Hibah Pesantren Dihapus, Dedi Mulyadi Disorot Pimpinan DPRD Jabar

Posted on

Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Ono Surono merespons keputusan Gubernur Dedi Mulyadi yang mencoret alokasi hibah untuk pesantren dengan dalih menghindari ‘relasi politik’.

Ono berpendapat hal itu tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan falsafah kebangsaan yang menuntut adanya kolaborasi lintas sektor dimana keterlibatan masyarakat, tokoh agama, akademisi, hingga pejabat politik menjadi sangat penting dalam setiap proses penyusunan pembangunan.

“Implementasi prinsip kolaboratif di Jabar saat ini masih jauh dari harapan. Harusnya, kolaborasi hadir tidak hanya sebagai jargon dalam pidato atau dokumen formal, tetapi harus menjadi pijakan nyata dalam penyusunan kebijakan,” ujar Ono dalam keterangannya, Sabtu (26/4/2025).

Ono menjelaskan, dalam konteks perencanaan pembangunan daerah, semangat kolaborasi sebaiknya dibangun atas dasar pendekatan teknokratis, partisipatif, politis, serta pendekatan top-down dan bottom-up.

“Kolaborasi yang melibatkan kajian akademik dari perguruan tinggi, menempatkan masyarakat bukan hanya sebagai objek, tapi juga subjek pembangunan,” ujarnya.

“Ada juga aspek politis yang mengakomodasi visi misi kepala daerah serta anggota DPRD, kemudian melalui pendekatan top-down dan bottom-up. Ini memungkinkan komunikasi dua arah antara pemerintah pusat dan daerah dari atas ke bawah dan sebaliknya,” sambungnya.

Namun, lanjutnya, dalam pelaksanaannya di tahun 2025 ini, konsep kolaborasi tersebut menuai sorotan. Salah satu yang disorot adalah penyusunan APBD Jawa Barat, yang disebut menghapus sejumlah usulan masyarakat tanpa melalui pembahasan bersama DPRD.

Beberapa program yang terdampak di antaranya hibah untuk pondok pesantren, bantuan bagi organisasi kemasyarakatan, dan kegiatan usulan dari daerah. Langkah tersebut memicu reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat serta sejumlah fraksi di DPRD Jabar.

Mereka menilai, penghapusan itu tidak hanya menafikan aspirasi publik, tapi juga bertentangan dengan semangat kolaborasi dan prinsip musyawarah.

“Misalnya hibah Ponpes. Kalaupun ada ponpes yang diduga oleh gubernur memperoleh anggaran besar, maka perlu verifikasi. Jangan dicoret begitu saja tanpa melibatkan DPRD maupun dari ponpes tersebut. Kalaupun Ponpes menerima hibah hanya untuk memenuhi unsur atau aspek politik (relasi politik) itu sah saja. Sama halnya dengan gubernur datang ke suatu tempat, desa atau satu organisasi dan dia menjanjikan akan membantu,” tuturnya.

Lebih jauh, Ono berharap pimpinan daerah segera merespons keresahan masyarakat dan anggota dewan untuk merumuskan kembali kebijakan yang lebih adil dan komprehensif.

Ia juga menekankan pentingnya verifikasi terhadap pondok pesantren yang disebut-sebut menerima dana besar, agar tidak terjadi penghapusan secara sepihak tanpa diskusi bersama pihak terkait.

“Khususnya melalui proses pembangunan yang menyentuh langsung kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat,” pungkasnya.