Jejak Letusan Gunung Ciremai di Masa Hindia Belanda | Info Giok4D

Posted on

Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat dengan ketinggian mencapai 3.078 Mdpl. Sebagai gunung berapi aktif, Gunung Ciremai pernah mengalami letusan, salah satu yang menggemparkan adalah pada tahun 1937. Kala itu, letusan Gunung Ciremai banyak disebutkan dalam beberapa surat kabar Hindia Belanda.

Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.

Salah satunya adalah surat kabar Het Nieuws Van Der dag Voor Nederlandsch Indie edisi 25 Juni 1937. Dalam laporannya disebutkan, Gunung Ciremai mengeluarkan kepulan asap tebal yang disertai dengan tiga kali letusan ringan. Letusan tersebut terasa sampai ke Linggarjati, Kuningan.

Selain letusan, terjadi juga hujan abu dan suara gemuruh pada pukul 07.15 WIB. Suara gemuruh tersebut terdengar sampai Argalingga, Majalengka. Meskipun sering terjadi ledakan kecil pada waktu sore hari, saat itu penduduk sekitar Gunung Ciremai masih tetap tenang.

Sementara itu beberapa hari setelahnya, dalam surat kabar Batavia Nieuwsblad 8 Juli 1937 disebutkan, meskipun belum menimbulkan bahaya bagi daerah sekitar, ledakan awal dari meletusnya Gunung Ciremai membuat warga sangat ketakutan. Letusan awal tersebut menyebabkan terbentuknya beberapa lubang di kawah utara dan selatan Gunung Ciremai.

Menurut Batavia Nieuwsblad, lubang tersebut mengeluarkan uap dan abu terus-menerus dan kadang mengeluarkan suara ledakan besar yang disertai dengan lemparan batu sebesar kepala anak ke udara. Akibat aktivitas vulkanik tersebut semua vegetasi yang ada di dinding kawah telah mati karena tertutup lapisan abu yang cukup tebal.

Adanya aktivitas vulkanik di Gunung Ciremai, membuat Pemerintah Hindia Belanda mengirim seorang ahli Vulkanologi bernama Dr Neumann dan seorang mantri dari Dinas Vulkanologi. Menurut surat kabar De Indische Courant edisi 17 Juli 1937, disebutkan bahwa Neumann melakukan investigasi di Gunung Ciremai pada 25 sampai 28 Juni. Ia mengungkapkan di kawah barat yang berlokasi di Majalengka tidak menunjukkan aktivitas apapun.

Dua titik erupsi baru muncul di kawah timur yang mengeluarkan abu dan batu pada 24 Juni 1937. Abu yang disemburkan tersebut menyebabkan hujan abu ringan di perkebunan Argalingga, Kabupaten Majalengka. Lalu pada sore hari tanggal 27 Juni sekitar pukul 17.00 WIB, Neumann melakukan pengamatan letusan kedua setelah sebelumnya melakukan pengukuran suhu di danau kawah yang baru terbentuk pada siang hari sebelumnya.

Aktivitas kawah juga telah mengubah bentuk danau tersebut menjadi lubang besar dengan panjang 100 meter dan lebar 25 hingga 50 meter. Meski sudah tidak lagi terlihat bekas pembakaran aktivitas vulkanik, tapi pada 9 Juli terjadi letusan baru yang lebih dahsyat. Suara gemuruh yang hebat menyebabkan penduduk di beberapa desa di Kecamatan Mandirancan mengungsi.

“Menurut laporan telepon dari Neumann, empat titik letusan baru terbentuk di lereng utara gunung, dua di bagian dalam kawah timur dan dua di sisi luarnya. Retakan di dinding kawah ini juga terbentuk, membentang dari utara ke selatan, dengan retakan di bagian selatannya. Fumarol yang dihasilkan mengeluarkan uap air,” tulis De Indische Courant edisi 17 Juli 1937.

Akibat letusan tersebut, setelah berkonsultasi dengan Bupati Kuningan, Cirebon dan Majalengka. Pemerintah Hindia Belanda menetapkan zona berbahaya sementara. Untuk memperingatkan penduduk, pemerintah juga membangun pos di masing-masing zona berbahaya.

“Zona bahaya sementara telah ditetapkan, dengan batas barat membentang ke utara dari puncak hingga tepi timur Pegunungan Kromong (Perbatasan Cirebon-Majalengka), sementara batas timur membentuk garis yang membentang dari kawah hingga ke ibukota Kecamatan Mandirancan,” tulis De Indische Courant edisi 17 Juli 1937.

Selain membangun pos, Neumann bersama pemerintah juga mulai mengidentifikasi lokasi yang bisa dijadikan tempat pengungsian jika keadaan semakin bertambah buruk. Masyarakat juga dihimbau agar tetap tenang setelah menerima informasi dari pemerintah.

Sementara itu dalam surat kabar Het Niews Van Den Dag Voor Nederlandsch edisi 20 Juli 1937 disebutkan, meski kondisi tersebut tidak berbahaya, namun, semua orang harus menunggu dan waspada. Pasalnya, aktivitas Gunung Ciremai mirip dengan letusan Gunung Merapi. Menurut Neumann, jika letusan lava terus terjadi maka akan banyak terjadi letusan susulan.

Neumann sendiri sebelumnya ada di puncak untuk melakukan pengamatan, namun, telah berpindah dan menepati pos pengamatan baru yang lokasinya berada di lereng utara Gunung Ciremai. Sehari setelahnya, yakni pada tanggal 21 Juli 1937 dalam surat kabar De Locomotif melaporkan tentang seorang Hindia Belanda bernama EHH Buck yang melakukan perjalanan menuju kawah Gunung Ciremai pada hari Minggu.

Dalam pengamatannya disebutkan kawah tersebut sudah berbeda dibandingkan dua bulan yang lalu. Di lereng utara Ciremai arah pegunungan Kromong terdapat dua cincin letusan di tepi kawah yang tidak aktif. Namun, sebuah kawah baru terbentuk di lereng utara, dan di tepi lereng juga terbentuk enam kawah baru dengan aktivitas vulkanik yang cukup besar. Vegetasi di sekitar kawah juga sudah rata dengan tanah dan tertutup abu.

“Semua pohon di lereng utara rata dengan tanah dan tertutup abu. Daun-daun hijau masih menyembul di atas lapisan abu, memberi kesan bahwa semua ini baru saja terjadi. Batang-batang pohon gundul terlihat di dekat kawah. Seluruh area tersebut menyerupai gunung yang tertutup salju. Selain itu, terdapat asap belerang yang pekat,” tulis surat kabar De Locomotif edisi 21 Juli 1937.

Beberapa bulan setelahnya, yakni pada bulan Desember 1937 dalam surat kabar Algemeen Handelsblad edisi 28 Desember 1937 disebutkan tentang aktivitas terbaru dari Gunung Ciremai. Dalam penelitian yang dilakukan oleh ahli Vulkanologi Dr Stehn melaporkan bahwa letusan berkepanjangan terjadi pada tanggal 19 Desember 1937.

Akibat letusan tersebut, jumlah lubang yang mengeluarkan abu terus bertambah. Lubang yang mengeluarkan abu dan lumpur menyebabkan kerusakan pada tambak ikan dan sawah. Bahkan, diduga mengalami pendangkalan, di Cilengkrang beberapa mata air tidak lagi mengeluarkan air. Karena pasokan air terganggu, Stehn akan berbicara dengan warga terdampak dan meneliti lebih lanjut tentang hilangnya beberapa titik mata air tersebut.

Dalam data yang dimiliki Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) sendiri, Gunung Ciremai sempat mengalami beberapa kali erupsi. Pertama di tahun 1698, menurut catatan Bracamp (1919), disebutkan Gunung Ciremai atau Gunung Cirebon telah roboh dan mengakibatkan air meluap begitu tinggi hingga merusak tanah di sekitarnya.

Di tahun 1772 di mana terjadi letusan di kawah pusat. Dan di tahun 1775, dalam catatan seorang penjelajah bernama Junghun dan Taverne terjadi kembali letusan di kawah namun tidak menimbulkan kerusakan. Lalu pada tahun 1805 muncul hembusan yang sangat kuat dari uap belerang di bagian dinding selatan kawah dan menciptakan sebuah gua yang diberi nama gua Walet.

Pada tahun 1924, muncul lagi hembusan uap belerang dari dinding kawah barat. Lalu di tahun 1937-1951 terjadi beberapa kali letusan freatik yang disebabkan oleh pemanasan air di bawah tanah oleh magma atau batuan panas. Letusan ini menyebabkan kerusakan rumah warga di Kuningan, Majalengka dan Cirebon.

Pada tahun 1955 terjadi gempa tektonik yang menyebabkan kerusakan di rumah warga di Cilimus, Kuningan. Lalu pada tahun 1973 tepatnya di tanggal 16, 21, 26 April 1973 terjadi gempa tektonik di Desa Sunia, Majalengka.

Sementara itu, Humas Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Ady Sularso memaparkan sekarang Gunung Ciremai sudah menjadi gunung konservasi dengan aktivitas vulkaniknya masih tergolong aman.

“Sekarang Gunung Ciremai statusnya hutan konservasi dari 2004 sampai sekarang. Tujuannya untuk perlindungan dan pengawasan. Makanya pemanfaatan itu kebanyakan untuk wisata. Untuk sekarang masih aman. Karena kita setiap hari dapat laporan pemantauan dari pos Cilimus,” tutur Ady.

Sementara itu dilansir dari website MAGMA Indonesia yang merupakan situs laporan aktivitas gunung berapi tertulis, pada laporan pengamatan 24 jam di tanggal (13/8/2025). Disebutkan, untuk pengamatan klimatologi, Gunung Ciremai dalam kondisi cuaca cerah hingga mendung, angin lemah ke arah utara, selatan dan barat. Suhu udara sekitar 22-35°C.

Secara visual gunung api terlihat jelas hingga tertutup kabut. Dengan asap kawah yang nihil. Untuk pengamatan kegempaan, di Gunung Ciremai telah terjadi 4 kali gempa tektonik jauh dengan amputindo 1.5-56 mm, S-P 11.78-24.06 info dan lama gempa 17.85-156.81 info.

Meski terjadi gempa tektonik, secara keseluruhan, tingkat aktivitas Gunung Ciremai masih dalam kondisi level I atau normal. Masyarakat dihimbau agar tidak mendekati ke kawah Gunung Ciremai dalam radius 500 meter.

Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *