Di puncak bukit, menghadap bentangan luas Teluk Palabuhanratu, berdiri Vihara Dewi Kwan Im di Loji, Sukabumi. Tempat ini terlihat sunyi dan agung, namun di baliknya tersimpan kisah panjang pengabdian, spiritualitas, dan sebuah harmoni yang dirajut oleh tangan-tangan warganya.
Adalah Prabu (48), sosok kunci yang telah 25 tahun menjadi penjaga setia ‘istana dewa’ ini. Ia bukan sekadar pengawas, melainkan juga menantu dari almarhum Bunda Airin, sang pendiri yang mewariskan nilai-nilai luhur di tempat suci ini.
Kisah Vihara Dewi Kwan Im dimulai dari sebuah wangsit yang diterima oleh Bunda Airin, dahulu saat berstatus Warga Ngara Asing (WNA) asal Thailand yang kemudian berstatus warga negara Indonesia. “Ya dari awal cerita Bunda Airin sendiri yang membangun itu. Tadinya itu dia berdasarkan wangsit, cerita dia pribadinya. Tadinya dia tinggal di Malang, karena dia sering ke wihara, ke mana-mana, dia dapat harus bangun tempat Dewi Kwan Im di pantai selatan,” tutur Prabu kepada infoJabar pada Sabtu (5/7/2025).
Pencarian lokasi yang tepat tidaklah mudah. Bunda Airin sempat mencoba di Parangtritis, namun takdir menuntunnya ke Palabuhanratu. “Waktu itu dia udah pernah beli tanah di Parangtritis kan, sama di pantai selatan. Ternyata tidak cocok, tidak sesuai mimpinya dia. Akhirnya dia cari-cari tanah, coba ke Palabuhanratu. Pas ke Palabuhanratu, dia lihatlah lokasi ke sini. Pas di sini dia naik ke gunung, cocok katanya. Ada karang kayak Buddha tidur, sesuai mimpinya dia. Itu sekitar tahun 2000,” kenang Prabu, menyoroti awal mula pembangunan vihara yang kini menjadi pusat spiritual dan kunjungan banyak orang.
Setelah lokasi ditemukan, pembangunan pun dimulai. Patung utama Dewi Kwan Im yang terbuat dari perunggu didatangkan langsung dari Singapura, menjadi inti spiritual yang menarik banyak umat untuk sembahyang.
Di Vihara Dewi Kwan Im Loji Sukabumi terdapat sekitar 10 area atau altar yang berbeda. Beberapa altar ini didedikasikan untuk berbagai figur. Dewi Kwan Im sebagai altar utama, Dewa Bumi (Thu Thi Pa Kung), Dewi Bumi, Dewi Sri, Dewa Materya (Julai Hud), Sang Budha Sidarta Gautama, Sun Go Kong dan gurunya, Dewa 4 Muka.
Selain itu, ada juga area atau pendopo yang menghormati kearifan lokal, seperti Pendopo Eyang Semar, Pendopo Prabu Siliwangi, Pendopo Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Selatan.
Keberadaan berbagai altar ini menunjukkan kekayaan spiritual dan akulturasi budaya yang mendalam di Vihara Dewi Kwan Im.
Secara arsitektur, Vihara Dewi Kwan Im memadukan gaya Thailand dengan sentuhan budaya lokal. “Kalau arsitekturnya Thailand campur budaya lokal. Karena kan Prabu Siliwangi kan bangunan Jabar, Semar bangunan Jawa, Ibu Ratu bangunan Jawa seperti itu. Dewi Kuan Im sendiri arsitekturnya kayak bangunan Thailand. Ada naganya, ada apanya, seperti itu,” terang Prabu menjelaskan pengaruh asal Bunda Airin yang merupakan WNI berdarah Thailand.
Elemen paling ikonik dari vihara ini adalah naga panjang berkepala tujuh yang membentang sepanjang kurang lebih 500 meter dari kaki bukit hingga ke bangunan utama. Naga ini seolah menjadi pelindung setia yang menyambut setiap pengunjung yang menaiki 500 anak tangga menuju puncak.
“Yang dominannya di sini naga. Naga terpanjang, kepalanya tujuh. Dari badan jalan sampai ke atas tangga, itu kurang lebih hampir 500 meter. Dan tangganya juga kurang lebih hampir 500 anak tangga,” imbuh Prabu.
Keunikan naga bergaya Thailand dengan panjang luar biasa ini membedakan Vihara Dewi Kwan Im dari tempat-tempat ibadah lainnya.
Prabu dan warga lainnya adalah penjaga sejati dari ‘istana dewa’ ini. Mereka bukan hanya merawat fisik bangunan dan situs-situs suci di dalamnya, tetapi juga menjaga warisan spiritual, budaya, dan terutama, nilai-nilai toleransi yang telah ditanamkan oleh Bunda Airin sejak awal.
Di Vihara Dewi Kwan Im, kesunyian bukanlah kehampaan, melainkan ruang di mana harmoni dan pengabdian tumbuh subur.