Siang itu, bara api menyala terang, melahap batok kelapa dan mengubahnya menjadi arang hitam pekat. Suara letupan kecil berpadu dengan aroma khas pembakaran memenuhi udara di Dusun Ciwangkal, Desa Cimindi, Kecamatan Cigugur. Di tempat inilah, arang batok kelapa diproduksi dan didistribusikan ke berbagai daerah
Arang tersebut dimanfaatkan untuk berbagai keperluan mulai dari bahan bakar warung sate hingga industri berskala besar. Usaha ini sudah berjalan sejak tahun 2008 dan kini menjadi salah satu sentra produksi arang batok di Kabupaten Pangandaran.
Pengelola usaha arang batok, Rina Herlina, memulai usahanya dari skala kecil pada tahun 2008. Saat itu, ia melihat banyak limbah batok kelapa dari para pengusaha kopra yang tidak dimanfaatkan.
“Awalnya banyak limbah batok yang dibuang begitu saja. Lalu kami coba manfaatkan jadi arang,” ujar Rina kepada infoJabar.
Ide tersebut datang dari orang tuanya yang mencoba memberdayakan limbah pengolahan kelapa. Namun, pada masa awal, pemasaran menjadi tantangan karena belum memiliki pasar tetap.
“Waktu itu pembelinya masih lokal dan kami belum punya pasar sendiri. Tapi alhamdulillah bisa bertahan, meskipun dalam skala kecil,” kenangnya.
Setelah lima tahun berjalan, tepatnya pada 2012, usaha Rina mulai berkembang pesat. Dalam seminggu, produksinya bisa mencapai 15 ton arang. Selain di Cigugur, ia juga memperluas produksi ke wilayah Ciganjeng, Padaherang.
“Saking banyaknya permintaan, kami sempat datangkan bahan dari Riau. Tapi ternyata kualitas arangnya masih lebih bagus dari Pangandaran,” ungkap Rina.
Dalam perjalanannya, usaha arang batok ini tak luput dari tantangan. Mulai dari minimnya modal awal, keterbatasan alat angkut, hingga fluktuasi pasokan bahan baku. “Dulu kami belum punya kendaraan, sekarang alhamdulillah sudah ada, meskipun hanya mobil odong-odong,” ucap Rina sambil tertawa.
Ia menyebut persaingan usaha juga semakin ketat karena banyak pelaku usaha baru yang bermunculan. “Pernah ada yang berani beli batok sampai sejuta, padahal harga umumnya hanya sekitar 200 ribu. Tapi itu bagian dari tantangan,” ujarnya.
Namun, semua tantangan itu dijadikannya penyemangat. Apalagi, menurutnya, usaha arang ini sangat efisien karena nyaris tidak ada limbah terbuang. Bahkan debunya pun masih bisa dimanfaatkan.
Meski sempat terguncang saat pandemi 2020, Rina terus berusaha menstabilkan usahanya.
“Sebelum pandemi, omzet tertinggi kami pernah sampai 800 juta per bulan antara tahun 2015 hingga 2019,” ujarnya. Namun sejak pandemi, penjualan turun drastis. Kini, ia masih mempertahankan omzet sekitar Rp 20 juta per bulan dari arang kayu.
Saat ini, Rina memasarkan dua jenis arang, yaitu arang batok dan arang kayu. Produknya telah menyebar ke berbagai kota seperti Bandung, Bogor, Cirebon, hingga Surabaya.
“Kami punya dua spesifikasi, ada yang untuk restoran dan ada juga yang untuk industri. Ukuran dan tingkat kekeringannya beda,” jelasnya.
Untuk memperluas pasar, Rina kerap menjajaki peluang dengan strategi langsung ke pelaku usaha serta promosi dari mulut ke mulut. “Kadang kita keliling cari bahan sambil cari relasi baru. Semua proses ini jadi bagian dari perjalanan usaha,” tutupnya.
Sementara itu, Regional CEO BRI Bandung Sadmiadi mengatakan tahun 2024, total kredit yang disalurkan BRI mencapai Rp1.354,64 triliun. Dari jumlah tersebut, 81,97% atau sekitar Rp1.110,37 triliun dialokasikan khusus untuk sektor UMKM.
Dukungan ini diwujudkan melalui sinergi dalam Holding Ultra Mikro (UMi) yang melibatkan PT Pegadaian dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM).
Sejak dibentuk, Holding UMi telah memberikan layanan keuangan dan pemberdayaan kepada 35,9 juta nasabah. Layanan ini diperkuat dengan 1.032 Sentra Layanan Ultra Mikro (SENYUM) yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, memastikan akses keuangan lebih luas bagi pelaku usaha mikro.
“BRI tidak hanya memberikan akses permodalan, tetapi juga membangun ekosistem pemberdayaan UMKM yang berkelanjutan. Berbagai program telah dihadirkan untuk meningkatkan kapasitas dan daya saing UMKM,” kata Sadmiadi.