Senin (17/7/2006) sore, Pangandaran mendadak berubah jadi lautan. Ombak setinggi rumah datang tanpa ampun, menghantam hotel, rumah, hingga warung di bibir pantai. Suara teriakan bercampur tangis panik. Orang-orang berlari ke bukit, sebagian terbawa arus. Sejak itu, luka Pangandaran tidak pernah benar-benar sembuh.
Pantai Pangandaran dilanda tsunami. Air merangsek jauh ke daratan, merendam bibir pantai, mengempaskan perahu, merusak hotel dan warung.
“Air laut tiba-tiba saja langsung masuk rumah warga. Tidak ada yang memperkirakan ini,” ujar Iwan, aktivis Lingkungan Pesisir, sore itu seperti dikutip infoJabar dari infoNews.
Di Desa Cikembulan, Pangandaran, ia mengaku tidak merasakan gempa. “Saya tidak merasakan gempa. Tiba-tiba setengah jam lalu gelombang pasang naik ke pemukiman,” katanya.
Kepanikan pun menyapu kampung. “Semua panik. Ada yang berlari, pakai motor, pakai mobil. Sangat panik,” sambungnya.
Warga hanya sempat membawa badan. “Banyak yang mengungsi tanpa membawa barang apa pun, hanya sehelai baju,” ungkapnya.
Testimoni juga datang dari Cecep saat itu, ia diketahui merupakan warga Pamugaran.
“Gelombang tsunami tiba-tiba menerjang warga yang tengah beraktivitas di bibir pantai. Termasuk nelayan, pedagang kaki lima maupun warga setempat,” tutur Cecep.
Ambulans Puskesmas Pangandaran berseliweran membawa korban.
“Untuk sementara, di Pangandaran, Ciamis sudah ditemukan 38 jenazah. Jenazah-jenazah ini saat ini masih dikumpulkan di Puskesmas setempat,” kata Yuyun, wartawan lokal.
Para pengungsi sebagian besar ditempatkan di Masjid Agung Pangandaran, menunggu kabar keluarga sambil bertahan dengan tenda darurat.
Dua hotel besar di bibir pantai roboh diterjang ombak. “Kedua hotel ini hancur, karena diterjang ombak sekitar pukul 16.30 WIB. Kedua hotel ini berada di bibir pantai dan sudah hancur,” kata Opik, warga Pangandaran yang masih bertahan di Wisma Nusa, sekitar 300 meter dari bibir pantai.
Listrik padam, suasana mencekam. “Situasi masih mencekam. Listrik baru saja nyala. Kebanyakan korban ditemukan di pantai,” imbuhnya.
Di RS Banjar, Satinem, 53 tahun, menceritakan info horor. “Saya digulung-gulung ombak dan terbentur benteng jalan dua kali,” katanya lemah. Ia baru selesai makan siang ketika mendengar teriakan, “Bu, ada ombak besar !!!”
“Airnya bergulung-gulung empat meter. Saya mau lari ke sebuah vila. Tapi sebelum sampai di vila, airnya keburu menerjang saya. Saya digulung-gulung dan dua kali saya kebentur benteng jalan,” ungkap Satinem.
Ia selamat, namun warungnya habis. “Saya sudah tidak punya apa-apa. Hancur semua. Yang saya punyai sekarang hanya anak-anak dan cucu,” lirihnya sedih.
Rumah Susi Pudjiastuti selamat, tetapi ia gelisah. “Pengaruhnya terhadap pariwisata Pangandaran. Saya tidak tahu, sepertinya berhenti dulu. Ada tsunami, orang jadi takut. Sementara ya susah,” katanya.
Gelombang itu ternyata tidak berhenti di Pangandaran. Ombak merambat ke pantai-pantai lain di selatan Jawa, hingga masuk ke wilayah Jawa Tengah. Di Cilacap, suasana tak kalah panik.
“Saya dengar warga mengungsi ke Jeruk Legi, ke lokasi yang lebih tinggi,” kata Imam Supardi, karyawan Pertamina kala itu.
Di RSUD Cilacap, Siti Komariah warga meceritakan bagaimana saat air laut tiba-tiba naik meluap sesuatu yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
“Air laut di pantai naik. Perahu-perahu banyak yang terhempas ke laut. Saya berharap tsunami tidak datang. Kalau tsunami datang, habis semua Cilacap,” tuturnya. Kala itu jalanan macet, orang berbondong-bondong mencari tempat aman.
Dari Kebumen, Kapten TNI Siswoto Nurhardjo yang kala itu menjabat sebagai Danramil Karang Gayam, Kebumen. Ia menyebut adanya tanda-tanda sebelum ombak datang.
“Tadi ada informasi sekitar pukul 15.30 WIB terdengar seperti letusan meriam dari arah Pantai Petanahan. Tapi goncangannya tidak terlalu besar,” ujarnya. Sementara laporan lain datang dari Tasikmalaya hingga Garut, menunjukkan betapa luas dampak tsunami ini.
Hitungan korban terus bertambah. Di jam pertama, Presiden RI saat itu Susilo Bambang Yudhoyono menyebut korban terdeteksi awal sebanyak lima orang.
“Saat ini jumlah korban meninggal dunia sementara tercatat 5 orang,” kata SBY di Istana. Namun malam itu, data lapangan menunjukkan puluhan jenazah ditemukan, dan jumlah terus naik seiring pencarian.
Di Jakarta, Aburizal Bakrie yang saat itu menjabat sebagai menko Kesra memilih untuk menahan diri.
“Saya belum mau ke sana (Pangandaran). Saya mau kontak dulu dengan Pak Dani, Gubernur Jawa Barat,” katanya.
TNI tak tinggal diam, mereka mengerahkan ribuan pasukan. Kepala Pusat Penerangan TNI yang saat itu dijabat oleh Laksamana Muda TNI Mohammad Sunarto memberikan penegasan soal pihaknya yang mengerahkan pasukan.
“Atas perintah Panglima TNI tersebut, Pangdam langsung memerintahkan dan mengerahkan segenap satuan jajarannya, khususnya yang berada di daerah bencana untuk memberikan bantuan,” tegasnya.
Keesokan harinya, kritik menguat. Anggota DPR Aboe Bakar Al Habsyi soal tata kelola informasi BMG.
“BMG harus diperbaiki secara total agar informasi yang dikeluarkannya akurat karena ini terkait dengan nyawa manusia,” ungkapnya.
Lembaga internasional mencatat gempa 7,7 SR, cukup kuat memicu tsunami. Pertanyaan menggantung saat itu, kenapa peringatan tidak sampai ke pesisir?
Hari itu, Pangandaran dan pesisir selatan Jawa belajar dengan harga termahal, ratusan nyawa. Angka resmi berbeda-beda, saksi mengingat tiga gelombang, dan trauma diwariskan.
Dua dekade berlalu, bekasnya tetap ada. Tsunami 2006 bukan sekadar catatan alam, tetapi peringatan keras, bagaimana saat itu upaya mitigasi masih lemah, bagaimana nyawa manusia bergantung pada kesiapan sistem.
Jabar X-Files adalah rubrik khas infoJabar yang membahas peristiwa di masa lalu yang pernah menarik perhatian publik