Imbas Aksi Doxing Lembaga Publik, Pakar: Redam Kebebasan Ekspresi

Posted on

Dugaan tindakan doxing oleh akun resmi Diskominfo Provinsi Jawa Barat terhadap aktivis demokrasi Neni Nur Hayati memunculkan kekhawatiran serius atas menyusutnya ruang kritik dalam iklim demokrasi.

Kritik yang sebelumnya menjadi bagian wajar dari dinamika pemerintahan, kini justru dikhawatirkan dibalas dengan pola-pola pembungkaman yang bersifat psikologis, seperti penyebaran ulang foto disertai narasi yang mengarah pada tekanan terhadap individu. Hal tersebut diungkap Kristian Widya Wicaksono, pakar kebijakan publik dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar). Kristian menilai, langkah Diskominfo Jabar telah melampaui batas etika komunikasi publik.

“Dalam konteks ini, publikasi ulang foto Neni Nur Hayati oleh akun resmi Diskominfo Provinsi Jawa Barat tanpa persetujuan yang bersangkutan, disertai narasi yang menimbulkan tekanan psikologis, memenuhi ciri‐ciri doxing, yaitu penyebaran informasi pribadi untuk melemahkan posisi individu,” ujar Kristian, Selasa (22/7/2025).

Ia menekankan, praktik semacam ini secara langsung menciptakan efek menakut-nakuti yang bisa meredam semangat kritik terhadap kebijakan publik. “Praktik semacam ini cenderung menimbulkan efek menakut-nakuti bagi pihak yang mengkritik kebijakan publik dan berpotensi meredam kebebasan berekspresi,” katanya.

Ironisnya, pemerintahan di bawah kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi selama ini dikenal gencar mendorong komunikasi terbuka di media sosial. Namun, respons terhadap kritik seperti yang dialami Neni, menurut Kristian, mencerminkan ketidaksesuaian antara narasi keterbukaan dan realitas di lapangan.

“Kepemimpinan yang mengedepankan komunikasi terbuka melalui platform digital seyogianya memperluas ruang publik. Namun apabila kritik ditanggapi dengan penyebaran materi yang memojokkan individu, hal tersebut menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara retorika keterbukaan dan realitas penghormatan terhadap kebebasan berpendapat,” jelasnya.

“Dengan demikian, perlu dilakukan evaluasi mengenai mekanisme respons pemerintah daerah agar bersifat konstruktif dan menghargai pluralitas pandangan di negara demokrasi,” sambungnya.

Dari sisi hukum, Kristian menyoroti kemungkinan pelanggaran terhadap Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). “Berdasarkan Pasal 26 UU ITE, pengungkapan data pribadi, termasuk gambar wajah hanya diperkenankan dengan persetujuan subjek data kecuali diatur lain oleh undang-undang. Penggunaan foto tanpa izin bisa dikategorikan sebagai pelanggaran, karena menyalahi prinsip persetujuan dan berpotensi menimbulkan kerugian moral,” katanya.

Kristian menambahkan, penyalahgunaan data pribadi ini dapat diproses melalui jalur hukum, baik perdata maupun pidana. “Secara teknis, hal ini dapat diproses melalui mekanisme perdata maupun pidana sesuai ketentuan UU ITE,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *