Suara gesekan amplas terdengar berpadu dengan aroma kayu yang hangus dari sebuah rumah sederhana di Kampung Potongan, Desa Tonjong, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.
Di sudut ruangan, Suhendi (32) meneliti satu per satu mug bambu yang baru keluar dari oven pengering.
Dulu, tangan yang kini terbiasa memegang pisau dan serutan bambu itu lebih akrab dengan gawai dan kamera. Ia adalah seorang konten kreator. Selama dua tahun sebelum pandemi, Suhendi aktif membuat konten wisata dan ekonomi kreatif di media sosial.
“Saya sering liput wisata, pengrajin, petani, dan pelaku usaha kecil. Suatu kali saya buat konten tentang seorang pengrajin bambu yang membuat gelas manual. Videonya ternyata viral, banyak yang pesan dari mana-mana,” tutur Suhendi, Sabtu (25/10/2025).
Peristiwa sederhana itu mengubah arah hidupnya. Melihat antusiasme publik terhadap karya bambu, ia mulai bereksperimen sendiri. Dari rasa penasaran, lahir mug-mug bambu pertama buatannya. Setelah pandemi, Suhendi memutuskan untuk menekuni sepenuhnya dunia yang dulu hanya ia dokumentasikan.
“Selepas Covid saya putuskan fokus menjadi pengrajin. Sekarang saya mempekerjakan tetangga di sekitar rumah,” katanya pelan.
Di lingkungan tempat tinggalnya, bambu tumbuh melimpah di tepi-tepi sawah dan pinggir sungai. Sebagian besar hanya ditebang untuk pagar atau bahan bakar. Di tangan Suhendi, batang-batang itu disulap menjadi mug, tumbler, wadah sendok, hingga tempat bolpoin yang kini diminati pembeli dari berbagai negara.
“Di kampung saya, bambu ini berlimpah tapi jarang dimanfaatkan. Padahal bambu itu unik, cepat tumbuh, dan ramah lingkungan,” ujarnya.
Proses pembuatannya dilakukan dengan penuh ketelitian. Setelah dipotong, bambu dikeringkan menggunakan oven gas dan tungku api tradisional. Proses itu tak hanya mengurangi kadar air, tetapi juga membunuh telur-telur serangga di dalam serat bambu.
“Kalau tidak kering betul, bambu bisa berjamur. Itu tantangan utama,” jelasnya.
Produk yang diberi nama Eagle Gemilang ini berdiri pada 10 Juli 2023. Dari bengkel kecil di Palabuhanratu, produknya kini menembus pasar Australia, Korea Selatan, hingga Jerman. Setiap mug dikirim dengan logo perusahaan pembeli yang diukir di permukaannya.
“Alhamdulillah, kami sudah memiliki PT perorangan dan sertifikat UMKM naik kelas. Itu membuat pembeli dari luar negeri percaya,” katanya.
Keberhasilan itu tidak membuat Suhendi berjalan sendiri. Ia justru mengajak pengrajin lain di sekitar Sukabumi untuk ikut bekerja sama. Baginya, bambu bukan sekadar bahan baku, melainkan sumber penghidupan bersama.
“Kalau pesanan banyak, saya ajak warga sekitar untuk bantu produksi. Selain bisa memenuhi permintaan, ini juga membantu ekonomi tetangga,” ucapnya.
Ia kini tengah merintis penanaman bambu sendiri untuk memastikan pasokan bahan baku berkelanjutan. Langkah kecil itu ia anggap penting agar industri kerajinan bambu bisa tumbuh stabil di masa depan.
“Kalau bahan baku aman, pengrajin lain juga bisa terus bekerja,” ujarnya.
Meski telah berhasil menembus pasar internasional, Suhendi masih menyimpan cita-cita sederhana: ingin mendirikan galeri besar yang memamerkan hasil kerajinan bambu lokal Sukabumi.
“Insya Allah ke depan kami ingin membangun industri yang lebih besar, semacam galeri atau Eagle Gemilang Mall. Biar orang tahu, produk dari desa pun bisa mendunia,” tuturnya penuh semangat.
Ia berharap pemerintah dapat lebih aktif membantu pelaku UMKM, terutama dalam hal legalitas dan sertifikasi seperti SNI atau merek dagang. Dengan begitu, pelaku usaha kecil seperti dirinya bisa bersaing lebih kuat di pasar global.
“Kalau dukungan dari pemerintah konkret, bambu dari kampung bisa menjadi wajah ekonomi kreatif Sukabumi,” katanya.
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Di akhir percakapan, Suhendi kembali mengambil satu mug bambu dari rak. Ia mengamati permukaannya yang halus, memeriksa pola seratnya di bawah cahaya sore. Dari sana, tampak jelas, bambu yang dulu tumbuh liar di tepi kampung itu kini membawa harapan baru bagi dirinya, bagi tetangganya, dan bagi Sukabumi yang terus belajar berdiri lewat karya warganya sendiri.
Mimpi di Balik Serat Bambu
Keberhasilan itu tidak membuat Suhendi berjalan sendiri. Ia justru mengajak pengrajin lain di sekitar Sukabumi untuk ikut bekerja sama. Baginya, bambu bukan sekadar bahan baku, melainkan sumber penghidupan bersama.
“Kalau pesanan banyak, saya ajak warga sekitar untuk bantu produksi. Selain bisa memenuhi permintaan, ini juga membantu ekonomi tetangga,” ucapnya.
Ia kini tengah merintis penanaman bambu sendiri untuk memastikan pasokan bahan baku berkelanjutan. Langkah kecil itu ia anggap penting agar industri kerajinan bambu bisa tumbuh stabil di masa depan.
“Kalau bahan baku aman, pengrajin lain juga bisa terus bekerja,” ujarnya.
Meski telah berhasil menembus pasar internasional, Suhendi masih menyimpan cita-cita sederhana: ingin mendirikan galeri besar yang memamerkan hasil kerajinan bambu lokal Sukabumi.
“Insya Allah ke depan kami ingin membangun industri yang lebih besar, semacam galeri atau Eagle Gemilang Mall. Biar orang tahu, produk dari desa pun bisa mendunia,” tuturnya penuh semangat.
Ia berharap pemerintah dapat lebih aktif membantu pelaku UMKM, terutama dalam hal legalitas dan sertifikasi seperti SNI atau merek dagang. Dengan begitu, pelaku usaha kecil seperti dirinya bisa bersaing lebih kuat di pasar global.
“Kalau dukungan dari pemerintah konkret, bambu dari kampung bisa menjadi wajah ekonomi kreatif Sukabumi,” katanya.
Di akhir percakapan, Suhendi kembali mengambil satu mug bambu dari rak. Ia mengamati permukaannya yang halus, memeriksa pola seratnya di bawah cahaya sore. Dari sana, tampak jelas, bambu yang dulu tumbuh liar di tepi kampung itu kini membawa harapan baru bagi dirinya, bagi tetangganya, dan bagi Sukabumi yang terus belajar berdiri lewat karya warganya sendiri.
