Mainan terus bertransformasi seiring perkembangan zaman, baik dari segi model, bentuk, maupun tema. Museum 198X hadir sebagai ruang kurasi mainan era 1980-an yang mengajak pengunjung menjelajahi kembali memori masa lalu. Berlokasi di tengah Kota Bandung, museum ini menjadi alternatif destinasi bagi wisatawan yang mencari pengalaman berbeda dalam keramaian pusat kota.
Sebelum Museum 198X berdiri, identitas Zero Toys sudah terbentuk pada 1999. Zero Toys merupakan toko mainan yang sejak awal menyasar segmen kolektor dewasa. “Awalnya memang dibuat sebagai toko mainan untuk kolektor. Fokus kami adalah mainan untuk orang dewasa, bukan mainan anak-anak,” ungkap Aldo Ikhwanul Khalid selaku pemilik Zero Toys sekaligus Museum 198X kepada infoJabar, belum lama ini.
Koleksi yang tersedia di Zero Toys diperoleh melalui sistem konsinyasi atau titip jual dari para kolektor. Dalam sistem ini, pemilik barang menyerahkan koleksinya kepada pihak toko untuk dipasarkan. “Keunikan Zero Toys terletak pada ketiadaan stok milik toko. Model bisnis kami berbasis konsinyasi, sehingga barang yang dijual merupakan titipan dari teman-teman komunitas mainan,” jelas Aldo.
Pembentukan Museum 198X berawal dari fenomena pengunjung toko yang sering datang hanya untuk mengapresiasi koleksi tanpa melakukan transaksi. Selama bertahun-tahun, tingginya minat pengunjung tersebut memunculkan gagasan untuk meresmikan ruang itu sebagai museum.
“Sejak dulu, banyak orang datang bukan untuk berbelanja, melainkan hanya melihat-lihat karena senang menikmati koleksinya. Dari situ muncul pemikiran, jika memang sudah dianggap seperti museum, maka kami putuskan untuk mendirikan museum,” tambah Aldo.
Pada 2008, tepat sembilan tahun setelah Zero Toys beroperasi, Museum 198X resmi didirikan. Awalnya hanya berupa satu lemari khusus display, namun area pameran tersebut terus berkembang hingga kini menempati ruang yang lebih luas dibandingkan unit tokonya sendiri.
Museum 198X tidak sekadar menjadi ruang pamer objek, tetapi juga berfungsi sebagai arsip visual yang merekam pertumbuhan generasi 80-an di Indonesia. Berbeda dengan banyak kolektor yang mengandalkan jalur impor, museum ini secara khusus memprioritaskan sejarah lokal dengan mengumpulkan mainan yang memang pernah beredar di pasar Indonesia.
“Kami sengaja mengumpulkan mainan yang benar-benar sudah ada di Indonesia sejak dulu. Kami tidak mencarinya melalui eBay atau lelang luar negeri. Misi kami adalah menunjukkan seperti apa rasanya tumbuh besar di Indonesia pada era 80-an” papar Aldo.
Bagi generasi kontemporer seperti Gen Z dan Gen Alpha, Museum 198X berfungsi sebagai sarana edukasi budaya pop. Melalui koleksi yang ditampilkan, pengunjung dapat mengamati evolusi karakter ikonik seperti Transformers dan Star Wars, yang awalnya hadir sebagai produk plastik sederhana sebelum berkembang menjadi waralaba hiburan berskala global.
Museum 198X menerapkan mekanisme akses yang berbeda dari objek wisata pada umumnya. Pengunjung tidak membeli tiket masuk secara konvensional, melainkan membeli paket suvenir dengan harga minimal Rp50.000 untuk memperoleh akses penuh ke museum yang terdiri dari tiga lantai.
“Kami tidak menjual tiket, melainkan paket suvenir. Di dalamnya terdapat beberapa komponen, seperti paket stiker jadul dari era 80-an. Cara ini memungkinkan pengunjung pulang dengan membawa bukti fisik dari pengalaman nostalgia mereka” jelasnya.
Di tengah dominasi tren digital, Museum 198X membuktikan bahwa objek fisik tetap memiliki daya tarik yang relevan. Pada momen libur Natal dan Tahun Baru (Nataru), museum ini menawarkan ruang interaksi antargenerasi, di mana sejarah masa lalu dapat dihadirkan kembali melalui pengalaman visual.
Berlokasi di Jalan Sunda, Museum 198X menjadi destinasi yang menawarkan pengalaman mendalam di balik pintu masuknya yang sederhana. Koleksi yang terawat dengan baik memberikan kesempatan bagi setiap pengunjung untuk kembali menjelajahi labirin kenangan masa lalu melalui koleksi autentik.
Sejarah Berdirinya Museum 198X
Representasi Sejarah Budaya Pop Lokal
Mekanisme Akses Melalui Suvenir
Penutup Tahun dengan Nostalgia
Informasi Museum









