Kisah Tawa dan Tritip di Sunyinya Pantai Kamboja Sukabumi

Posted on

Pagi masih muda saat ombak mulai membasahi kaki-kaki batu di Pantai Kamboja, Desa Cikakak, Sukabumi. Angin laut berhembus lembut membawa bau asin yang khas, membaur dengan hangat sinar matahari yang perlahan menanjak dari timur.

Di antara batu-batu besar yang berserakan di sepanjang garis pantai, sejumlah orang tampak sibuk membungkuk, menyisir tiap celah.

Beberapa anak kecil berlarian di antara bebatuan, tertawa-tawa sembari sesekali melompat ke batu yang lebih tinggi.

Seorang laki-laki muda duduk di atas karang, jemarinya cekatan mengais sesuatu dari balik celah yang tergenang air laut. Di tangannya, seekor tritip menempel di sisi batu, dikelupas perlahan menggunakan ujung pisau lipat. Tritip merupakan kerang kecil yang menempel di karang.

“Lumayan, kalau lagi rezeki bisa dapat banyak,” ucapnya, Sabtu (7/6/2025).

Namanya Nandi (40), warga Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi yang siang itu datang bersama kawan-kawannya. Ia mengaku tak ada niat khusus, hanya sekadar mengisi waktu luang di hari kedua libur Idul Adha.

“Saya ke sini tiap libur kerja. Bukan buat cari banyak apalagi untuk di masak, tapi buat menghilangkan kejenuhan, rasanya ada sensasi menyenangkan saat mencongkel kerang dari batu. Sengaja dengan teman-teman daripada di rumah nonton TV terus,” ujar Nandi sambil menunjukkan satu kerang kecil hitam yang baru saja dikumpulkannya.

Ia meletakkannya ke dalam wadah kecil seperti cincin batu akik, entah untuk disimpan atau sekadar jadi cerita.

Pantai Kamboja memang tak sepopuler Pantai Karanghawu atau Citepus, tapi bagi warga lokal, ia punya daya tarik tersendiri. Pantainya tidak berpasir, melainkan dipenuhi batu-batu besar berlumut yang membentuk lanskap eksotik.

“Kalau sore biasanya lebih banyak yang datang,” ujar Nandi sambil menutup percakapan. “Tapi siang gini yang enak. Anginnya segar, dan air belum terlalu naik, banyak pohon juga buat berteduh,” lirihnya.

Di sela-sela batu itulah, saat laut surut, hewan-hewan laut kecil seperti tritip, kerang batu, dan kepiting pasir sering terlihat.

Seorang perempuan paruh baya mengenakan kerudung hitam dan sandal jepit tampak berhati-hati melangkah. Di tangannya, sebatang bambu kecil digunakan untuk menyingkirkan lumut. Ia datang bersama cucunya, yang tampak antusias bermain air di kolam-kolam kecil alami yang terbentuk di antara karang.

“Saya suka ke sini karena airnya bersih, dan nggak terlalu ramai. Kalau bawa cucu bisa sekalian ngajarin mereka lihat alam,” ujar ibu itu, yang memperkenalkan diri sebagai Bu Anik (56), warga Cisolok.

Sambil berbicara, matanya tak lepas dari langkah kakinya sendiri. Setiap pijakan diperhitungkan dengan cermat. “Licin, tapi kalau sudah biasa mah tahu mana yang aman diinjak,” katanya.

Di kejauhan, anak-anak kecil bermain kejar-kejaran, tak terlalu peduli dengan tritip atau kerang. Beberapa duduk di atas batu menikmati semilir angin. Seorang bocah laki-laki berkaos oranye menenteng kantong plastik berisi kerang kecil. Di dekatnya, seorang pria muda tengah sibuk mengeluarkan isi celah karang dengan alat penjepit kuku.

Suasana terasa tenang, tanpa hiruk-pikuk wisata pantai yang biasa ditemukan di tempat lain. Tak ada suara musik keras atau jeritan pelampung pisang, hanya gemuruh ombak yang berulang-ulang pecah di tepian dan sapaan sesekali antar pengunjung yang saling kenal.

Langit siang mulai bersih dari awan. Warna laut biru tua berpadu dengan hijau pucat di bibir pantai, seolah memberi ruang kontemplatif bagi siapa pun yang datang. Di bawah lindungan pepohonan rindang, beberapa orang duduk menyantap bekal dari rumah nasi timbel dan ikan asin yang dibungkus daun pisang.

Di tengah batu dan karang, kehidupan kecil tetap bergerak. Tak selalu spektakuler, tapi cukup untuk membawa pulang cerita dan tawa.

Jadi Wisata Lokal

Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *