Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mewacanakan pendidikan karakter bagi siswa yang dianggap sulit dibina dan terindikasi terlibat dalam pergaulan bebas atau tindakan kriminal. Dedi rencananya melibatkan TNI dan Polri.
Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Unpad Prof Muradi mengatakan wacana program itu bagus tapi harus diantisipasi dampaknya. “Menurut saya, selain bicara soal legal, sebenarnya apa yang disampaikan itu ada benarnya misalnya penggunaan barak militer atau polisi untuk anak-anak yang tidak bisa lagi didik di sekolah maupun di rumah,” kata Muradi dihubungi via sambungan telepon, Rabu (30/4/2025).
Meski setuju, Muradi juga menyebut klasifikasi siswa yang akan dikirim ke barak harus jelas. “Tes program awal-awal saya setuju, tapi klasifikasinya apakah pihak sekolah sudah tidak sanggup mendidik atau dipukul rata. Karena pengertian anak nakal atau anak geng motor perlu pendalaman tidak semata-mata dikirim,” ungkapnya.
Menurut Muradi, sebelum digulirkan, pemerintah juga harus mengukur dampak dari program ini. Muradi menyebut, program ini harus memberi efek jera dan bukan sebaliknya.
“Ada 3 konsekuensi, pertama biasanya akan drop, kedua konsekuensi sosial, katakanlah dijemput ke rumah, ketiga konsekuensi masa depan, pernah sekolah di barak, itu jadi problem, tapi punya problem di masa datang, bukan jadi memberi efek jera, efek jera ini jadi bahaya,” jelasnya.
Muradi menerangkan, secara prinsip tidak ada hal yang dilanggar terkait wacana program ini jika dilihat di UU No 3 Tahun 2002 bela negara, UUD 45 Pasal 27 dan 30, PP No 8 Tahun 2002 dan UU terkait komponen potensi paparan negara. “Enggak masalah. Hanya yang harus diantisipasi efeknya,” sebutnya.
“Kalau dilaksanakan perlu ada evaluasi berkala, misal di barak tertentu kumpul ratusan siswa, misalnya libatkan guru atau komponen lain, itu seperti apa, walaupun itu ada efek jera dan keluar jadi anak baik, tapi meminimalisir efek negatif, dia bisa trauma, malu, tercap nakal yang digembleng di barak polisi atau militer,” tambahnya.
Menurut Muradi, di Jabar pada zaman Ridwan Kamil ada namanya West Java Youth Camp, meskipun bukan anak-anak nakal, itu dilaksanakan setahun dua kali, kalau dikembangkan menarik, bentuknya bukan barak tapi camp. “Meskipun bentuknya di barak tapi materinya harus adaptif ya, merespons guru dan etika baru, harus dimulai sampai pada level efeknya bagus atau tidak. Harus ada efek jera supaya mereka terarah,” paparnya.
Selain itu, menurut Muradi jika program seperti ini sudah ada sejak tahun 1990 silam dan itu bisa jadi rujukan. “Tahun 1990 ada Program Taruna Satria, sebelumnya seperti itu, memang lama hanya seminggu, itu jadi pembelajaran baru, itu bisa jadi rujukan bahwa keberadaan program tersebut tidak memvonis tapi mengembalikan anak-anak nakal ini ke jalan yang benar,” pungkasnya.