Kisah Gelap Perdagangan Ginjal di Bandung

Posted on

“Saya benar-benar kalut,” ucap Edi Midun (39), warga Kampung Pangkalan, Desa Wangisagara, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, mengenang masa gelap yang ia jalani pada tahun 2014 silam.

Kalut, sebuah kata yang terasa ringan dibandingkan beban utang Rp 35 juta yang terus membelit hidupnya. Sebagai sopir angkutan barang, Edi terperangkap dalam tekanan ekonomi yang makin mencekik. Dalam kebingungannya, sebuah tawaran datang dari AG, seorang kenalan lama yang mengubah hidupnya selamanya.

AG, yang dulunya seorang tukang rongsok, kini menawarkan jalan pintas yang sangat menggiurkan, yakni menjual ginjalnya. “AG itu cuma tukang rongsok dan sopir, tiba-tiba beli mobil. Dia ngomong bisa begitu karena menjual ginjal dan mengajak korbannya berbuat serupa,” kenang Edi.

Dalam keadaan terdesak, tawaran itu begitu menggoda. Setelah berpikir panjang, Edi akhirnya setuju untuk menjual ginjal kiri miliknya dengan harga Rp 70 juta. Pada Oktober 2014, Edi berangkat ke Jakarta bersama AG, DD, dan HS untuk menjalani operasi transplantasi ginjal.

Sebelum operasi, ia harus menjalani serangkaian pemeriksaan kesehatan, termasuk tes darah, CT scan, dan cek jantung. Namun, identitasnya pun harus dipalsukan agar lolos dalam proses pemeriksaan medis.

“KTP saya dipalsukan,” kata Edi dengan nada penuh penyesalan. Usia di KTP palsu dibuat lebih muda agar terlihat memenuhi syarat medis yang diterapkan rumah sakit.

Setelah menjalani prosedur medis, Edi kehilangan ginjal kiri miliknya dan menerima Rp 70 juta sebagai imbalan. Meski demikian, kebahagiaan itu segera sirna.

“Barang berharga itu hilang, ada maling masuk. Pencurinya juga ngambil uang dua juta rupiah,” ujar Edi, mengenang bagaimana impian sesaatnya itu lenyap begitu saja.

Serupa dengan kisah Edi, Ifan Sofyan (18) mendadak banyak duit. Ia nekat menjual ginjalnya senilai Rp 75 juta, Ifan memborong barang berharga. Namun nasib bapak satu anak ini ketiban sial. Dia malah gigit jari lantaran sejumlah benda-benda anyar itu raib.

“Sehari setelah berada di rumah, saya gunakan sebagian uang (Rp 75 juta) untuk beli satu sepeda motor, televisi, playstation, dan buat kehidupan sehari-hari,” ujar Ifan di rumahnya, Kampung Simpang, Desa Wangisagara, Kabupaten Majalaya, Kabupaten Bandung, Jumat (29/1/2016).

Emas seberat 23 gram sengaja Ifan beli untuk istrinya. Seketika mereka girang karena berlimpah rupiah. Dua hari berlalu, Ifan dan sang istri kaget bukan kepalang sewaktu membuka pintu rumahnya. Mereka melototi kondisi dalam rumah satu lantai yang acak-acakan.

“Barang berharga itu hilang, ada maling masuk. Pencurinya juga ngambil uang dua juta rupiah. Bukan rezeki. Cuma tersisa sepeda motor saja,” tuturnya. Beruntung Ifan masih menyimpan sisa uang hasil jual ginjal. Jumlahnya Rp 11 juta. “Saya buru-buru bayar utang sebesar tiga juta rupiah. Sisanya sekarang, ada tujuh juta rupiah,” ujar Ifan.

Selama ini Ifan tak bekerja. Dia dan keluarga tercinta mengandalkan hidup dari uang yang nominalnya lambat laut menipis. Lulusan SD ini hanya berharap ada pihak-pihak yang mau merekrutnya bekerja. Ifan enggan masa hidupnya terjerat utang besar.

“Saya ingin kerja di bengkel motor. Bisalah sedikit-dikit servis motor. Hanya itu kemampuan saya,” ujarnya. Selama ini Ifan hidup mandiri. Dia sudah lama ditinggal ibu kandungnya yang memilih bekerja menjadi TKW di Arab. Sementara sang ayah minggat dari rumah sejak dia belia.

Ifan salah satu korban sindikat perdagangan organ tubuh manusia. Gara-gara faktor ekonomi dan terlilit utang, lelaki muda ini nekat menjual ginjal melalu perantara AG. Kini AG beserta dua tersangka lainnya, DD dan HS, mendekam di sel tahanan.

Tim Bareskrim Mabes Polri menangkap tiga orang tersebut di Bandung pada pertengahan Januari 2016. Polisi masih terus menyelidiki perkara ini. Ada indikasi rumah sakit ikut terlibat melakoni praktik transplantasi ginjal ilegal.

Kisah Edi dan Ifan bermula dari aksi polisi menangkap tiga orang pelaku yang tergabung dalam sindikat perdagangan orang. Ketiganya ditangkap karena melakukan transplantasi ginjal secara ilegal di Bandung, Jawa Barat.

“Kasus ini terjadi sekitar bulan Juni 2015, dengan 3 orang tersangka berinisial AG, DO yang bertugas sebagai perekrut, dan HS,” ujar Kasubdit III Dirtipidum Bareskrim Mabes Polri, yang saat itu dijabat Kombes Pol Umar Surya Fana kepada wartawan di Bareskrim Mabes Polri, Rabu (27/1/2016).

Awal mula kejadian ini diketahui sekitar bulan Juni 2015, AG melakukan perekrutan ke beberapa orang korban untuk menjual ginjal dengan harga Rp 80 juta hingga Rp 90 juta. Korban yang setuju kemudian dibawa ke tersangka DD.

“Dari DD dilanjutkan dengan pengecekan ginjal di sebuah lab di Bandung. Setelah ginjal korban dinyatakan dalam kondisi sehat, hasil lab tersebut diberikan ke penerima ginjal,” kata dia.

Setelah itu, HS, korban dan penerima ginjal bertemu dengan dokter ahli ginjal di rumah sakit di Jakarta dengan membawa hasil lab dari Bandung. Dokter tersebut lalu memberikan surat pengantar ke rumah sakit untuk cross match (pencocokan darah).

“Dari sana, dilanjutkan lagi ke rumah sakit lain di Jakarta untuk melakukan CT scan ginjal, lalu dilanjutkan lagi ke rumah sakit lain untuk pemeriksaan jantung, paru, dan psikiater,” kata Umar.

Setelah dinyatakan memenuhi syarat untuk transplantasi, hasil tersebut diberikan kepada tim dokter yang akan melakukan operasi transplantasi. Usai melakukan rapat untuk penentuan tanggal operasi yang harus ada surat persetujuan keluarga, surat persetujuan tersebut dibawa HS untuk diserahkan ke bagian administrasi di rumah sakit di Jakarta. Barulah setelah itu dilakukan operasi transplantasi.

Menurutnya biaya perekrutan per 1 korban, AG mendapat bayaran Rp 5 hingga 7,5 juta, sementara DD mendapatkan bayaran Rp 10 hingga 15 juta.

“Sementara penerima ginjal harus membayarkan pembelian ginjal dengan harga Rp 225 juta. Kepada tersangka HS diawali dengan membayar DP sebesar Rp 10 juta hingga Rp 15 juta. Sisanya dibayar penerima ginjal setelah operasi transplantasi ginjal dilakukan,” jelas Umar. Dari sindikat transplantasi ginjal ilegal ini, tersangka utama HS menerima keuntungan sebesar Rp 100 juta hingga Rp 110 juta per korban.

Saat transaksi jual beli ginjal ini, menurut Umar, HS lah yang menentukan harga jual beli ginjal, sedangkan pembiayaan operasi transplantasi ginjal ditanggung penerima ginjal. “Barang bukti yang diamankan dari tersangka ini adalah 2 Hp, 1 buku tabungan BCA atas nama HS, 1 ATM BCA Platinum, 1 kartu kredit BCA, 1 buah CPU, dokumen rekam medis dan hasil CT Scan,” jelasnya.

Atas perbuatannya, ketiga tersangka diganjar Pasal 64 ayat 3 UU Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan.

Penelusuran polisi awalnya menemukan ada 7 orang korban. Petugas merinci inisial mereka. “Namun hingga saat ini kami baru menemukan 7 orang korban, berinisial HLL, IS, AK, SU, JJ, DS, dan SN,” ujar Umar Fana kepada wartawan di Mabes Polri. Umar mengatakan, kasus ini terungkap saat Polri melakukan pengembangan untuk sebuah kejahatan di Polres Garut.

“Korban pertama berinisial HLL, adalah tahanan Polres Garut. Saat itu kita melihat dia meringkuk kesakitan di Pojok tahanan. Saat kita tanya, ternyata dia adalah korban pencurian ginjal,” kata Umar.

Tak lama setelah itu, Mabes Polri kemudian berkoordinasi dengan Kapolres Garut, untuk menjadikan HLL sebagai whistle blower untuk kasus tersebut. Dari sanalah terkuak mekanisme transplantasi ginjal ilegal tersebut.

“Sudah terjadi malpraktik dalam kasus ini, karena ada satu birokrasi yang tidak dilalui, yaitu wawancara 3 bulan sebelum dilakukannya operasi. Syarat lainnya, apakah korban pekerja keras atau tidak? Untuk pekerja keras tidak bisa dilakukan transplantasi. Sementara korban HLL ini contohnya, bekerja sebagai sopir angkot, yang jelas merupakan pekerja keras,” kata dia.

“Transplantasi ginjal ini kan tidak bisa sembarangan dilakukan, biasanya diberikan hanya kepada keluarga dekat. Kepada suami istri saja kadang tidak bisa dilakukan transplantasi, karena biasanya terjadi penolakan,” sambung Umar.

Tiga tersangka yang ditangkap berinisial AG, DD, dan HS. Mereka ditangkap pada tanggal 17 Januari di Bandung (untuk AG dan DD) dan Jakarta (untuk HS).

Dalam operasinya, AG dan DD bertugas sebagai perekrut korban yang akan ditransplantasi ginjalnya, sementara HS bertugas sebagai penghubung antara penerima ginjal dan 3 rumah sakit di Jakarta yang digunakan untuk melakukan transplantasi.

Sementara itu, Polrestabes Bandung siap membantu Bareskrim menyelidiki kasus tersebut. “Tentu kami sudah berkoordinasi. Ada tiga personel Polrestabes yang diperbantukan lidik,” ucap Kapolrestabes Bandung yang saat itu dijabat Kombes Pol Angesta Romano Yoyol di markas Satnarkoba Polrestabes Bandung, Jalan Sukajadi, Kamis (28/1/2016).

Yoyol mengisyaratkan Bareskrim telah bergerak ke Kota Bandung menyelidiki kasus ini. Namun Yoyol enggan membeberkan apa menjadi target tim Bareskrim. Seperti diketahui, satu dari tiga tersangka yang diamankan Bareskrim merupakan warga Kota Bandung.

“(Bareskrim) Penyelidikan di Bandung, iya. Namun saya belum bisa sampaikan kapan waktunya,” kata Yoyol. Lagi-lagi Yoyol menolak menyebutkan saat ditanya apakah Bareskrim bidik klinik, rumah sakit atau orang terlibat. Meski begitu, Yoyol tidak menampik jika pihaknya mendapat informasi soal transaksi ginjal ilegal di Kota Bandung yang disinyalir berhubungan dengan perkara ditangani Bareskrim. Nemun, sambung dia, informasi tersebut perlu dibuktikan kebenarannya. “Kami selidiki, tapi tetap untuk kasus penjualan ginjal ilegal ini di bawah kendali Bareskrim,” ujar Yoyol.

Keterangan baru kala itu muncul dari pengacara tiga tersangka, Osner Johnson Sianipar pada Jumat (29/1/2016) ia menceritakan awal mula AG dan DD mengenal HS yang merupakan ‘pemain lama’ sindikat penjualan organ tubuh ini. Menurut Osner, AG dan DD awalnya merupakan pendonor.

“AG dan DD ini awalnya memang mereka itu pendonor, jadi mereka berdua itu saat ini hanya memiliki 1 ginjal, kalau tidak salah (AG dan DD jadi pendonor) sekitar bulan Juli 2014,” jelasnya.

Entah bagaimana, HS kemudian memberikan tawaran kepada AG untuk menjadi perekrut calon korban. Sebagai imbalannya, HS menjanjikan uang sebesar Rp 10 juta per orang. “Awalnya AG dulu yang direkrut oleh HS. Fee Rp 10 juta ternyata mengubah perekonomian keluarganya. Melihat AG yang perekonomian keluarganya bagus, DD pun rupanya tertarik, hingga kemudian memutuskan untuk ikut menjadi perekrut,” kata Osner.

Dia mengatakan, AG dan DD memang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, sehingga uang Rp 10 juta dianggap besar dan mampu mengubah perekonomian keluarga mereka. “AG dan DD ini pekerjaan sehari-hari adalah buruh kasar. Karena perekonomiannya buruk, akhirnya tertarik,” kata Osner.

Jabar X-Files adalah rubrik khas infoJabar yang mengulas kembali rangkaian peristiwa yang pernah menyita perhatian publik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *