Kritik Jurnalis Youmna Minta Dunia Lebih Utuh Melihat Konflik di Gaza

Posted on

Jurnalis Al Jazeera English yang bertugas di Gaza, Youmna Al Sayed mengungkapkan keprihatinannya terhadap pemberitaan media internasional yang kerap dinilai bias saat mengabarkan konflik kemanusiaan yang terjadi Palestina. Ia menyoroti bagaimana narasi media cenderung mengaburkan pelaku dan memperhalus tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Israel.

“Media benar-benar bias. Ke mana pun saya pergi–Eropa, Inggris, atau Amerika Serikat–headline-headline berita mereka tentang Palestina sudah dimanipulasi. Headline itu seharusnya mencerminkan kejadian yang sebenarnya terjadi di lapangan,” ungkap Youmna dalam kunjungannya ke kantor infoJabar di Bandung, Senin (26/5/2025).

Ia membandingkan secara langsung antara cara media internasional meliput konflik Ukraina-Rusia dengan peliputan genosida Israel terhadap warga Palestina di Gaza. Dalam kasus Ukraina, ia mengatakan, pemberitaan terkait korban kekerasan dibuat dengan sangat rinci dan manusiawi.

“Kalau ada kejadian di Ukraina, korban ditulis dengan lengkap dan detail, sangat dimanusiakan. Para pelaku serangan bisa diidentifikasi, dan jenis senjata yang digunakan seperti misil atau peluru, selalu disebutkan bahkan sejak dari headline. Di berita utamanya, kejadian disebutkan dengan lebih rinci lagi,” paparnya.

Dari pemberitaan seperti itu, ia mengatakan, masyarakat dunia dapat memahami konteks konflik dengan utuh dan siapa yang bertanggung jawab atas korban yang jatuh. Namun, hal yang berbeda terjadi di Gaza.

Ia mengkritik bagaimana media hanya menuliskan bahwa anak-anak di Gaza tewas, tanpa menjelaskan siapa yang menyerang, dari mana serangan datang, atau jenis senjata yang digunakan.

“Gaza dan daerah konflik lain di Palestina tidak pernah diberitakan seperti itu. Tidak pernah ada istilah ‘Israel membunuh’, atau ‘Israel menyerang’. Hanya disebut anak-anak meninggal dunia. Padahal penyebab meninggal dunia kan bisa apa saja,” ujarnya.

Menurutnya, pemberitaan seperti ini menyulitkan publik dunia untuk memahami penderitaan rakyat Palestina secara utuh. Akibatnya, simpati dan empati global pun tidak sebesar yang terjadi pada konflik lain seperti invasi Rusia ke Ukraina.

“Makanya dunia bisa bersimpati terhadap apa yang dilakukan Rusia ke Ukraina, karena liputannya jujur dan terbuka. Harusnya cara meliput seperti ini yang diaplikasikan di manapun, termasuk untuk genosida di Gaza,” ungkapnya.

Padahal, ia mengatakan, berdasarkan klasifikasi yang dibuat Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional (ICJ), tindakan yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina di Gaza telah memenuhi unsur genosida. Namun, media arus utama masih enggan menggunakan istilah “genosida” dalam pemberitaan mereka.

“Yang menghalangi penggunaan kata-kata seperti ‘genosida’ itu adalah pemerintah dan media yang sudah terafiliasi ke Israel. Semua sudah dipolitisasi, dan di situlah integritas jurnalis hilang,” ujarnya.

“Semua media kini seolah sudah punya agenda politik masing-masing. Jurnalis bukan lagi penjaga kebenaran, melainkan alat untuk melayani kepentingan pihak tertentu,” tambahnya.

Ia percaya bahwa salah satu faktor utama mengapa konflik ini terus berlangsung adalah karena media global tidak memberikan gambaran yang jujur dan komprehensif tentang apa yang sebenarnya terjadi. Jika sejak awal situasi di lapangan dilaporkan secara transparan, ia mengatakan, dunia bisa bereaksi lebih cepat dan lebih keras.

“Dari awal ketika Israel mengatakan mereka mau batasi air, batasi akses masuk ke Palestina, itu kan seharusnya dilaporkan apa adanya. Implikasinya jelas. Kalau tidak diliput bersamaan dengan dampaknya, apa arti pernyataan-pernyataan itu?” katanya.

Ia menyebut pernyataan-pernyataan tersebut sudah masuk dalam kategori genosida yang sistematis. Menurutnya, jika saja media internasional menyampaikan dimensi konflik ini secara utuh dan tidak bias, maka dunia akan sadar lebih cepat terkait penderitaan warga Palestina.

“Kalau diliput apa adanya sejak awal, mungkin bisa memicu reaksi yang lebih keras dari dunia, dari orang-orang, dan dari organisasi. Mungkin kami tidak sampai harus melalui genosida sampai dua tahun lamanya dan masih berlangsung. Ini adalah genosida paling brutal dalam sejarah,” lanjutnya.

Youmna menegaskan bahwa jurnalis di Palestina bekerja secara independen dan tidak terikat atau terafiliasi dengan pandangan politik apapun. Ia mengatakan, para jurnalis di Palestina kerap menjadi sasaran fitnah Israel yang menyebut mereka merupakan perpanjangan tangan Hamas.

“Itu hanya propaganda dari Israel yang menyebutkan bahwa semua jurnalis di Gaza itu terafiliasi dengan Hamas. Itu adalah pandangan yang selalu berusaha kita lawan, karena jurnalis bekerja berdasarkan fakta di lapangan, terlepas dari pandangan politik apapun,” terangnya.

Saat ditanya mengenai solusi dua negara atau two-state solution antara Palestina dan Israel yang banyak digaungkan di dunia inernasional, ia mengatakan bahwa selama lebih dari satu dekade, pihak Palestina sebenarnya sudah mengupayakan hal tersebut.

“Pemerintah kami sudah meminta two-state solution untuk direalisasi setidaknya selama 10 tahun belakangan, tetapi Israel tidak pernah mau. Netanyahu bahkan dengan bangga mengatakan tidak akan pernah mau mengimplementasi two-state solution,” katanya.

Padahal, lanjutnya, meski sebagian besar warga Palestina percaya bahwa seluruh tanah itu adalah milik mereka, mereka bersedia menerima solusi dua negara untuk eksis bersamaan jika hal itu setidaknya bisa memberi sedikit kedaulatan dan ruang hidup yang layak bagi rakyat Palestina.

“Kalau kami bisa mendapatkan sedikit kedaulatan di tanah kami sendiri, itu sudah cukup. Kami tahu kompromi itu berat, tapi kami bersedia. Yang tidak pernah bersedia itu Israel,” tegasnya.

Jurnalis Tak Terikat Pandangan Politik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *