Kehidupan Sobirin, Manusia yang Terlupakan di Soreang Bandung

Posted on

Gemerlap keriuhan warga bercumbu dengan rasa dingin yang tengah melanda. Hembusan angin merasuk menembus helai kain yang menempel dalam tubuh.

Dari sudut-sudut kecil terlihat wajah muram menunduk dan sesekali melihat ke arah keramaian. Terkadang bersandar pada pohon atau tiang listrik sambil mengenakan jaket, topi, dan tas pada punggung.

Harapan untuk hidup bertumpu pada isi karung yang didapatkan dari setiap langkah demi langkah. Hanya mengenakan sandal dan celana yang sobek bisa melangkah hingga beberapa kilometer.

Serpihan kehidupan yang berada di jalanan diraih dengan penuh semangat. Terkadang langkah terhenti kala kaki dan matanya mulai meminta haknya untuk menepi atau beristirahat.

Perut keroncongan seakan menjadi kebiasaan dan tidak pernah dirasa. Tetapi dalam langkahnya terkadang ada manusia yang memberi asupan untuk tenaganya kembali hidup.

“Saya dari tahun 2001 sekitar umur 7 tahun sudah hidup di jalan,” ujar Sobirin (31), saat ditemui infoJabar, di depan komplek Pemkab Bandung, Soreang, belum lama ini.

Sejak lahir ke dunia, Sobirin tidak pernah melihat kedua orang tua kandungnya. Saat masih bayi pria tersebut diurus oleh orang tua angkat yang berada di daerah Gunung Halu, Cililin, Kabupaten Bandung Barat.

“Saya mah diurus sama orang tua angkat. Sampai sekarang orang tua asli saya mah gak tahu dimana,” katanya.

Semenjak kedua orang tua angkatnya meninggal dunia hidup Sobirin sepenuhnya berada di jalanan. Bahkan dirinya sempat berada di Sarijadi Kota Bandung untuk bekerja sebagai tukang bangunan pada tahun 2005.

“Padahal tahun itu sata baru 11 tahun. Terus gak lama beberapa tahun kemudian pernah juga ke lampung kerja bangunan. Di lampung satu tahun, terus ke Padang, terus akhirnya pindah lagi ke Lampung. Sempat ke Jakarta di Kampung Rambutan,” ungkapnya.

Langkah demi langkah akhirnya perjalanan itu sampai di wilayah Soreang, Kabupaten Bandung. Semua dilakukan demi mendapatkan kehidupan melalui secerca harapan dari botol-botol plastik bekas.

“Dari kecil udah hidup di jalan. Bisa sampai ke Soreang ya nurutin gimana langkah kaki aja we. Ya sudah gimana lagi. Orang tua enggak punya,” jelasnya.

Plastik bekas yang telah didapatkan biasanya langsung dijual ke pengepul. Namun dari satu karung yang dipikul hanya bisa menghasilkan uang Rp 15 ribu sampai dengan Rp 25 ribu.

“Jadi pagi nyari rongsokan sampai siang. Terus kadang tidur sebentar dan dilanjut lagi nyari. Rongsokannya kalau penuh ya langsung dijual ke pengepul. Untuk bisa penuh itu kadang bisa berhari-hari dapetnya, baru aja bisa makan,” kata Sobirin.

Langkah demi langkah dilalui dari matahari terbit hingga kembali terbenam. Kala kegelapan malam tempat apapun selalu menjadi pilihan melepas lelah walau hanya sejenak.

“Kalau tidur mah dimana aja. Kalau di Soreang mah seringnya di saung-saung yang ada di sawah, kalau di masjid mah gak pernah. Takut ada yang keganggu aja kalau ada saya,” ucapnya.

Dinginnya malam sudah tidak menjadi halangan untuk sekedar melepas lelap dan meraih mimpinya. Apalagi dalam kondisi alam yang sedang tidak bersahabat harus bisa beradaptasi.

“Kalau malem kedinginan mah ya gimana lagi. Apalagi kemarin kan hujan terus-terusan. Ya sedih aja we, hujan ya kehujanan, panas ya kepanasan. Kadang saung juga kan punya orang lain, ya kadang bocor. Jadi basah-basahan aja kalau hujan mah,” kata Sobirin.

Hidup di jalanan membuatnya bertahan lebih kuat. Badan yang sempat melemah pun tidak dirasa dan lebih memilih untuk melangkah demi sesuap kehidupan.

“Nih sekarang kaki aja sobek kena beling. Kemarin-kemarin malem mah badan meriang. Tapi gimana lagi ditahan aja. Kadang sedih mah sedih,” bebernya.

Dalam bertahan hidup, Sobirin pernah mengalami perut keroncongan hingga sampai satu minggu lamanya. Dirinya kadang hanya bisa memakan makanan sisa orang lain yang ada dalam sampah.

“Kalau makan juga nungguan rongsokan kejual aja. Kadang ada yang suka ngasih. Kadang sehari makan, kadang juga gak makan, dulu pernah gak makan sampai empat hari sampai seminggu. Sekarang juga ini belum makan sekitar dua hari,” tuturnya.

Berbagai cerita manis dan pahit kerap dilaluinya selama di jalanan. Pasalnya apa yang dijalaninya kerap dipandang sebelah mana oleh sebagian orang. Sehingga dirinya pernah disangka sebagai pencuri kala sedang mencari botol bekas.

“Saya dituduh nyuri sepatu pernah. Tapi da enggak ngelakuin saya mah. Pas isi karung dikeluarin juga engga ada apa-apa cuma botol bekas. Sering kejadian kaya gitu mah,” bebernya.

Sobirin mengaku yang paling menyayat hati adalah saat momen hari raya Idul Fitri tiba. Beberapa orang berkumpul bersama keluarga dan dirinya hanya bisa termenung dan menangis di pinggir jalan.

“Kalau pas momen lebaran mah seding banget, saya kadang suka nangis. Orang lain mah sama keluarganya, saya mah gini aja sendirian. Terus kalau saya pas kecil mah, anak yang lain punya baju baru, saya kucel gini. Makanya suka nangis saya mah,” kata Sobirin, sambil meneteskan air mata.

Dalam perjalanannya kerap terbesit dalam hati untuk mencari sosok kedua orang tuanya. Hal tersebut pernah dicoba dilakukan dan tidak bisa membuahkan hasil.

“Pernah saya nyari-nyari katanya orang Majalaya, pas nyari emang engga ada. Terus di Soreang juga pernah nyari. Itu informasi dari saudara orang tua angkat saya. Tapi da gimana, foto orang tua asli saya aja gak punya. Jadi susah,” bebernya.

Dalam momen perayaan HUT ke-80 RI pun menjadi keresahannya kepada para pemangku kebijakan. Seharusnya bisa memperhatikan rakyat kecil yang berada di jalanan.

“Saya mah sebagai rakyat kecil buat para pejabat kepengen bisa selalu melihat kondisi masyarakat di bawah. Kalau yang kaya dihargain, kalau orang kaya gini mah enggak pernah dihargain. Saya pernah sampai diludahin sama orang kaya,” ucap Sobirin.

“Terus bantuan juga diberikannya engga tepat sasaran. Merdeka teh mana lah. Percuma hari kemerdekaan juga kalau masih banyak rakyat miskin. Merdeka ge percuma,” tegasnya.

Tak Pernah Bertemu Orang Tua Kandung

Momen Paling Menyakitkan

Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *