Kalau surga sering diibaratkan sebuah taman indah yang luas, tidak berlebihan jika Kampoeng Ladang disebut sebagai surga kecil di Kabupaten Sumedang. Tempat ini merupakan taman hutan yang indah penuh pepohonan tinggi di atas bukit yang dulunya gersang.
Di sini, orang bisa bersantai, menyeruput kopi, meneguk teh, menyantap nasi liwet yang dimasak di atas tungku, dan yang paling utama, orang bisa merasakan udara teramat segar karena berada di lingkungan yang penuh oleh ratusan pohon.
Zulfiadi Burhan (60) sang empunya tempat tampaknya kenal pepatah ‘jangan mengejar kupu-kupu, perbaiki tamanmu’. Sekarang, bukan saja kupu-kupu yang datang, tetapi tamu-tamu yang akan berwisata ke taman hutan miliknya itu.
Kampoeng Ladang berada di sebuah bukit bernama Pasir Peti di Desa Margalaksana, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang. Dari Alun-alun Sumedang, jaraknya hanya 3 kilometer ke arah SMPN 7. Dengan kendaraan pribadi, jarak tempuh sekitar 15 menit saja.
Sekitar 18 tahun lalu, Pasir Peti merupakan bukit yang gersang. Di sana, hanya tumbuh ilalang dan semak berduri. Tanah yang merah dengan lapisan cadas di bawahnya membuat petani kesusahan bercocok tanam. Diperparah lagi dengan ketiadaan aliran air.
Mulai tahun 2007, ketika Zulfiadi yang anggota Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI) angkatan 1986 itu membeli tanah di Pasir Peti, tanah itu mulai dikelola untuk dijadikan ladang. Selain bertani palawija, sebagian besar bukit itu ditanami pohon-pohon kayu di bagian atas dan pohon-pohon buah-buahan di bagian lembahnya.
Tiga tahun kemudian dari upaya menanam pohon itu, barulah dibangun saung-saung kecil. Sambil terus berbenah, tempat itu mulai dibuka untuk umum pada tahun 2010.
Tahun-tahun berlalu dan pohon-pohon itu kini semakin tinggi dan rindang. Ladang itu pun sebagiannya kini telah ditata menjadi taman yang nyaman. Ada saung-saung kecil untuk lesehan. Ada kursi dan meja untuk duduk di bawah rindang pohon. Ada tempat salat. Bahkan ada tempat untuk menginap.
Jangan khawatir soal air. Air yang dulu didambakan di tempat ini, kini sudah tersedia. Air dialirkan dari mata air di sekitar Gunung Kareumbi sejarak dua kilometer dari Kampoeng Ladang didatangkan ke tempat ini. Air yang melimpah, Zulfiadi berikan juga untuk tempat wisata lain dan untuk masyarakat di sekitarnya yang memerlukan.
“Saya memulai ini, justru dari mereboisasi. Awalnya tanah gersang tapi view-nya bagus. Jadi pada masa itu, harganya seperti tanah yang tak berguna. Orang-orang enggak bisa bertani karena enggak ada air,”
“Saya beli baru saya cari air. Penghijauan dulu. View bagus, tumbuhan bagus, baru berbenah. 2007 beli, 2010 saya bikin tempat rumah makan kecil,” katanya kepada infoJabar, Minggu (20/7/2025).
Sekarang sudah tumbuh dengan baik ratusan pohon dengan lebih dari dua puluh jenis, termasuk juga tanaman yang jarang ditemukan. Jenis-jenis pohon di sini misalnya mahoni, damar, kacapi, lampeni, rasamala, pala, pinang, kenari, kayu putih, matoa, cendana, dan manglid.
“Memang sengaja apa saja saya coba, seperti durian juga coba cuman tak bisa besar, akhirnya tinggal yang sesuai dengan alam. Coba saja begitu, ternyata yang bertumbuh justru tanaman kayu. Di lembah ada rambutan, manggis, dan petai,” katanya.
Ketika masih ‘membangun’ ladang itu, Zulfiadi masih melakukan kerja-kerja lain di bidang pendidikan, setelah sebelumnya dia malang melintang di bidang konsultan kehutanan. Namun kini, bersama istrinya, Elsy Risyani (57) sama sekali menetap di Sumedang.
“Karena ladang sudah tidak perlu lagi disubsidi,” katanya sambil tertawa renyah.
Zulfiadi menamai tempatnya sebagai ‘ladang’ karena betul-betul area untuk bercocok tanam. Namun, kebiasaan masyarakat di sekitar menambah-nambahi kata ‘kampung’ menjadikan nama tempat itu kini menjadi Kampoeng Ladang.
Aktivitas bertani di sini tidak henti. Dan pertanianlan yang membuat tempat wisata ini bertahan ketika Covid-19 melanda, ketika orang-orang dilarang untuk bepergian apalagi berwisata.
Ketika itu, secara bertahap tren kunjungan ke Kampoeng Ladang terus naik. Pendapatan dari kunjungan itu bisa untuk dipakai perawatan dan melakukan penataan di ladang tersebut. Hingga akhirnya Covid-19 melanda.
“Memang naik ya drastis dari 2010 itu, terus naik sampai 2017-2018. Sampai covid itu. Ya justru kami bercocok tanam, bertani, jadi tidak terlalu signifikan terganggu. Karyawan semuanya bertani nanam bawang, nanam apa,” katanya.
Seusai Covid-19, geliat orang datang ke Kampoeng Ladang kembali bangkit. Pariwisata bergairah kembali. Dan yang menggembirakan bagi Zulfiadi adalah para pengusaha pariwisata juga ada yang membuat tempat tujuan wisata tidak terlalu jauh dari tempatnya.
“Yang lebih asyik itu, kompetitor tetanggaan. Bagi saya, yok rame-rame, itu airnya saya kasih, saya gak jualan air, saya ngasih. Jadi bagi saya (kompertitor itu) rekan saja. Di sini bangun, di sana bangun, justru senang, asal jangan ngerusak alamnya saja,” katanya.
Ditanya apakah dia bahagia melakukan itu semua, dia bercerita panjang tentang kebahagiaan yang ukurannya relatif. Namun, bagi dia, setelah tunai membuat kedua anaknya bisa ‘mandiri’ dan kini mereka bekerja di Australia, kebahagiaan itu ukurannya semakin sederhana.
“Makan tiga kali sehari, rokok, kopi, dan hidup di tengah pepohonan ini itu bahagia. Teman-teman saya merespons bahwa ketika mereka datang ke sini mereka merasa bahagia melihat saya mengerjakan ini semua. Mereka saja bahagia, apalagi saya,” katanya.