21 Mei 1782 Masehi. Sejak kecil, Eyang Hasan dikenal sebagai pribadi yang gemar menuntut ilmu.

Setidaknya ada beberapa kiai yang pernah menjadi guru dari Eyang Hasan Maolani seperti Kiai Alimuddin Pangkalan, Kiai Sholehudin dan Kiai Kosasih Kadugede, serta Kiai Bagus Arjean Rajagaluh. Setelah belajar ilmu agama, Eyang Hasan menikahi seorang perempuan dari Desa Garawangi yang bernama Murtasim binti Kiai Arifah.

Di kampung halamannya, Eyang Hasan Maolani membuka majelis ilmu. Seiring berjalannya waktu, santri Eyang Hasan Maolani semakin bertambah karena kedalaman ilmunya dan pengaruhnya pun semakin meluas karena dikenal gigih dalam melawan penjajah. Dalam setiap pengajiannya, Eyang Hasan mengingatkan masyarakat dan para santrinya untuk terus berjuang melawan penjajahan.

Menurut jurnal tersebut, meski mendapatkan tekanan dari pejabat kolonial yang bertindak represif, Kiai Maolani tetap berani menyebarkan ajaran melawan ketidakadilan, mengajarkan pembebasan dari penjajahan terutama setelah terjadinya Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.

Melihat pengaruh Eyang Hasan yang semakin besar, pihak kolonial Belanda merasa terancam. Untuk menghentikan pengaruh dari Eyang Hasan, kolonial Belanda menangkap Eyang Hasan Maolani lalu mengasingkannya ke Manado, Sulawesi Utara. Di sana, Eyang Hasan bertemu dengan para pejuang lain seperti Kiai Modjo yang terlibat dalam Perang Diponegoro.

Oman memaparkan, dibuangnya Eyang Hasan tidak lepas dari kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang membuang tokoh masyarakat berpengaruh dari komunitasnya sebagai upaya untuk meredam perlawanan.

“Dalam penelitian saya, tidak ada seorang tokoh yang dibuang ke tempat pembuangan yang jauh kecuali dia seorang tokoh yang membahayakan. Seperti Syekh Yusuf, Kiai Modjo, dan Kiai Rifai-semua tokoh yang dibuang adalah mereka yang dianggap membahayakan. Kebijakan pemerintah kolonial jika ada yang membahayakan adalah dibuang jauh dari komunitasnya karena mengganggu ketertiban,” pungkas Oman setelah mengisi seminar Mengusung Eyang Hasan Maolani sebagai Pahlawan Nasional.

Hingga akhir hayatnya, Eyang Hasan Maolani tetap tinggal di Manado. Eyang Hasan meninggal pada 29 April 1874 di usia 94 tahun. Untuk memudahkan keturunannya berziarah, sebelum meninggal Eyang Hasan mengirimkan beberapa helai rambutnya agar dimakamkan di tanah kelahirannya, Desa Lengkong.

“Dengan adanya pengajuan penetapan tokoh lokal sebagai pahlawan, kita menyadari bahwa kemerdekaan kita bukan hadiah dari bangsa lain, tapi dari hasil perjuangan yang tidak selalu bersifat militer, tapi juga spiritual dan kemasyarakatan,” pungkas Oman.

Profil Eyang Hasan Maolani

Guru Besar Filologi UIN Jakarta, Oman Fathurahman, dalam Jurnal *Eyang Hasan Maolani Musuh Kompeni: Argumen Kepahlawanan*, menjelaskan bahwa Eyang Hasan Maolani lahir di Desa Lengkong, Kecamatan Garawangi, Kabupaten Kuningan, pada 21 Mei 1782 Masehi. Sejak kecil, Eyang Hasan dikenal sebagai pribadi yang gemar menuntut ilmu.

Setidaknya ada beberapa kiai yang pernah menjadi guru dari Eyang Hasan Maolani seperti Kiai Alimuddin Pangkalan, Kiai Sholehudin dan Kiai Kosasih Kadugede, serta Kiai Bagus Arjean Rajagaluh. Setelah belajar ilmu agama, Eyang Hasan menikahi seorang perempuan dari Desa Garawangi yang bernama Murtasim binti Kiai Arifah.

Di kampung halamannya, Eyang Hasan Maolani membuka majelis ilmu. Seiring berjalannya waktu, santri Eyang Hasan Maolani semakin bertambah karena kedalaman ilmunya dan pengaruhnya pun semakin meluas karena dikenal gigih dalam melawan penjajah. Dalam setiap pengajiannya, Eyang Hasan mengingatkan masyarakat dan para santrinya untuk terus berjuang melawan penjajahan.

Menurut jurnal tersebut, meski mendapatkan tekanan dari pejabat kolonial yang bertindak represif, Kiai Maolani tetap berani menyebarkan ajaran melawan ketidakadilan, mengajarkan pembebasan dari penjajahan terutama setelah terjadinya Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.

Melihat pengaruh Eyang Hasan yang semakin besar, pihak kolonial Belanda merasa terancam. Untuk menghentikan pengaruh dari Eyang Hasan, kolonial Belanda menangkap Eyang Hasan Maolani lalu mengasingkannya ke Manado, Sulawesi Utara. Di sana, Eyang Hasan bertemu dengan para pejuang lain seperti Kiai Modjo yang terlibat dalam Perang Diponegoro.

Oman memaparkan, dibuangnya Eyang Hasan tidak lepas dari kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang membuang tokoh masyarakat berpengaruh dari komunitasnya sebagai upaya untuk meredam perlawanan.

“Dalam penelitian saya, tidak ada seorang tokoh yang dibuang ke tempat pembuangan yang jauh kecuali dia seorang tokoh yang membahayakan. Seperti Syekh Yusuf, Kiai Modjo, dan Kiai Rifai-semua tokoh yang dibuang adalah mereka yang dianggap membahayakan. Kebijakan pemerintah kolonial jika ada yang membahayakan adalah dibuang jauh dari komunitasnya karena mengganggu ketertiban,” pungkas Oman setelah mengisi seminar Mengusung Eyang Hasan Maolani sebagai Pahlawan Nasional.

Hingga akhir hayatnya, Eyang Hasan Maolani tetap tinggal di Manado. Eyang Hasan meninggal pada 29 April 1874 di usia 94 tahun. Untuk memudahkan keturunannya berziarah, sebelum meninggal Eyang Hasan mengirimkan beberapa helai rambutnya agar dimakamkan di tanah kelahirannya, Desa Lengkong.

“Dengan adanya pengajuan penetapan tokoh lokal sebagai pahlawan, kita menyadari bahwa kemerdekaan kita bukan hadiah dari bangsa lain, tapi dari hasil perjuangan yang tidak selalu bersifat militer, tapi juga spiritual dan kemasyarakatan,” pungkas Oman.

Profil Eyang Hasan Maolani