Kenapa Debt Collector Dianggap ‘Public Enemy’ ? Ini Kata Pakar Unpad

Posted on

Sosok debt collector atau penagih utang kerap menjadi momok yang menakutkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Mereka tak jarang dianggap sebagai ‘musuh bersama’ alias ‘public enemy’, atau sebagai figur yang mengancam saat datang menagih utang-utang debitur.

Sosiolog Universitas Padjadjaran, Ari Ganjar, mengungkapkan bahwa persepsi negatif masyarakat terhadap debt collector tidak terbentuk tanpa sebab. Salah satu yang paling berpengaruh adalah pola praktik intimidatif dalam kerja mereka yang terus terjadi dan terekspos secara luas.

“Debt collector yang seperti itu biasanya bekerja untuk lembaga-lembaga pinjaman. Mereka menyewa orang-orang yang berani, bahkan terkadang memiliki latar belakang premanisme, untuk menagih utang dengan cara-cara keras,” ujar Ari saat dihubungi infoJabar, Rabu (18/6/2025).

Menurut Ari, metode intimidasi yang kerap digunakan oleh debt collector inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat membenci mereka. Tindakan-tindakan seperti ancaman verbal, teror melalui telepon, hingga kekerasan fisik menjadi fenomena yang akrab terdengar.

Kejadian-kejadian semacam ini sering diliput media atau disebarluaskan dari mulut ke mulut, sehingga memperkuat citra buruk debt collector di benak masyarakat.

“Cara-cara inilah yang kemudian membuat masyarakat (yang ditagih debt collector) terekspos ya melalui media, atau dari dari mulut-mulut, sehingga terbentuk persepsi di masyarakat bahwa debt collector itu adalah sosok yang menakutkan,” terangnya.

Namun, Ari menekankan bahwa untuk memahami persoalan ini secara utuh, harus dilihat dari sudut pandang yang lebih besar, bukan hanya kasus per kasus. Ia menjelaskan bahwa kondisi ekonomi masyarakat yang sedang terpuruk turut memicu tingginya angka pinjaman di lembaga keuangan tidak resmi.

“Masyarakat yang kesulitan ekonomi dan memiliki aset terbatas cenderung mencari jalur cepat untuk mendapatkan pinjaman. Lembaga keuangan formal seperti bank biasanya memberlakukan prosedur ketat, membutuhkan agunan, dan seleksi yang panjang. Sementara pinjaman online dan bank emok memberikan kemudahan dengan risiko besar yang tidak dipahami sebagian masyarakat,” paparnya.

Lembaga-lembaga ini, lanjut Ari, tidak memerlukan agunan fisik seperti bank. Mereka hanya meminta akses data pribadi seperti KTP, akun media sosial, dan daftar kontak di ponsel peminjam. Data inilah yang kemudian digunakan sebagai alat ancaman apabila terjadi tunggakan pembayaran.

Salah satu modus yang sering digunakan debt collector adalah doxing, yakni membongkar dan menyebarluaskan data pribadi peminjam untuk menekan mereka agar segera melunasi utang.

“Bahkan tidak sedikit yang berakhir tragis. Ada yang mengalami tekanan luar biasa hingga nekat mengakhiri hidupnya. Ini terjadi karena tekanan verbal maupun ancaman digital yang diterima tidak bisa lagi ditahan oleh korban,” ungkapnya.

Menurut Ari, pola kerja debt collector di lapangan juga sangat beragam. Ada yang bertugas mengintimidasi melalui telepon, ada yang mendatangi rumah nasabah, dan ada juga yang mengambil kendaraan bermotor secara paksa di jalan raya.

Ia menambahkan, di Bandung sendiri, ada kelompok sosial tertentu yang memang dikenal berani mengambil risiko dan mampu berhadapan langsung dengan debitur. Tak jarang beberapa di antara mereka memiliki koneksi dengan organisasi masyarakat (ormas).

“Ya, mereka secara profesional memang dituntut bertugas seperti itu. Kalau di Bandung ada kelompok-kelompok tertentu yang memang dia terkenal berani mengambil resiko dan berhadapan dengan masyarakat,” jelasnya.

Ia mengingatkan bahwa fenomena ini tidak bisa hanya dilihat dari sisi individu yang berutang atau semata-mata menyalahkan debt collector. Dalam pandangan sosiologis, fenomena ini merupakan gambaran nyata adanya masalah struktural dalam sistem ekonomi dan akses keuangan di Indonesia.

“Faktanya, perekonomian masyarakat saat ini memang sedang tidak sehat. Mereka yang kesulitan finansial tidak memiliki akses yang memadai ke lembaga keuangan formal. Pemerintah belum sepenuhnya mampu menyediakan akses keuangan yang mudah, murah, dan aman bagi masyarakat bawah,” tutur Ari.

Debt collector pun semakin marak muncul dari ceruk ini. Bila pinjaman dilakukan melalui bank besar yang bonafit, ia mengatakan, drama kekerasan debt collector bisa dihindari dengan langsung menyita aset. Di lembaga peminjaman uang dengan skema yang lebih mudah, debt collector

“Kalau debitur bank tidak sanggup membayar, jaminannya itu tinggal dilelang. Itu sudah selesai, tidak perlu kekerasan. Tapi lembaga-lembaga keuangan lain tidak ada (jaminan). Satu-satunya cara menagih utang akhirnya dengan intimidasi, dengan ancaman,” paparnya.

Ari menyoroti pentingnya peningkatan literasi keuangan agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam pinjaman yang membebani. Menurutnya, rendahnya literasi keuangan membuat sebagian orang tergiur dengan proses pencairan dana yang cepat tanpa memikirkan bunga tinggi dan resiko jangka panjang.

“Memang masyarakat yang terdesak kadang tidak sempat menghitung bunga yang mencekik. Ketika tidak sanggup membayar, mereka merasa frustrasi dan akhirnya melampiaskan kemarahan, bahkan termasuk kepada debt collector sendiri. Ini masalah kompleks,” jelas Ari.

Ia juga menilai bahwa pemerintah perlu lebih serius memperluas akses keuangan yang terjangkau. Program seperti Koperasi Merah Putih yang saat ini digalakkan disebut bisa menjadi alternatif, asalkan mampu menjangkau masyarakat yang benar-benar membutuhkan pinjaman dengan prosedur yang mudah namun tetap aman.

“Selama tidak ada akses yang sehat, masyarakat akan terus tergiur dengan pinjaman cepat, cukup lewat HP saja uang sudah masuk rekening. Ini yang harus segera diatasi,” tegasnya.

Ari menambahkan bahwa edukasi finansial hingga akses bantuan keuangan yang aman harus dibenahi. Bila terus dibiarkan, fenomena penagihan dengan cara intimidatif ala debt collector dapat terjadi semakin sering, hingga menimbulkan konflik di masyarakat.

“Fenomena ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam menyediakan akses keuangan yang adil dan aman. Kalau tidak dibenahi, siklus ini akan terus berulang,” pungkasnya.

Perlu Pandangan yang Lebih Utuh

Modus Doxing

Masalah Struktural

Perlu Literasi Keuangan untuk Warga