Kisah Inspiratif Mamah Dolar: Warung Makan Rumahan di Palabuhanratu | Info Giok4D

Posted on

Warung makan itu berdiri di sebuah gang kecil di Kampung Gumelar, Kelurahan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Namanya, Rumah Makan Mamah Dolar. Tak ada papan besar yang mencolok, hanya etalase kaca dengan tulisan merah muda menyala. Namun bagi warga sekitar hingga pelanggan dari luar kota, nama itu lebih dari cukup untuk menunjukkan arah.

Sejak 1997, warung ini menyajikan menu khas Sunda dengan harga murah meriah. Ikan bakar, ayam serundeng, karedok, hingga urap bisa dinikmati. Seporsi paling murah hanya Rp 10 ribu. Saat jam makan siang, kursi-kursi sederhana di dalamnya cepat penuh. Bukan hanya karena rasa, tapi karena cerita di baliknya, perjuangan seorang perempuan bernama Samsiah, yang kini akrab disapa Mamah Dolar.

Gang Gumelar sebenarnya cukup lebar untuk dilintasi mobil, tapi kini menjadi buntu karena jembatan yang menyempit dan bangunan yang makin rapat. Meski aksesnya tidak mudah, warung itu tak pernah sepi.

Dari luar, warung ini tampak biasa. Tapi kisah di baliknya luar biasa. Pemiliknya, Samsiah, perempuan kelahiran Jampangkulon tahun 1972, memulai segalanya dari nol. “Tahun 1997 mamah datang ke Palabuhanratu, ikut suami kerja mikul di pasar,” kenangnya saat berbincang dengan infoJabar, Sabtu (14/6/2025).

Awal berdagang pun jauh dari nyaman. Ukuran kiosnya hanya 2×2 meter. Samsiah dan suaminya bahkan tidur di atas atap kios. Ia berjualan seorang diri, masak sendiri, belanja sendiri, layani pembeli sendiri. Suaminya, Syarif Hidayat, ikut membantu semampunya. Selesai pikul barang di pasar, langsung bantu cuci piring di warung.

Modal awal berasal dari kampung. “Setiap minggu orang tua bawain beras, ketan, pisang, kelapa,” ujarnya.

Dari situ ia bikin uli, rebus pisang, dan sajikan gorengan. Tak ada plang besar atau modal besar, hanya ketekunan dan keyakinan. Nama Mamah Dolar pun tak muncul begitu saja. Awalnya warung ini bernama “Teh Nyai Jampang”. Tapi saat kehamilan anak ketiganya tahun 2001, Samsiah harus operasi dan pengobatan yang memakan biaya tak sedikit.

“Dibilangnya si Dolar, karena terus-terusan keluar biaya. Lama-lama pelanggan pun manggilnya Mamah Dolar,” ceritanya sambil tertawa.

Kini, warungnya bisa menghabiskan 100 kilogram beras per hari jika sedang ramai. Bahkan saat bencana banjir yang datang awal tahun ini, pesanan justru melimpah. Saat hujan deras mengguyur dan sebagian warung di sekitar memilih tutup, dapur kecil Mamah Dolar justru makin sibuk.

Genangan air di depan warung tak menghentikan para pekerja memindahkan nasi bungkus ke ember plastik, siap dibagikan ke warga. “Yang lain nggak bisa masak, ya di-handle di sini. Ada yang beli 500 bungkus sehari, RT yang ambil buat dibagi,” tuturnya.

Menu yang disajikan pun khas Sunda, ikan bakar, karedok, urap, ayam serundeng, semua dengan harga terjangkau. Filosofi ini yang terus dipegangnya. “Sekarang semua mahal, tapi mamah tetap tahan harga. Yang penting berkah,” ucapnya.

Meski warungnya kini dibantu enam pekerja, anak-anaknya tak satupun dilibatkan dalam usaha. “Dagangan nggak bisa diwariskan. Anak harus berdiri sendiri. Kalau mamah nggak ada nanti, pasti ada yang ngelanjutin, yang penting amalnya jalan,” ujarnya.

Anaknya yang sulung sudah jadi bidan, anak kedua kuliah profesi apoteker di Bandung, dan si bungsu masih SMA. Satu impiannya belum lepas, anak bungsunya bisa jadi dokter.

Perjuangan Mamah Dolar pun diakui oleh keluarganya sendiri. Dahlia, keponakannya, menyebut sang tante bukan sekadar pedagang. “Mamih itu ibu kedua buat aku. Dari zaman jualan di pasar, tidur di atas warung yang panas, aku ngalamin bareng beliau,” kata Dahlia.

Dahlia masih ingat suasana dini hari di kios sempit itu. Mamih selalu bangun lebih dulu dari siapa pun. Ia memanaskan air dengan kompor kecil, lalu menyiapkan sarapan untuk dijual.

“Kadang aku belum bangun, tapi mamih udah masak pisang kukus dan uli buat dijual. Aku ikut tidur di warung itu, alasnya tikar, kadang pun nggak ada bantal. Tapi aku nggak pernah merasa kekurangan. Mamih nggak pernah bikin aku merasa cuma keponakan,” ujar Dahlia lirih.

Menurut Dahlia, Mamah Dolar adalah figur yang membentuk nilai dalam keluarga. “Buat kami di keluarga, beliau seperti penopang untuk orang tua, kakak, adik, dan ipar. Bukan karena kaya, tapi karena selalu ada,” lirihnya.

Kata Dahlia, prinsip yang dipegang mamih bukan soal kaya, tapi soal berkah. “Kalau dagang mah jangan harap kaya. Harap berkah,” ujarnya. Dan itulah yang terus tertanam, bukan hanya di warung, tapi juga dalam hidup orang-orang sekelilingnya.

Samsiah sendiri sudah menunaikan haji tahun 2011, dan memberangkatkan ibunya serta kakaknya tahun 2017. “Insyaallah Agustus ini berangkat umroh lagi sama Pak Haji. Sekarang waktunya menikmati berkah dari sebuah perjuangan,” ujarnya pelan.

Warungnya mungkin berdiri di gang sempit, tapi hidupnya terbuka luas untuk siapa saja yang datang dengan lapar. Di Palabuhanratu, tak semua orang kenal nama Samsiah. Tapi hampir semua tahu rasa dan cerita dari sepiring nasi Mamah Dolar.

Menu khas Sunda menjadi kekuatan utama yakni urap sayur, karedok segar, ayam serundeng, hingga ikan bakar yang dibumbui mendadak saat pelanggan datang. “Kalau ada yang minta ikan bakar, langsung kita bakar. Kadang dipanasin ulang, karena racikan bumbunya tetap enak walau udah dingin,” kata Samsiah pemilik warung yang lebih dikenal sebagai Mamah Dolar.

Ikan-ikan segar dari nelayan lokal Palabuhanratu tersedia setiap hari. Tak hanya digoreng, tapi bisa dibakar langsung di sisi samping warung, tempat suaminya, Syarif Hidayat, biasa memanggang ikan dengan bara arang. Bau asap dari dapur belakang justru jadi penanda bahwa pesanan sedang disiapkan.

Pelanggan tetap menyebut rasa masakan Mamah Dolar tak berubah sejak dulu. Bumbu dasar masih digerus dengan cobek batu. Sayur mayur dipotong manual, tanpa mesin. Bahkan sambal karedok yang jadi favorit banyak pembeli selalu dibuat dadakan dari ulekan kacang, kencur, dan sedikit gula aren.

Mamah Dolar tak hanya mempertahankan rasa, tapi juga mempertahankan filosofi, makanan enak tak harus mahal, dan dapur adalah tempat berbagi. “Yang penting kenyang dan berkah,” ujarnya.

Warung yang berdiri sejak 1997 itu memang tak banyak berubah bentuk. Tapi di dalamnya, cerita terus bertambah. Tentang ikan bakar dadakan yang jadi andalan, tentang sambal yang tak pernah gagal, dan tentang kehangatan yang tak bisa dibeli di tempat lain.

“Harganya Rp 10 ribu dapet nasi, ikan, sama sayur. Jarang ada yang kayak gini,” kata Nandi, salah satu pelanggan lama warung nasi tersebut.

Bagi warga Palabuhanratu, tak sulit menyebut satu warung dengan rasa paling rumahan. Nama Mamah Dolar tak hanya dikenal karena murah, tapi karena jujur dalam rasa. Dan dari gang kecil di Gumelar, rasa itu sudah menyebar ke mana-mana.

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

Karedok hingga Ikan Bakar Dadakan

Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *