Maraknya jaringan terorisme yang menyasar anak dan remaja usia 10-18 tahun kembali menjadi perhatian publik setelah Densus 88 Antiteror mengungkap adanya 110 anak di 23 provinsi yang tengah diidentifikasi terpapar paham radikal dengan Jawa Barat tercatat sebagai provinsi dengan jumlah kasus terbanyak.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Jawa Barat Diah Puspitasari Momon menilai akar dari persoalan ini karena minimnya perhatian dan bimbingan yang diterima anak dari lingkungan terdekat.
“Memang kita jelas penduduk terbanyak, anak sekolah juga terbanyak dan yang memang mudah dipaparkan itu anak remaja terutama yang di rumahnya kurang dapat perhatian dari lingkungan,” ujar Diah saat dihubungi, Rabu (19/11/2025).
Menurutnya, remaja yang tidak mendapatkan pendampingan memadai, baik di rumah maupun sekolah, jauh lebih rentan dipengaruhi kelompok tertentu yang menjerumuskan mereka pada hal negatif, termasuk radikalisme.
Diah menyoroti banjirnya informasi di media sosial sebagai salah satu faktor utama yang membuat anak mudah terpapar.
“Sekarang banyak informasi tidak jelas kebenarannya, anak kan belum bisa mencerna secara komprehensif dan menganggap itu benar adanya,” katanya.
Kondisi akan semakin berbahaya ketika anak mengalami perundungan, pengucilan, atau merasa tidak diterima di lingkungan sekolah maupun rumah.
“Tanpa adanya bimbingan di rumah ditambah di sekolah dia dikucilkan karena mungkin ada anak yang bermasalah itu tidak ada temannya, itu yang rentan dipengaruhi oleh hal yang mengajak mereka ke hal tidak baik seperti radikalisme. Dengan kekecewaan yang selama ini mereka rasakan, gampang masuknya,” jelasnya.
Menurut Diah, langkah pencegahan harus dimulai dari rumah. Meski begitu, ia memahami bahwa banyak orang tua saat ini bekerja penuh waktu sehingga kurang memberi perhatian mental dan emosional bagi anak.
“Jadi pencegahan menurut saya orang tua di rumah. Dengan kondisi sekarang orang tua biasanya bekerja jadi kurang fokus dalam mendidik dan mengarahkan anak-anak,” ujarnya.
Tak hanya keluarga, sekolah juga memegang peran penting. Namun, Diah menilai guru saat ini terbebani oleh tuntutan administratif, khususnya terkait sertifikasi, sehingga proses pengajaran karakter anak menjadi kurang optimal.
“Guru sekarang menurut saya terlalu banyak beban untuk sertifikasi, jadi guru kurang fokus sekarang ke anak didik termasuk dosen. Lebih fokus ke urusan administrasi mereka, harus ada laporan di akhir bulan untuk sertifikasi,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa pendidikan karakter harus dilakukan melalui interaksi langsung antara guru dan siswa.
“Jadi tidak hanya soal akademiknya tapi soal pendidikan karakternya itu kurang. Kalau karakter itu harus langsung dosen atau guru tatap muka dengan anak-anak,” ujar Diah.
Diah menegaskan bahwa upaya pencegahan radikalisme pada anak tidak bisa dibebankan hanya kepada keluarga atau sekolah. Ia menilai perlu ada kolaborasi semua unsur, mulai dari orang tua, guru, tokoh agama, hingga pemerintah.
Dengan semakin masifnya perekrutan jaringan terorisme di ruang digital, Diah berharap peran pendampingan di rumah dan sekolah dapat diperkuat, sehingga anak-anak tidak dibiarkan sendirian menghadapi banjir informasi tanpa filter yang memadai.
“Jadi harus komprehensif harus semua, tidak hanya orang tua. Anak sekolah ya guru sebagai orang tuanya. Kemudian pemerintah juga harus sama-sama (ikut berperan),” tegasnya.
