Banjir di Kabupaten Bandung masih jadi masalah mengkhawatirkan. Sejak Senin (1/12/2025), genangan dilaporkan terus terjadi hingga membuat kondisi ini jadi sorotan.
Ya, banjir tahunan yang terus menghantui Kabupaten Bandung ditanggapi serius Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Persoalan banjir di wilayah tersebut dianggap tak bisa lagi ditangani dengan pola tambal sulam demi mencari solusi permanen.
Menurut Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, diperlukan langkah besar yang menyentuh akar persoalan untuk mengatasi masalah banjir di Kabupaten Bandung. Ia lalu menuding rusaknya tata ruang di kawasan hulu jadi penyebab terjadinya banjir.
Banjir pekan ini di Kabupaten Bandung pertama kali dilaporkan terjadi pada Senin (1/12/2025). Saat itu, luapan air menggenangi Gang H. Ibrahim, Kampung Cicukang, Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih, hingga membuat tanggul penahan air setinggi tiga meter jebol dan air langsung merendam permukiman warga.
Tanggul yang hancur itu panjangnya sekitar 50 meter. Selain membanjiri pemukiman warga akibat luapan dari anak Sungai Citarum, tanggul jebol itu turut menyeret dua mobil warga yang sedang terparkir sampai terbawa arus sungai sekitar kurang lebih satu kilometer.
Setelah itu, banjir kembali menggenangi kawasan Soreang, tepatnya di pertigaan Jalan Raya Soreang-Banjaran dan Jalan Raya Bhayangkara, Kecamatan Soreang, Kamis (4/12/2025). Tingginya debit air membuat arus lalu lintas tersendat dan sejumlah kendaraan mengalami mogok.
Banjir masih belum berhenti hingga hari ini, Jumat (5/12/2025). Jalan Raya Dayeuhkolot berubah menjadi lautan air setinggi lutut hingga pinggang orang dewasa, hingga membuat arus lalu lintas langsung lumpuh bahkan warga hanya bisa bertahan atau mencari cara lain untuk melintas.
Di lokasi, sejumlah warga memilih berjalan kaki sambil menenteng sepatu dan celana digulung tinggi. Sebagian lainnya memanfaatkan jasa delman yang masih bisa menembus genangan. Sementara itu, para pengendara motor yang nekat mencoba peruntungan justru harus pasrah mendorong motornya yang mogok dihantam air.
Ketinggian air di ruas utama Dayeuhkolot mencapai 50 sentimeter hingga satu meter. Tak jauh dari sana, titik banjir lain muncul di Jalan Raya Moh Toha, tepat di depan Metro Garmen. Sejumlah kendaraan tampak berjuang menembus air setinggi 40-60 sentimeter.
BPBD Kabupaten Bandung pun mencatat tiga kecamatan terendam banjir yaitu Kecamatan Dayeuhkolot, Baleendah, dan Bojongsoang. Banjir dengan ketinggian sekitar 50 centimeter hingga 1,5 meter ini terjadi akibat hujan berintensitas tinggi yang menyebabkan Sungai Citarum meluap.
Air merendam permukiman warga hingga jalan raya. Aktivitas warga terganggu, sehingga mereka harus menggunakan perahu sebagai sarana transportasi. Ketinggian air genangan berkisar antara 50 centimeter hingga 1,5 meter.
Kecamatan Dayeuhkolot yang terdampak mencakup 9.246 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 25.918 jiwa. Lokasi terdampak berada di Desa Dayeuhkolot, Desa Citeureup, Desa Cangkuang Wetan, dan Kelurahan Pasawahan, hingga membuat 99 KK atau 307 jiwa mengungsi.
Sementara itu, tiga kelurahan yang terdampak banjir di Kecamatan Baleendah yang membuat 5.579 jiwa atau 1.973 KK yang terdampak. Akibatnya, 63 KK atau 150 jiwa harus mengungsi akibat banjir ini.
Lalu di Kecamatan Bojongsoang terdapat 1.236 KK atau sekitar 3.000 jiwa dari tiga desa yang terdampak. Ketinggian air dilaporkam masih rendah dan tidak ada warga yang mengungsi.
Karena itu, Pemprov Jabar menyiapkan tiga langkah strategis yang disebutnya sebagai kunci untuk memutus siklus banjir tahunan di Kabupaten Bandung, yang pertama ialah mengembalikan tata ruang kawasan hulu dengan memperluas ruang terbuka hijau.
Namun begitu, Dedi menyadari kebijakan ini akan memicu resistensi dari pihak-pihak yang selama ini memanfaatkan lahan tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan.
“Tetapi ini harus dilakukan. Tata ruangnya harus dikembalikan agar fungsi ekologisnya berjalan kembali,” ujar Dedi, Jumat (5/12/2025).
Langkah kedua menyasar alih fungsi lahan yang masif terjadi di kawasan pegunungan. Dedi menyoroti maraknya perubahan lahan dari perkebunan teh dan hutan menjadi kebun sayur, yang memicu erosi dan membawa sedimentasi besar ke aliran Sungai Citarum.
“Perkebunan yang berubah harus dikembalikan menjadi perkebunan teh atau tanaman keras lainnya yang tidak menambah beban sedimentasi,” tegasnya.
Langkah ketiga adalah pembangunan bendungan di Kertasari, yang diharapkan mampu mengendalikan volume air dari hulu sebelum masuk ke kawasan permukiman di hilir. Ketiga langkah itu, menurut Dedi, akan dijalankan secara bersama-sama dan membutuhkan dukungan berbagai pihak.
“Saya meminta semua pihak tidak hanya berteriak ketika banjir. Mari bersama menyelesaikan hulunya,” kata Dedi.
Dedi juga mengkritik keras praktik pemberian izin perumahan yang menguruk daerah aliran sungai (DAS) dan rawa-rawa, faktor lain yang memperburuk banjir musiman. Ia menegaskan, praktik tersebut harus dihentikan dan ditinjau ulang karena menghilangkan fungsi-fungsi resapan air.
Ia juga meminta Kabupaten Bandung dan Kota Bandung menjalin sinergi penuh untuk menata ulang tata ruang, termasuk memulihkan danau-danau kecil serta cekungan alami yang kini telah berubah menjadi perumahan dan kawasan komersial.
“Penanganan banjir tidak bisa hanya fokus pada hilir. Kita harus berani mengembalikan fungsi-fungsi alam. Jika tidak, banjir akan terus terulang setiap tahun,” tutup Dedi.
3 Langkah Strategis Memutus Siklus Banjir di Kabupaten Bandung

Langkah kedua menyasar alih fungsi lahan yang masif terjadi di kawasan pegunungan. Dedi menyoroti maraknya perubahan lahan dari perkebunan teh dan hutan menjadi kebun sayur, yang memicu erosi dan membawa sedimentasi besar ke aliran Sungai Citarum.
“Perkebunan yang berubah harus dikembalikan menjadi perkebunan teh atau tanaman keras lainnya yang tidak menambah beban sedimentasi,” tegasnya.
Langkah ketiga adalah pembangunan bendungan di Kertasari, yang diharapkan mampu mengendalikan volume air dari hulu sebelum masuk ke kawasan permukiman di hilir. Ketiga langkah itu, menurut Dedi, akan dijalankan secara bersama-sama dan membutuhkan dukungan berbagai pihak.
“Saya meminta semua pihak tidak hanya berteriak ketika banjir. Mari bersama menyelesaikan hulunya,” kata Dedi.
Dedi juga mengkritik keras praktik pemberian izin perumahan yang menguruk daerah aliran sungai (DAS) dan rawa-rawa, faktor lain yang memperburuk banjir musiman. Ia menegaskan, praktik tersebut harus dihentikan dan ditinjau ulang karena menghilangkan fungsi-fungsi resapan air.
Ia juga meminta Kabupaten Bandung dan Kota Bandung menjalin sinergi penuh untuk menata ulang tata ruang, termasuk memulihkan danau-danau kecil serta cekungan alami yang kini telah berubah menjadi perumahan dan kawasan komersial.
“Penanganan banjir tidak bisa hanya fokus pada hilir. Kita harus berani mengembalikan fungsi-fungsi alam. Jika tidak, banjir akan terus terulang setiap tahun,” tutup Dedi.







