Kisah Sri Aminah, 35 Tahun Mengabdi Demi Mencetak Anak Disabilitas Mandiri

Posted on

Di usianya yang hampir 60 tahun, Sri Aminah masih terlihat penuh semangat ketika bercerita tentang pengabdiannya di dunia pendidikan. Sejak 1989, Kepala Sekolah SLB B YPLB Kabupaten Majalengka ini mendedikasikan hidupnya untuk anak-anak disabilitas. Baginya, mengajar di sekolah luar biasa bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa.

“Ngajar di SLB itu unik, kadang justru nggak ada dukanya, malah happy,” kata lulusan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) itu kepada infoJabar.

Kecintaannya pada dunia pendidikan khusus bermula sejak remaja. Saat SMA di Garut, ia punya seorang bibi janda yang berjualan kerupuk. Dari sanalah ia terbiasa membantu dan berempati pada orang-orang yang kesulitan.

“Sejak itu saya ingin masuk jurusan pendidikan khusus SLB. Saya berpikir anak-anak disabilitas nggak boleh terkungkung di rumah. Mereka harus bisa berpraktik dan bekerja,” kenangnya.

Kini, Sri sudah 35 tahun mengabdi untuk anak-anak disabilitas. Selama mengabdi, ia tidak hanya menempatkan sebagai guru, tapi juga ibu, sahabat, sekaligus penyemangat bagi anak-anak disabilitas.

Semangatnya tak pernah padam karena satu motivasi, anak disabilitas tidak boleh termarginalkan. “Sejauh ini motivasi saya, yaitu anak disabilitas ini tidak boleh termarginalkan. Anak-anak harus sama sebagai hamba Allah. Jadi dengan segala upaya, saya menjalin kerja sama dengan musisi balada Kang Imam Sabumi, berkolaborasi dengan Jatiwangi art Factory (JaF), dengan sanggar literasi, juga dunia usaha. Semua demi membuka ruang bagi anak-anak ini,” paparnya.

Menurutnya, menjadi guru di sekolah khusus harus multitalent. Bahkan, ia rela belajar berbagai hal demi mendukung semangat belajar siswa.

“Anak-anak ini multitalent, jadi bagaimana kita menggali siswa untuk punya potensi yang multitalent harus dimulai dari guru. Jadi saya harus bisa menari, saya harus bisa menyanyi, saya harus bisa teatrikal, saya harus bisa pokasi, saya harus bisa jadi prias wajah, saya harus bisa penata koreografi dan lain sebagainya,” jelasnya.

“Jadi bagaimana saya selaku ibunya anak-anak menggali potensinya, bagaimana anak-anak dicetak percaya dirinya, bagaimana anak-anak mandiri, bagaimana anak-anak mencintai seni, sehingga kalau dengan seni maka anak-anak akan terbuka semangatnya gairah belajar, dan kita arahkan ke pokasi mereka,” sambungnya.

Namun, perjalanan panjang selama pengabdian di sekolah luar biasa bukan tanpa hambatan. Salah satu tantangan besar adalah membuka persepsi masyarakat terhadap eksistensi anak-anak disabilitas.

“Kesulitannya bagaimana bikin link dengan perusahaan, bagaimana membuka persepsi masyarakat bahwa anak-anak disabilitas itu multitalenta,” ujarnya.

Selain itu, mengajar anak-anak tuna rungu juga punya tantangan emosional tersendiri. “Saat kita sedang sedih, kita tetap harus menghadirkan wajah ceria di depan mereka. Tantangan lainnya adalah bagaimana memotivasi anak-anak supaya yakin mereka bisa, bisa, bisa,” tuturnya.

Bagi Sri, pendidikan di SLB tidak hanya soal materi pelajaran, melainkan juga tentang life skill. Ia ingin murid-muridnya mampu bertahan dan berkiprah di dunia kerja.

“Bukan hanya materi, tapi bagaimana anak-anak dapat life skill. Mereka harus bisa bekerja di hotel, di perusahaan, di pemerintahan, bahkan jadi bos untuk dirinya sendiri, bagi keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama,” ucapnya.

Tak heran, beberapa alumni SLB B Majalengka kini telah bekerja di berbagai perusahaan. Bahkan, ada yang sudah menjabat sebagai manajer dengan gaji hingga Rp7 juta. “Dia malah suka menarik temannya sesama tuna rungu untuk ikut bekerja. Ada juga yang kerja di hotel. Alhamdulillah banyak perusahaan yang sudah menerima anak-anak kami,” ucapnya dengan bangga.

Perjalanan panjang pengabdiannya itu akan berakhir pada tahun ini. Namun, menjelang masa pensiun pada Januari mendatang, Sri justru sedang menorehkan prestasi. Ia lolos hingga 10 besar seleksi PNS Berprestasi tingkat Jawa Barat, kategori Inspirasi, dari 700 peserta se-provinsi. Kini ia masih berjuang menuju 6 besar.

“Ini anugerah menjelang pensiun. Kado terindah buat saya, buat anak-anak, dan buat sekolah. Karena di usia 60 tahun saya masih bisa berkiprah memotret diri, memotret anak-anak, dan memotret SLB,” ucapnya.

Ia menegaskan, ajang ini bukan sekadar soal kejuaraan. “Saya hanya ingin memberi motivasi untuk ASN lain dan juga pemuda-pemudi. Mari kita berkiprah di bidang kita masing-masing,” pungkasnya.