Bulan menerangi kota, lambat keramaian berangsur pudar seiring waktu semakin malam. Cimahi terasa lebih dingin sejak akhir bulan Juli, menggerogoti tubuh-tubuh tunawisma di emperan toko Jalan Gandawijaya.
Tipikal kota-kota besar, jalanan kota di samping Bandung itu tetap sibuk. Motor berknalpot bising, mobil dengan klakson nyaring, hingga truk reyot yang knalpotnya mengeluarkan asap hitam jadi nyanyian pengantar tidur mereka yang menjadikan lantai toko sebagai kasur.
Tak layak sama sekali, namun tak ada pilihan. Kaki perlu diistirahatkan, pun dengan mata yang tak kuat lagi membelalak. Pikiran perlu diteduhkan dari hiruk pikuk tuntutan ekonomi.
Dari kejauhan, nampak seorang pria berbalut sweater hitam yang topinya menutup kepala sibuk menata alas tidur. Sarung kotak-kotak dijadikan selimut. Keresek hitam yang entah berisi apa, disulap serupa bantal.
Ia lalu rebahan. Di belakangnya, sudah terlebih dulu larut dalam mimpi samar pria lain. Juga melindungi diri dari dinginnya angin malam musim kemarau basah dengan sarung lusuh.
Saya menyentuh badannya, sedikit berucap ‘pak, sudah mau istirahat?’. Sedikit konyol karena sudah jelas pria itu mau tidur. Namun tak terpikir cara lain untuk meminta sebentar waktunya sekadar berbincang ringan soal suhu Cimahi saat ini.
Pria itu bangun seketika, ia kaget pun dengan pria di belakangnya. Setelah dijelaskan maksud dan tujuan saya membangunkannya, ia maklum. Namanya Sukarji, seorang penjual kanebo, kain lap chamois yang menyerap air buat mengeringkan kendaraan.
“Ya begini lah kalau saya mau tidur di emperan toko. Cuma pakai jaket sama kain sarung, nanti kepalanya pakai kresek isi barang jualan (kanebo),” kata Sukarji saat berbincang dengan infoJabar di emperan sebuah toko di Jalan Gandawijaya Cimahi, Rabu (20/8/2025).
Ternyata jaket yang dipakainya tak cuma satu, namun ada ditambah kaos yang ia kenakan setiap hari. Jadi malam itu, ia mengenakan baju atasan tiga lapis. Kemudian Sukarji menunjukkan dua lapis sarung yang ia bekal dari kampung.
“Kalau enggak gini ya kedinginan saya, soalnya kan tiap hari tidurnya di sini. Enggak punya rumah, ya ngemper saja. Apalagi sekarang lagi dingin-dinginnya, untung enggak hujan,” ujarnya.
Musuhnya tak cuma cuaca dingin saja. Namun juga gangguan dari bising knalpot bronk motor-motor yang ngebut ketika jalanan kosong. Tak salah polisi banyak menilang pengguna knalpot brong, sebab memang semengganggu itu.
“Saya beres jualan jam 9 malam, terus istirahat di sini. Paling bisa tidur nyenyak itu jam 1 malam ke atas, soalnya kan berisik banget. Jadi selain dingin ya berisik juga,” tuturnya.
Sukarji bukan tak pernah numpang tidur di masjid atau musala. Ia tak enak, sungkan karena badannya kotor, belum lagi terkadang diusir oleh pengurus. Padahal ia tak sekadar tidur lalu pergi, tapi ikut bersih-bersih.
“Kadang pagi-pagi itu saya bersih-bersih toilet, tempat wudhu sebelum pergi. Soalnya kalau bangun sebelum subuh suka diusir jemaah. Makanya enggak enak kalau numpang di masjid atau musala gitu,” ucapnya.
Cuaca dingin, bahkan buat orang yang tinggal di dalam rumah penuh kehangatan, tak menjamin aman dari serangan penyakit. Minimal flu, bahkan bisa lebih parah lagi. Namun beruntung, pria 66 tahun itu tak pernah sakit parah selama hidup nomaden di perantauan.
“Alhamdulillah kalau sakit parah enggak pernah, paling pilek terus batuk. Ya pakai obat warung juga sembuh,” katanya.
Sukarji lalu menunjukkan isi kantong kresek berukuran lumayan besar. Di dalamnya ada puluhan kain kanebo siap jual berbungkus plastik bening. Harganya murah, cuma Rp15 ribu. Tapi murah juga tak jadi jaminan barang itu ada yang beli setiap hari.
Tiba-tiba ia curhat kalau beberapa hari ini barang dagangannya susah laku. Ia degdegan, sebab punya utang beberapa ratus ribu ke rentenir. Uangnya bukan buat macam-macam, tapi mengisi perut di kala tak ada keuntungan hasil jualan.
“Saya pening ini sebetulnya lagi enggak ada pegangan sama sekali, apalagi masih ada utang, tiap hari ditagih Rp15 ribu. Hari ini baru kejual 1, itu juga buat makan dulu uangnya,” ujar Sukarji.
Di tengah segala kesulitan, Sukarji bekerja keras demi bisa menyisihkan uang buat dikirim ke kampung halamannya di Kecamatan Moga, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Meskipun akhirnya ia harus berbohong pada sang istri kalau ia tinggal di sebuah rumah kontrakan dengan temannya.
“Saya bohong sama istri, saya bilang ngontrak di sini Rp350 ribu sebulan dengan teman. Enggak apa-apa saya bohong, biar mereka enggak khawatir. Bahkan saya harus sumpah sama istri biar dia percaya,” kata Sukarji.
Sukarji seketika menyeka air matanya. Ia rindu kampung halaman, sudah enam bulan tak pulang ke rumah. Ia bingung, tak punya ongkos. Hari demi hari ia harus jalani agar bisa mengubah hidupnya yang ada di garis kemiskinan.
“Ya mau bagaimana lagi, cuma bisa berdoa saja supaya bisa pulang ke kampung. Sudah 6 bulan di sini,” harapnya.
Bohong ke Anak Istri
Sukarji lalu menunjukkan isi kantong kresek berukuran lumayan besar. Di dalamnya ada puluhan kain kanebo siap jual berbungkus plastik bening. Harganya murah, cuma Rp15 ribu. Tapi murah juga tak jadi jaminan barang itu ada yang beli setiap hari.
Tiba-tiba ia curhat kalau beberapa hari ini barang dagangannya susah laku. Ia degdegan, sebab punya utang beberapa ratus ribu ke rentenir. Uangnya bukan buat macam-macam, tapi mengisi perut di kala tak ada keuntungan hasil jualan.
“Saya pening ini sebetulnya lagi enggak ada pegangan sama sekali, apalagi masih ada utang, tiap hari ditagih Rp15 ribu. Hari ini baru kejual 1, itu juga buat makan dulu uangnya,” ujar Sukarji.
Di tengah segala kesulitan, Sukarji bekerja keras demi bisa menyisihkan uang buat dikirim ke kampung halamannya di Kecamatan Moga, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Meskipun akhirnya ia harus berbohong pada sang istri kalau ia tinggal di sebuah rumah kontrakan dengan temannya.
“Saya bohong sama istri, saya bilang ngontrak di sini Rp350 ribu sebulan dengan teman. Enggak apa-apa saya bohong, biar mereka enggak khawatir. Bahkan saya harus sumpah sama istri biar dia percaya,” kata Sukarji.
Sukarji seketika menyeka air matanya. Ia rindu kampung halaman, sudah enam bulan tak pulang ke rumah. Ia bingung, tak punya ongkos. Hari demi hari ia harus jalani agar bisa mengubah hidupnya yang ada di garis kemiskinan.
“Ya mau bagaimana lagi, cuma bisa berdoa saja supaya bisa pulang ke kampung. Sudah 6 bulan di sini,” harapnya.