Zhao Weiguo, mantan Chairman perusahaan semikonduktor Tsinghua Unigroup, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan di Provinsi Jilin, China, setelah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan penggelapan dana dalam jumlah besar.
Mengutip dari infoINET, putusan pengadilan menyebutkan hukuman mati yang dijatuhkan disertai penangguhan eksekusi selama dua tahun. Apabila Zhao tidak melakukan pelanggaran hukum tambahan dalam kurun waktu tersebut, hukumannya akan dikonversi menjadi penjara seumur hidup.
Dikutip dari Reuters, Jumat (16/5/2025), selain hukuman mati dengan penangguhan, pengadilan juga menjatuhkan denda sebesar 12,67 juta dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp204 miliar (kurs Rp16.100) kepada Zhao. Ia dinyatakan bersalah karena secara ilegal mendistribusikan keuntungan perusahaan kepada rekan dan keluarganya sendiri.
Zhao pertama kali diselidiki oleh Komisi Pusat Inspeksi Disiplin Partai Komunis China (CCDI) pada tahun 2023 atas dugaan korupsi. Saat itu, ia masih dikenal sebagai sosok penting di balik ekspansi Tsinghua Unigroup, perusahaan teknologi yang digadang-gadang akan menjadi ujung tombak produksi chip canggih buatan dalam negeri.
Tsinghua Unigroup berdiri pada 1988 sebagai bagian dari inisiatif Tsinghua University, salah satu universitas paling bergengsi di China. Di bawah kepemimpinan Zhao, perusahaan sempat melakukan ekspansi besar-besaran melalui akuisisi sejumlah perusahaan chip lokal maupun asing. Namun, ekspansi itu disertai keputusan investasi kontroversial di luar industri teknologi, termasuk sektor properti hingga perjudian daring.
Akibat strategi yang dinilai sembrono, Unigroup gagal memenuhi kewajiban pembayaran obligasi pada akhir 2020 dan terjerumus dalam ancaman kebangkrutan. Pada 2022, perusahaan itu akhirnya direstrukturisasi dengan dukungan investor yang terafiliasi dengan negara, seperti Wise Road Capital dan Jianguang Asset Management.
Zhao, yang pernah masuk dalam daftar orang terkaya di China dengan estimasi kekayaan mencapai 2,8 miliar dolar AS, kini harus menghadapi kejatuhan dramatis akibat penyalahgunaan kekuasaan.
“Sebagai manajer perusahaan milik negara, dia dibutakan oleh keserakahan, bertindak gegabah, mengkhianati tugas dan misinya, menyalahgunakan sumber daya publik untuk keuntungan pribadi, mengubah properti publik menjadi miliknya sendiri, dan memperlakukan perusahaan negara sebagai wilayah pribadi,” tegas pengadilan dalam pernyataannya.
Artikel ini telah tayang di .