Rumah di Jalan Kerukunan 9, Kampung Kelapa, Citayam Permai 1, tampak biasa saja. Tak ada tanda bahwa dari gang kecil itu, seorang bocah enam tahun bernama M. Arrasya Alfarizki pernah melangkah dengan tubuh penuh luka, mencari jajan dengan uang dua ribu rupiah di tangannya.
Irma Rahayu (37), warga yang rumahnya hanya berjarak sekitar 300 meter dari kontrakan keluarga korban, masih ingat betul siang itu, sekira akhir September lalu, ketika Rasya datang ke warungnya.
“Mata kirinya berdarah, putihnya merah. Mukanya penuh lebam. Ada benjolan besar di belakang kepala, gede banget,” kenang Irma saat berbincang dengan infoJabar, Kamis (23/10/2025).
Irma mengaku terkejut. Bocah itu berbicara cadel, bibirnya pecah dan berdarah, bahkan bengkak. “Katanya jatuh di kamar mandi, tapi dari luka-lukanya jelas bukan jatuh biasa,” ujarnya.
Sore itu, Irma hanya bisa menatap tanpa daya. Malamnya, ia melapor ke koordinator wilayah dan RT setempat. Mereka menyarankan agar ia merekam jika anak itu datang lagi, sekadar sebagai bukti.
Seminggu kemudian, Rasya datang kembali. Ia berjalan sendiri, memakai celana pendek dan kaus tipis. Wajahnya tampak lebih pucat, tubuhnya lebih kurus.
“Pas saya buka bajunya, punggungnya penuh lebam, tulangnya menonjol kayak bengkok. Di kulitnya ada bekas luka bakar dan sundutan rokok,” kata Irma pelan.
Irma sempat memideokan kondisi itu, khawatir anak itu tidak akan bertahan lama. “Saya cuma kepikiran, jangan-jangan anak ini bisa mati kalau terus digituin,” ucapnya lirih.
Namun sebelum semua itu, Irma sempat mencoba menggali kebenaran. Saat pertama kali bocah itu datang, ia mencoba bertanya pelan-pelan.
“Kamu dipukulin mamah ya?” tanya Irma waktu itu.
Rasya sempat diam, lalu mengangguk pelan. Tapi tak lama kemudian, ia menggeleng.
“Saya tanya lagi, kamu dipukulin ayah ya? Dia ngangguk, terus geleng lagi. Seolah bingung mau jujur atau takut,” kata Irma.
Bagi Irma, momen kecil itu membekas. Tatapan mata Rasya waktu itu, katanya, seperti meminta tolong tanpa suara.
Menurut Irma, keluarga korban dikenal sangat tertutup. Pintu rumah jarang terbuka, jendela hanya disingkap sedikit, sekadar celah tangan. Ayah korban bekerja serabutan di Pasar Minggu dan jarang pulang, sementara ibu tirinya jarang terlihat bergaul.
“Anak-anak saya pernah ajak Rasya main, tapi pintu langsung ditutup. Mamanya galak banget,” kata Irma.
Kamis sore adalah kali terakhir Irma melihat bocah itu hidup-hidup. Ia masih sempat jajan di warung dengan wajah lebam, namun tetap tersenyum.
“Dia kayak udah kebal dipukul. Anak kecil biasanya nangis, tapi dia cuma diem,” ujarnya.
Di tempat terpisah, salah seorang anak berusia enam tahun yang merupakan teman satu TK dengan korban menuturkan (wawancara didampingi orangtua saksi), bahwa Rasya cenderung sering menyendiri.
“Rasya tuh kagak mau kalau diajak main, ngajak main, tapi dia cuma diem aja,” ujar Ab kepada infoJabar.
Rasya lebih sering bengong di kelas. Saat jam istirahat, anak-anak lain berlarian, tapi Rasya hanya duduk diam di kursi.
“Kalau istirahat ya duduk aja, gak main,” ucapnya singkat.
Beberapa hari kemudian, kabar kematian Rasya datang. Senin pagi, Irma mendengar dari tetangga bahwa bocah itu meninggal dan sudah dibawa ke rumah neneknya yang juga berada di Bojonggede. Ia bergegas ke sana, tapi terlambat, Rasya sudah dikuburkan.
“Yang bikin saya kaget, orang tuanya malah cengengesan di makam. Gak ada sedihnya sama sekali,” katanya.
Di jalan setapak menuju pemakaman, Irma bertemu dengan Sugeng, petugas yang memandikan jenazah Rasya. Mereka berbincang singkat di bawah rindang pohon kamboja. Irma menceritakan kecurigaannya soal luka-luka di tubuh anak itu, dan Sugeng mengangguk pelan.
“Sepanjang saya kerja mandiin jenazah, khususnya anak-anak, baru kali ini saya lihat sedihnya jenazah yang tubuhnya hancur,” kata Sugeng, seperti ditirukan Irma.
Dari perbincangan singkat di jalan setapak itu, Irma dan Sugeng sepakat: sesuatu harus dilakukan. Mereka lalu melapor ke Polsek Bojonggede, membawa rekaman dan kesaksian yang dimiliki Irma.
Kini polisi menetapkan ibu tiri korban, Rita Novita (30), sebagai tersangka. Hasil penyidikan menyebut korban disiksa selama tiga hari berturut-turut sebelum akhirnya tewas. Barang bukti berupa sapu yang digunakan pelaku telah diamankan. Rita ditangkap sore harinya atau beberapa jam setelah jenazah Rasya dimakamkan.
Bagi Irma, langkah itu bukan sekadar bagian dari proses hukum. “Biar jelas, biar anak itu gak meninggal sia-sia,” katanya.
Kamis sore adalah kali terakhir Irma melihat bocah itu hidup-hidup. Ia masih sempat jajan di warung dengan wajah lebam, namun tetap tersenyum.
“Dia kayak udah kebal dipukul. Anak kecil biasanya nangis, tapi dia cuma diem,” ujarnya.
Di tempat terpisah, salah seorang anak berusia enam tahun yang merupakan teman satu TK dengan korban menuturkan (wawancara didampingi orangtua saksi), bahwa Rasya cenderung sering menyendiri.
“Rasya tuh kagak mau kalau diajak main, ngajak main, tapi dia cuma diem aja,” ujar Ab kepada infoJabar.
Rasya lebih sering bengong di kelas. Saat jam istirahat, anak-anak lain berlarian, tapi Rasya hanya duduk diam di kursi.
“Kalau istirahat ya duduk aja, gak main,” ucapnya singkat.
Beberapa hari kemudian, kabar kematian Rasya datang. Senin pagi, Irma mendengar dari tetangga bahwa bocah itu meninggal dan sudah dibawa ke rumah neneknya yang juga berada di Bojonggede. Ia bergegas ke sana, tapi terlambat, Rasya sudah dikuburkan.
“Yang bikin saya kaget, orang tuanya malah cengengesan di makam. Gak ada sedihnya sama sekali,” katanya.
Di jalan setapak menuju pemakaman, Irma bertemu dengan Sugeng, petugas yang memandikan jenazah Rasya. Mereka berbincang singkat di bawah rindang pohon kamboja. Irma menceritakan kecurigaannya soal luka-luka di tubuh anak itu, dan Sugeng mengangguk pelan.
“Sepanjang saya kerja mandiin jenazah, khususnya anak-anak, baru kali ini saya lihat sedihnya jenazah yang tubuhnya hancur,” kata Sugeng, seperti ditirukan Irma.
Dari perbincangan singkat di jalan setapak itu, Irma dan Sugeng sepakat: sesuatu harus dilakukan. Mereka lalu melapor ke Polsek Bojonggede, membawa rekaman dan kesaksian yang dimiliki Irma.
Kini polisi menetapkan ibu tiri korban, Rita Novita (30), sebagai tersangka. Hasil penyidikan menyebut korban disiksa selama tiga hari berturut-turut sebelum akhirnya tewas. Barang bukti berupa sapu yang digunakan pelaku telah diamankan. Rita ditangkap sore harinya atau beberapa jam setelah jenazah Rasya dimakamkan.
Bagi Irma, langkah itu bukan sekadar bagian dari proses hukum. “Biar jelas, biar anak itu gak meninggal sia-sia,” katanya.
