Duka masih menyelimuti kediaman keluarga Ulfa Yulia Lestari di Desa Pakuhaji, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat (KBB).
Ibu satu anak berusia 30 tahun itu meninggal dunia pada Minggu (29/6/2025) siang setelah berjuang melawan penyakit radang usus dan tumor jinak. Ia mengembuskan napas terakhir di RSUD Cibabat, Kota Cimahi.
Namun di baliknya, riuh soal dugaan lambatnya penanganan terhadap pasien yang masuk ke ruang perawatan sejak Jumat (27/6/2025) malam. Hal itu diungkapkan oleh Nandang Ruswana (34), suami mendiang Ulfa.
Berawal saat Ulfa merasakan nyeri di bagian perutnya yang membesar karena dibanjiri cairan. Ulfa dirujuk ke RSUD Cibabat setelah sebelumnya sempat menjalani perawatan di RS Dustira dan klinik swasta di daerah Baros, Kota Cimahi.
“Jadi istri saya masuk ruangan rawat Gedung E nomor 304 RSUD Cibabat itu hari Jumat malam, padahal datang dari pagi. Saya minta penanganan oleh dokter, tapi kata susternya dokter sedang nggak ada,” kata Nandang saat ditemui di rumah duka, Selasa (1/7/2025).
Ia berulangkali menanyakan hal serupa pada suster yang merawat istrinya. Dokter tak kunjung datang sehingga istrinya tak juga mendapatkan penanganan yang diinginkan keluarga, yakni penyedotan cairan di perut.
“Saya minta tolong, istri saya itu sudah kesakitan. Saya minta dibuang cairan di perutnya. Tapi suster bilang ‘mohon maaf katanya itu urusan dokter’. Saya berkali-kali tanya, gimana dokter kenapa nggak datang. Sementara istri saya sudah engap, nggak bisa napas. Cairan di perut sudah penuh, jantung sudah kerendam,” kata Nandang.
Suster yang datang hanya menjelaskan dokter tak bisa datang lantaran saat itu sedang hari libur akhir pekan. Nandang mendapatkan jawaban dari salah satu suster bahwa mereka tak bisa berbuat banyak.
“Memang waktu itu susternya bilang, mereka bisa melakukan penanganan tapi nggak ada izin dokter jadi nggak berani apa-apa. Tapi saya bilang, kalau ada apa-apa saya suaminya yang bertanggungjawab, yang penting ditangani dulu,” kata Nandang.
Harapan keluarga agar Ulfa mendapatkan penanganan berupa penyedotan cairan tak kunjung jadi kenyataan. Sampai akhirnya di hari Minggu kondisi mendiang Ulfa terus menurun namun penanganan tak juga diberikan.
“Jadi waktu istri saya sudah kritis juga, suster yang datang itu cuma 1. Setelah saya teriak-teriak, baru suster lainnya datang. Ada dokter juga, malah saya sempat ribut sama dokternya gara-gara saya protes soal istri saya nggak ditangani. Dokter bilang ke saya jangan ngomong macam-macam, karena mereka nggak cuma ngerawat 1 pasien. Padahal istri saya itu dari hari Jumat kondisinya sudah darurat,” kata Nandang.
Malang tak dapat ditolak, sekitar pukul 13.00 WIB, Ulfa akhirnya meninggal dunia. Video viral Nandang mencak-mencak di ruang perawatan disertai tangis histeris ibu mertuanya viral di media sosial. Narasinya tentu soal lambannya penanganan terhadap Ulfa oleh dokter di RSUD Cibabat.
“Memang di video viral itu saya, jadi saya marah banget karena sampai (istri) meninggal nggak ada tindakan sama sekali. Apa karena istri saya BPJS jadi nggak ditangani, beda dengan pasien umum,” ujar Nandang.
Di tengah duka dan rasa kecewa, Nandang dan mertuanya tak menuntut apa-apa. Mereka sudah ikhlas, namun meminta agar manajemen RSUD Cibabat berbenah dalam melayani pasien apapun latar belakangnya.
“Saya dan keluarga nggak menuntut apa-apa, cuma minta dokter itu jangan lalai menangani pasien. Nyawa pasien kritis itu yang utama, itu sudah tanggungjawabnya dokter. Jangan pasien kritis didiamkan. Biar istri saya saja yang mengalami kejadian seperti ini, jangan ada korban lain. Mentang-mentang istri saya BPJS, beda dengan pasien umum,” ujar Nandang.
Sementara itu sebelumnya, Direktur Utama RSUD Cibabat Sukwanto Gamalyono melalui keterangan tertulis yang diterima infoJabar mengatakan, bahwa keterlambatan penanganan pasien tak sesuai dengan kenyataannya.
“Sehubungan dengan beredarnya video viral di media sosial soal keluhan seorang suami terhadap penanganan medis istrinya dalam kondisi kritis di RSUD Cibabat, kami menegaskan bahwa dugaan keterlambatan penanganan tidak sesuai dengan fakta medis yang terjadi,” kata Sukwanto, Senin (30/6/2025).
Berdasarkan keterangan yang dihimpun, peristiwa tersebut terjadi 27 Juni 2025. Pasien kemudian dirawat sampai 29 Juni 2025. Namun kondisinya memburuk dan akhirnya meninggal dunia pada 29 Juni 2025.
“Kami memahami reaksi emosional dari pihak keluarga dalam situasi krisis tersebut. Namun, kami menegaskan bahwa dugaan keterlambatan penanganan tidak sesuai dengan fakta medis yang terjadi,” ujar Sukwanto.