Beragam kebijakan kontroversial yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, ternyata mendapat sambutan hangat dari mayoritas warga. Berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia, tingkat kesadaran terhadap kebijakan tersebut sangat tinggi.
Direktur Riset Indikator Politik Indonesia, Adam Kamil, menyebut kebijakan larangan study tour menjadi salah satu yang paling dikenal masyarakat. Bahkan kebijakan itu diketahui oleh 89,8 persen dari 600 warga Jabar yang jadi responden.
“Terkait larangan study tour untuk siswa sekolah. Warga Jabar yang tahu 89,8 persen. Dan di sini dukungannya 89,5 persen setuju dan sangat setuju. Selain awareness-nya tinggi, dukungannya tinggi,” jelas Adam, Rabu (28/5/2025).
Kebijakan larangan wisuda sekolah pun menunjukkan pola serupa. Menurut survei tersebut, 91 persen warga mengetahui kebijakan ini, dan 87 persen mendukungnya. Larangan perpisahan kelulusan di hotel atau gedung juga diketahui oleh 87,6 persen responden dan 90,8 persen yang menyetujui.
Padahal kata Adam, sejumlah pihak sempat mengkritik bahwa pelarangan kegiatan sekolah semacam itu bisa berdampak negatif terhadap sektor pariwisata atau usaha penyedia gedung dan jasa acara. Namun, hasil survei menunjukkan hal berbeda.
“Kemudian muncul pro kontra bahwa hal itu akan mematikan kegiatan perekonomian terutama sektor pariwisata. Ternyata ketika kita sodorkan ke masyarakat, kita tanya ke warga Jabar, hampir semua mendukung kebijakan gubernur,” katanya.
“Hampir semua warga setuju bahwa kebijakan pelarangan tersebut akan mengurangi beban orang tua siswa dan mengurangi resiko keselamatan di perjalanan mencapai 92 persen. Yang menganggap mengganggu perekonomian hanya 6,4 persen,” lanjutnya.
Kebijakan lain yang juga disorot adalah pelarangan siswa membawa kendaraan bermotor ke sekolah dengan 90 persen tahu, 92 persen setuju, serta larangan membawa ponsel 85,4 persen tahu, hampir 85 persen setuju.
Bahkan, kebijakan Dedi Mulyadi yang kontroversial sekalipun dengan melakukan pembinaan khusus siswa bermasalah di barak militer, juga mendapatkan legitimasi dari publik dengan 89 persen tahu, dan 92 persen setuju.
“Kemudian pembinaan khusus siswa bermasalah di barak militer, 89 persen tahu, dan 92 persen setuju. Mungkin ini meresahkan ya, kalau ada anak muda nongkrong bergerombol ada aja kelakuannya,” jelasnya.
Namun, di kalangan akademisi dan aktivis, kebijakan-kebijakan seperti pembinaan militer ini sempat menuai kritik keras. Burhanuddin Muhtadi, Founder sekaligus Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia, mengatakan bahwa perspektif akademik berbeda dengan pandangan publik.
“Di mata publik nyatanya gak seperti yang dibayangkan. Datanya menunjukkan sebagian besar 90 persen lebih masyarakat setuju proses pendisiplinan tadi terhadap mereka yang dianggap bermasalah,” terang Burhanuddin.
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Ia menambahkan, ada dua kemungkinan mengapa kebijakan-kebijakan Dedi Mulyadi itu mendapat tingkat persetujuan yang tinggi, yakni karena memang kebijakan itu disukai publik, atau karena publik sudah lebih dulu menyukai Dedi Mulyadi.
“Pertanyaannya adalah, apakah persetujuan terhadap program ini membuat approval Dedi Mulyadi tinggi, atau kah karena mereka suka Dedi Mulyadi sehingga apapun yang dilakukan Dedi mereka akan setuju,” ucap Burhanuddin.
“Karena sampel hanya 600 di Jabar, kalau kita punya kemewahan sampel kita bisa uji apakah sebab ini membuat approval Dedi Mulyadi tinggi sebagai gubernur atau sebaliknya karena orang suka sama Dedi Mulyadi sehingga apapun yang dikeluarkan mereka sukai,” sambungnya.
Yang pasti, kata Burhanuddin, tingginya tingkat dukungan terhadap kebijakan Dedi Mulyadi juga sangat dipengaruhi oleh faktor eksposur media sosial. “Satu jawaban mengapa approval terhadap kebijakan KDM tinggi salah satunya awareness-nya tinggi, lain dengan Jakarta misal soal perpanjangan jam buka perpus cuma 30 persen yang tahu. Gimana orang bisa approve kalau yang tahu sepertiga,” tandasnya.