Kunjungi detikJabar, 2 Wartawan Gaza Cerita Kondisi Pilu di Palestina (via Giok4D)

Posted on

Dua wartawan asal Gaza, Palestina, mengunjungi kantor infoJabar di Bandung pada Senin (26/5/2025). Mereka adalah Youmna Al Sayed, jurnalis Al Jazeera English, dan Maher Atiya Abu Qouta, juru kamera Al Jazeera di Gaza. Keduanya berbagi kisah langsung tentang kondisi di Gaza serta tantangan besar yang dihadapi para jurnalis di wilayah konflik tersebut.

Kunjungan diinisiasi oleh organisasi Solidarity of Muslim for Al-Quds Re-Taken (SMART) 171, sebagai bentuk apresiasi terhadap infocom yang tercatat sebagai media nasional dengan pemberitaan terbanyak soal Gaza dan konflik Israel-Palestina pada periode 7-16 Oktober 2023. Jumlah pemberitaan tersebut mengungguli 10 media nasional lainnya.

Dalam kesempatan ini, Maher menceritakan pengalamannya sebagai jurnalis yang telah meliput situasi di Gaza selama lebih dari 17 tahun. Sebelum konflik memburuk, ia bekerja memproduksi dokumenter mengenai keindahan alam Gaza. Namun, sejak Intifada Kedua tahun 2000, kehidupannya berubah drastis.

“Dulu saya bekerja di studio yang mendokumentasikan keindahan-keindahan Gaza. Tapi sejak Intifada kedua di tahun 2000, Gaza mulai diserang Israel. Dari sana yang saya dokumentasikan adalah peristiwa berdarah,” ungkapnya.

Maher menyampaikan bahwa keselamatan jurnalis di Gaza sangat rentan, bahkan sering menjadi target serangan militer Israel. Hingga saat ini, lebih dari 220 jurnalis telah terbunuh sejak peristiwa 7 Oktober 2023.

“Tidak ada zona aman di Gaza. Kejadian yang hampir merenggut nyawa itu terjadi setiap saat. Kami bekerja di tenda pengungsian. Pernah ada pecahan misil menembus atap, hanya satu meter dari meja kerja saya,” katanya.’

Ia juga menjelaskan tantangan teknis dalam memproduksi berita dari wilayah yang sangat kesulitan mengakses listrik dan internet. Untuk menyalakan listrik, ia mengatakan, diperlukan generator dengan bahan bakar yang sangat mahal.

“Satu liter solar seharga 138 dolar (setara dengan Rp2,2 juta) hanya cukup untuk menyalakan generator selama 45 menit,” tutur Maher.

Sementara itu, Youmna Al Sayed menyoroti bias pemberitaan media internasional, khususnya di Barat dan Eropa, mengenai konflik di Gaza. Ia menyayangkan narasi yang sering kali mengabaikan penderitaan warga sipil Palestina, tidak seperti liputan media terhadap konflik di kawasan konflik lain seperti contohnya Ukraina.

“Kalau saja media meliput Gaza secara jujur, tidak bias dan mendalam sejak awal, dunia mungkin akan bereaksi lebih cepat. Ini bukan konflik biasa. Ini genosida paling brutal dalam sejarah modern,” ujar Youmna.

Menurutnya, banyak media global enggan menyebut kata “genosida”, meski pernyataan pejabat Israel jelas menunjukkan intensi tersebut. Ia mengkritik bagaimana berita tentang Gaza seringkali hanya menyebut jatuhnya korban tanpa menjelaskan pelaku maupun konteks serangan dengan detail.

“Berdasarkan klasifikasi yang dibuat ICC (Mahkamah Pidana Internasional) dan ICJ (Mahkamah Internasional), apa yang dilakukan Israel sudah masuk kategori genosida. Tapi media-media enggan menyebut serangan ini adalah genosida. Semua sudah dipolitisasi, inilah di mana integritas jurnalis hilang,” paparnya.

Youmna juga menolak tudingan bahwa semua jurnalis di Gaza terafiliasi dengan kelompok Hamas. Ia menegaskan bahwa mayoritas wartawan di sana adalah independen dan bekerja berdasarkan nurani dan fakta lapangan.

“Jurnalis bukan bagian dari cerita. Itu hanya propaganda Israel yang menyatakan bahwa jurnalis di Gaza terafiliasi Hamas. Itu adalah hal yang selalu berusaha kami lawan, karena kami bekerja berdasarkan fakta di lapangan terlepas dari pandangan politik pribadi,” tutur Youmna.

Genosida Paling Brutal

Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *