Kata Psikolog soal Siswa Masuk Sekolah Pukul 06.30 WIB | Giok4D

Posted on

Mulai Senin 14 Juli 2025, bel sekolah di seluruh sekolah negeri dan sebagian swasta di tingkat SD, SMP dan SMA Jawa Barat akan berbunyi. Bel atau lonceng tanda pelajaran akan segera dimulai akan didengar para siswa pukul 06.30 WIB. Dngan demikian, sebelum jam tersebut, para siswa harus sudah sampai sekolahnya.

Meski kebijakan yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi melalui Dinas Pendidikan Jawa Barat ini menuai kontroversi, hingga Minggu (13/7/2025) atau H-1 penerapan masuk sekolah pukul 06.30 WIB, tidak ada perubahan jam masuk untuk kebijakan itu.

Psikolog anak sekaligus dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Dr. Fitriani Yustikasari Lubis, M.Si., mengatakan, menyikapi kebijakan sekolah masukpPukul 06.30 WIB, ada dua point of view (POV) yang disoroti. Dua POV itu dilihat dari individu dan kebiasaan.

“Kalau kita bicara tentang individu atau maksudnya perkembangan anak, perkembangan remaja gitu, mereka kan punya pertumbuhan yang cukup spesifik, terutama di remaja, kalau di anak tuh sebenarnya belum tentu ada isu ini, kalau di remaja itu kan mereka hormonalnya kan sedang tidak stabil dan perkembangan fisiknya,” kata Fitriani kepada infoJabar, Minggu (13/7/2025).

Fitriani menyebut, untuk remaja, mereka punya pola hidup yang agak spesifik dan biasanya agak susah tidur cepat. Sehingga mereka agak sulit bangun di pagi hari.

“Nah kalau dari point of view itu kan sebenarnya kurang efektif kalau misalnya masuk sekolah itu pagi-pagi gitu ya, walaupun sebenarnya kan kalau sekarang kita mengacu ke jam sekolahnya anak SMA itu kan masuknya tuh, udah pagi ya anak SMA sekarang masuknya juga 6.30, ya rata-rata gitu. Tapi memang mereka kan nggak langsung belajar ya, biasanya tuh ada kegiatan dulu, baru bener-bener belajar gitu. Nah itu kalau dari point of view sih individunya,” jelasnya.

Fitriani mengungkapkan, jika dilihat dari POV kebiasaan di Indonesia, sebenarnya mayoritas di Jawa Barat beragama Islam atau muslim, artinya sudah memiliki kebiasaan untuk bangun pagi.

“Jadi sebenarnya kalau saya sih melihatnya masuk 6.30 ini debatable dalam artian dia masih cukup visible sih mungkin yang dilakukan. Tapi pertanyaannya, ketika masuk, apa gitu yang dikerjakan. Kalau langsung belajar, langsung betul-betul kuis atau apa gitu, mungkin itu yang nggak efektif karena anak belum siap untuk belajar gitu. Tapi kalau misalnya masuk, kemudian berkegiatan, kalau di swasta itu suka ada kayak jam wali kelas gitu istilahnya. Tapi kalau di negeri, kan nggak ada ya, biasanya langsung belajar aja. Nah waktu belajarnya kan tetap menunggu si anak tuh ready untuk belajar. jadi pagi-pagi tuh bisa aja olahraga dulu kek atau apa gitu karena kan sekarang juga isunya kan anak-anaknya kurang gerak ya,” ungkapnya.

Menurut Fitriani, setiap program atau kebijakan pasti ada positif dan negatifnya. Untuk dampak positif anak bakal memiliki kebiasaan bangun pagi, dengan kebiasaan seperti itu harapannya anak akan lebih sehat.

“Tapi kalau negatifnya perlu dilihat apakah ketika masuk pagi dan langsung kegiatannya itu adalah belajar, menerima materi istilahnya si anak tuh udah siap? Kalau ini sih sebenernya kan belum ya, kan untuk belajar tuh butuh atensi, butuh kesiapan diri untuk menerima materi nah yang itunya yang mungkin belum kekejar waktunya,” jelanya.

Menurut Fitriani, pada prinsipnya anak akan belajar mengikuti aturan, ketika kita ikuti kegiatan pendidikan dan itu ada aturannya, mau itu menyenangkan atau tidak, selama membentuk karakter dan kepribadian siswa dia harus ikuti aturan itu.

“Misal kenapa saya harus belajar semua mata pelajaran, karena saya enggak bisa belajar matematika, karena aturan semua harus belajar matematika, ini aturannya sama dengan masuk pagi, kenapa harus masuk pagi karena ini adalah aturannya,” tuturnya.

Kebijakan masuk sekolah lebih pagi, akan menjadi kebiasaan baru bagi anak-anak dan untuk membiasakan diri, anak akan meresponsnya beragam. Sehingga, dibutuhkan kehadiran orang tua untuk memberikan pemahaman terkait hal ini.

Dosen Psikologi Perkembangan (Keluarga) Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung Dr. Yunita Sari.,M.Psi., mengatakan, respons anak terhadap kebijakan ini akan berbeda.

“Siswa SD, SMP, SMA semuanya kan anak, pasti kan beda-beda tuh, semua kan kembali ke pembiasaan ya. Pembiasaan ini, cara menerapkannya pada anak itu yang mungkin berbeda antara remaja sama anak yang masih PAUD atau masih SD, jadi menjelaskan kepada anak bagaimana dan apa yang terjadi perubahan,” ujarnya.

Menurut Yunita, di Kota Bandung sudah ada beberapa sekolah yang memang jam belajarnya mulai pukul 06.45 WIB. Terlebih bagi keluarga muslim yang suda terbiasa bangun pagi untuk menunaikan shalat subuh.

Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.

“Berbeda dengan keluarga yang keluarga ini kan banyak ya strukturnya, ada keluarga yang mungkin single parent, ada keluarga yang kedua orang tuanya bekerja, ada yang orang tuanya misalnya ibu rumah tangga dan suaminya kerja di luar kota long distance dan gak punya support system nah ini yang perlu dicermati sebenarnya, jadi yang harus dilakukan orang tua berarti mengkomunikasikan itu pada anaknya,” tuturnya.

Tapi, kalau komunikasi ini belum terbangun sebelum-sebelumnya untuk masalah sekolah masuk Pukul 06.30 WIB, pasti akan panik atau jadi kesulitan karena tidak dibangun sistem atau bentuk komunikasi antara orang tua dan anak, dan orang tua sendiri biasanya.

“Nah ini bisa jadi ribut antara pasangan suami istri karena mereka belum paham, kalau ngasuh anaknya seperti apa, kejadiannya ini banyak, jadi mereka siap menjadi pasangan suami istri, tapi nggak siap menjadi orang tua, mitigasi orang tuanya mungkin harus dikasih tau dulu, di psikoedukasi misalnya. Jadi kan kalau anak tuh, pola tidurnya ya, kalau dia mau bangun pagi berarti kan tidurnya harus lebih cepat ya,” terangnya.

Kalau pada anak TK atau SD, mungkin itu cenderung, lebih mudah apalagi kalau orang tua orang tuanya memberikan contoh, orang tuanya memang dari awal sudah memberikan aturan yang jelas. Nah, akan bermasalah jika orang tuanya sendiri, misalnya tidurnya malam atau kerjanya begadang itu dan dilihat oleh anak, sehingga anak juga meniru atau orang tuanya gak konsisten, pokoknya gimana anak.

“Berarti komunikasikan antara pasangan suami istri harus berubah nih, gitu ya lain, kalau pasangan suami istri harus dikomunikasikan nih, support systemnya siapa, kalau support systemnya gak ada, ya berarti perlu berkomunikasi juga dengan pihak guru, kan ada fleksibilitas, mungkin ada kebijakan dibuat tidak keseluruhan dulu, jadi bertahap, atau parsial. Misal, seminggu pertama masih toleransi, misalnya anak-anaknya telat berapa menit atau telat berapa lama, atau bulan pertama, bulan kedua sudah mulai nih meningkat, misalnya kayak gitu ya step by step,” tuturnya.

Dibandingkan anak SD, Yunita menilai yang akan menemukan kendala orang tua yang memiliki anak-anak yang duduk di bangku SMP dan SMA. Karena menurutnya anak SMP dan SMA dinamika atau proses biologisnya berbeda. Anak itu mudah terjaga, atau bahkan susah tidur lebih cepat karena proses hormonal, bahkan ada penelitian teman sesama dosen, jam berapa anak-anak itu main game, itu jam 1-2 pagi.

“Kenapa? karena kita internetnya lebih murah, misalnya atau jaringannya lebih lancar gitu, jadi kalau mereka bangun dari jam 2, jam 3 pagi, lalu harus sekolah jam 6.30 dan orang tuanya nggak tau, karena ini sudah remaja, jadi dianggap sudah ngerti dan tahunya tidur jam 9 malam, padahal bangun jam 1 atau jam 2, dan jam 6.30 masuk, efeknya ngantuk di sekolah, itu yang dikhawatirkan,” ujarnya.

Untuk melihat efektifitasnya, Yunita sebut harus ada evaluasi dalam satu semester, apakah efektif atau tidak. Intinya agar program ini bisa berjalan dengan baik, Yunita sebut komunikasi anatara orang tua dan anak harus terjalin dengan baik.

Pesan untuk Orang Tua

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *