Sekretaris Desa Sukaharja, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor Adi Purwanto, meluruskan kabar yang beredar mengenai adanya dua desa yang diagunkan. Menurutnya, narasi tersebut keliru dan perlu diluruskan agar tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
“Kalau desa diagunkan, kantor desa pindah kemana? Sampai sekarang kami bekerja normal. Saya tidak tahu narasi itu (dua desa diagunkan) muncul, ” tegas Adi, Jumat (26/9/2025).
Adi menjelaskan, yang sebenarnya terjadi adalah adanya tanah di dua desa yang masuk dalam perkara hukum dan sudah ditetapkan sebagai rampasan negara oleh Mahkamah Agung. Aset tersebut kini berada di bawah pengelolaan Pusat Pemulihan Aset Kejaksaan Agung.
Ia menyebut, sejak 2022, sejumlah pelayanan pertanahan terhambat karena status lahan di Blok Batukarut, Desa Sukaharja, seluas 52 hektare itu masuk daftar aset sitaan.
“Akta jual beli, mutasi SPPT, sampai pembuatan sertifikat baru tidak bisa diproses karena status tanahnya sudah dikonfirmasi kejaksaan sebagai rampasan,” beber Adi.
Adi menambahkan, akibat persoalan hukum tersebut, beberapa pihak yang hendak mengurus jual-beli tanah serta pengurusan lainnya terhambat.
“Persoalan ini membuat warga mengira desa mempersulit, padahal kami juga hanya menyesuaikan dengan putusan hukum yang ada,” ujarnya.
Menurutnya persoalan tanah ini juga semakin membingungkan lantaran ada nama warga desa di kecamatan yang tercatat sebagai pemilik dalam data aset, padahal pihak tersebut mengaku bukan pemilik tanah.
“Kalau ditanya ya data (aset yang disita)itu belum valid,” ujarnya.
Ia menegaskan, pelayanan pemerintahan desa tetap berjalan sebagaimana biasa. “Jadi tidak benar kalau ada kabar desa diagunkan. Yang benar, ada tanah di dua desa yang menjadi rampasan negara dan kini di bawah pengelolaan Kejaksaan Agung,” dia memungkasi.
Sejak sekitar 2019, warga di Desa Sukamulya dan Desa Sukaharja, Kabupaten Bogor, digegerkan dengan pemasangan plang bertuliskan “tanah ini dirampas / disita oleh negara” di banyak titik, seperti Tegalaban, Cangkore, Gunungsiem, Parungsanten, dan Cimanggu.
Warga berdalih bahwa lahan itu selama ini dikelola turun-temurun, tidak pernah dijual, namun tiba-tiba menjadi objek rampasan negara tanpa klarifikasi memadai.
Hambatan pelayanan administrasi tanah makin memperparah kondisi. Mutasi SPPT, akta jual beli, bahkan transaksi legal tak bisa diproses karena badan tanah dan pemerintah daerah tidak berani melanjutkan karena takut blokir.
Perkara ini berakar dari kredit bermasalah Bank Perkembangan Asia (BPA) yang mengagunkan puluhan bidang tanah milik PT Perkebunan dan Peternakan Nasional Gunung Batu, yang kemudian dinyatakan sebagai barang rampasan oleh MA.
Upaya gugatan untuk membatalkan eksekusi tanah telah melewati proses hingga MA, tetapi penggugat kalah, sehingga negara kini mengelola lahan tersebut sebagai aset rampasan negara dan akan dilelang.