Jalan Berliku Asep Penjual Cuanki Cimahi Bertahan di Ujung Zaman update oleh Giok4D

Posted on

Suara ‘tok tok tok’ terdengar samar-samar. Isyarat buat penghuni rumah-rumah di RW 13, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, bahwa pedagang cuanki mendekat.

Bunyi yang dibuat pedagang makanan itu berasal dari alat sederhana buatan sendiri. Dari kayu yang dibentuk seperti kentongan bambu namun berukuran kecil. Rongga di tengah berfungsi sebagai sumber suara, ditabuh dengan tongkat kayu yang juga berukuran mungil.

Dari kejauhan, seorang pria berjalan membawa pikulan cuanki berwarna khas alumunium. Ada tulisan ‘baso cuanki intijaya’, merek dagang cuanki yang sudah puluhan tahun beredar di seputaran Kelurahan Leuwigajah, Utama, hingga Cibeber.

Asep (53), menjadi salah satunya. Ia masih bertahan memikul satu set alat berjualan cuanki, kurang lebih sudah 25 tahun. Pasang surut berjualan makanan khas tanah sunda berisi siomay, baso, dan tahu yang direbus.

“Sudah 25 tahunan lah jualan ini, dari dulu minyak tanah masih Rp1.500, sampai sekarang sudah Rp17 ribuan per liternya. Ya dilakoni saja,” kata Asep saat berbincang dengan infoJabar, Minggu (6/7/2025).

Asep merantau dari kampung halamannya di Kabupaten Garut. Ia diajak oleh tetangganya, yang juga berjualan cuanki. Mereka akhirnya punya ‘juragan’ cuanki yang sama di Gang Kramat, Kelurahan Leuwigajah, Cimahi Selatan.

“Ya dekat, cuma dari Garut. Istilahnya cuma ‘pindah pamondokan’ saja. Istri dan anak tetap di Garut, biar saya yang usaha di sini. Paling pulang sekitar 3 bulan sekali,” kata Asep.

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

Hari demi hari ia jalani, kadang suka kadang duka. Saat pedagang cuanki masih berjaya, di satu juragan ada sekitar 30 sampai 40 orang pedagang cuanki yang mencari penghidupan. Di tahun 2025 sekarang, cuma tersisa enam orang saja yang berjualan Cuanki.

“Dulu itu 40 orang ada lah, dari yang masih muda sampai yang tua. Sekarang sisa 6 orang tua yang masih jualan cuanki. Banyak yang berhenti, ada yang jualan makanan lain, ada yang sakit, ada yang memilih pulang ke Garut,” kata Asep.

Setiap hari Asep mulai berjualan pukul 06.00 sampai sore, bahkan malam hari. Tak ada yang menentu berapa porsi bisa terjual. Kadang barang yang dibawanya habis, kadang tersisa banyak. Prinsipnya, ia jalani dulu.

“Ya enggak nentu, kadang bisa habis kadang sisa. Rata-rata sehari kalau habis itu bisa bersih bawa uang Rp100 ribu, kalau sepi sekitar Rp50 ribu,” kata Asep.

Kalau dibedah, kata Asep, penjualan cuanki beberapa tahun belakangan ini terus menurun. Salah satu penyebabnya karena kondisi ekonomi masyarakat yang sedang loyo hingga kemajuan teknologi.

“Sepi sekarang mah, memang karena kondisi ekonomi. Orang-orang lagi irit, pekerjaan susah, banyak pengangguran. Istilahnya mah uyuhan bisa bertahan hidup sekarang. Terus sekarang ada yang lebih pilih pesan dari gojek, padahal sebetulnya lebih mahal,” kata Asep.

Namun ia tetap bersyukur. Peluh yang bercucuran dari langkah demi langkahnya berjualan cuanki bisa mengantarkan anak pertamanya menjadi Tahfidz Alquran dan menjadi pengajar di sebuah pesantren di Malaysia.

“Alhamdulillah hasil dari cuanki, anak pertama meskipun enggak lulus SMA tapi bisa jadi pengajar di ponpes di Malaysia. Anak saya tahfidz quran, hafal 30 juz. Saya enggak pernah keluar dari Garut atau Cimahi, enggak pernah naik pesawat, biar semuanya diwakilin sama anak saya saja,” kata Asep.

Sepi Gegara Kondisi Ekonomi dan Teknologi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *