Kesepian kini diakui sebagai ancaman serius. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan, dampak kesepian bukan hanya merusak kesehatan mental dan memicu penyakit tertentu, tetapi juga dapat memperpendek usia harapan hidup.
Mereka yang kehilangan kontak sosial, terisolasi dari lingkungan, dan merasa terabaikan, berisiko terjerumus dalam keterpurukan. Kondisi ini bisa menimbulkan rasa putus asa, bahkan berujung pada tindakan melukai diri hingga bunuh diri. Kesepian pun terbukti bukan sekadar persoalan emosional.
Data WHO mencatat, pada periode 2014-2019, kesepian dikaitkan dengan lebih dari 871.000 kematian setiap tahun atau setara 100 kematian per jam. Kasus meninggal dalam kesepian dilaporkan marak di negara maju, seperti Jepang dan Korea Selatan.
Fenomena ini juga mulai mengintai generasi muda. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Menurut dr Albert Maramis SpKJ dari Perhimpunan Dokter Kesehatan Jiwa Indonesia, tren keluhan kesepian di Tanah Air memang semakin sering ditemukan.
“Di awal-awal saya praktik nggak ada laporan demikian,” tegasnya dalam sebuah webinar di Jakarta Selatan, Rabu (10/10/2025).
Ia menambahkan, “Sementara di 5 tahun terakhir banyak yang mengeluh kesepian, bisa saja mulai ada keterbukaan, tetapi mungkin juga bukan karena itu.”
Albert menilai, meski faktor pemicu meningkatnya kasus belum jelas, langkah penting yang bisa dilakukan adalah membekali anak-anak dengan kemampuan self regulation.
“Atau memenuhi kebutuhan diri sendiri, tanpa harus bergantung kepada orang lain,” ujarnya.
Menurutnya, negara perlu berperan aktif menjaga kesejahteraan masyarakat. Tujuannya agar Indonesia tidak mengalami fenomena serupa Jepang, di mana kesepian berujung kematian. Apalagi, survei tentang kebahagiaan masyarakat Indonesia masih belum menunjukkan hasil optimal.
“Memang agak mengherankan melihat kesepian ini tetapi secara umum orang perlu belajar untuk menghadapi kesendiriannya,” kata Albert.
Sebagai upaya pencegahan, ia menyarankan masyarakat memperbanyak aktivitas positif. Tidak harus produktif, tetapi minimal memiliki kegiatan yang menyenangkan.
“Kegiatan yang harus dinikmati, apapun itu, karena secara konkret secara realistis kita perlu menyadari ketergantungan kita terhadap orang lain nggak bisa harus 100 persen,” pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di .