Belakangan, lini masa media sosial ramai membicarakan sumber air Aqua. Semua bermula dari video kunjungan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi ke pabrik pengolahan air mineral yang diunggah ke kanal Kang Dedi Mulyadi Channel.
Dalam video tersebut, KDM tampak menanyakan dari mana asal air yang digunakan perusahaan tersebut. Seorang staf kemudian menjelaskan air diambil dari dalam tanah melalui proses pengeboran.
Keterangan itu lantas memicu beragam reaksi dari masyarakat. Sebagian pihak menilai sumber air tersebut tidak sejalan dengan klaim “air pegunungan” yang selama ini melekat pada citra Aqua. Pasalnya, publik menilai air hasil pengeboran berbeda dengan air yang berasal langsung dari mata air pegunungan.
Dilansir infoHealth, menanggapi isu tersebut, pihak Danone, sebagai produsen Aqua, akhirnya memberikan klarifikasi resmi. Perusahaan menegaskan air yang digunakan bukan berasal dari air permukaan atau air tanah dangkal.
Sumbernya, menurut Danone, diambil dari akuifer dalam dengan kedalaman 60-140 meter yang terlindungi secara alami oleh lapisan kedap air, sehingga tetap murni dan tidak mengganggu ketersediaan air bagi masyarakat sekitar.
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
“Aqua menggunakan air dari akuifer dalam yang merupakan bagian dari sistem hidrogeologi pegunungan,” tegas pernyataan tersebut.
“Air ini terlindungi secara alami dan telah melalui proses seleksi serta kajian ilmiah oleh para ahli dari UGM dan Unpad. Sebagian titik sumber juga bersifat self-flowing (mengalir alami),” lanjutnya.
Guru Besar Teknologi Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Ir Heru Hendrayana juga turut menanggapi istilah air pegunungan. Menurutnya, Air tanah dalam bisa disebut air pegunungan jika memang asalnya dari wilayah pegunungan.
Namun, ia menegaskan air pegunungan tidak selalu harus diambil langsung dari lokasi di puncak atau tubuh gunung. Untuk membuktikan hal tersebut diperlukan penelitian ilmiah yang cukup panjang, meliputi analisis kimia, isotop, serta kajian bawah permukaan.
“Jadi sekali lagi tidak harus di pegunungan sumbernya. misalnya saya ngebor di lereng Merapi atau lereng gunung, boleh gak, bisa gak itu saya katakan air pegunungan? belum tentu, harus di cek dulu tadi,” ucapnya lagi.
“Terus di ngebor di datarannya, ini dari gunung, belum tentu, harus dicek dulu asal usulnya. nah gitu ya, jadi air pegunungan itu harus melalui sebuah penelitian. ya, sekarang intinya itu tadi, air pegunungan tidak harus di gunung, gitu ya,” lanjutnya lagi.
Hal serupa juga berlaku pada mata air pegunungan. Menurut Prof Heru, tidak semua mata air yang muncul di wilayah pegunungan otomatis tergolong air pegunungan. Ada mata air yang terbentuk dari air hujan yang langsung meresap dan keluar kembali di batuan sekitar lereng, sehingga termasuk kategori air tanah dangkal.
“Jadi air pegunungan itu harus diidentifikasi dengan metode, tidak harus di gunung, tidak harus di datar, di gunung pun belum tentu air pegunungan, ini secara ilmiahnya begitu,” tuturnya.
Ia menambahkan, perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) besar yang menggunakan label “air pegunungan” biasanya telah melakukan uji ilmiah mendalam untuk memastikan klaim tersebut.
“Kalau perusahaan-perusahaan besar yang melakukan apa, mencantumkan dari pegunungan itu, pasti sudah mempunyai itu,” imbuhnya.
Artikel ini telah tayang di infoHealth. Baca selengkapnya
