Di tengah suhu panas dataran rendah Kecamatan Gunungguruh, Kabupaten Sukabumi, hamparan tanaman stroberi justru tumbuh subur. Kebun stroberi seluas 700 meter persegi itu dikelola oleh seorang petani muda bernama Muhamad Dikri (33).
Uniknya, sebelum menjadi petani, Dikri adalah lulusan SMK jurusan teknologi informasi dan pernah bekerja di beberapa pabrik di sekitar Sukabumi.
“Awalnya saya kerja biasa, sempat di pabrik juga, tapi akhirnya mutusin resign dan fokus ke pertanian. Saya sekolah lulusan TI, pemrograman,” ujar Dikri saat ditemui infoJabar, Selasa (10/6/2025).
Kecintaannya pada tanaman stroberi sudah muncul sejak SD. Ia sempat menanam di lahan belakang rumah sebelum akhirnya serius membuka kebun sendiri pada 2019.
Tak seperti stroberi pada umumnya yang tumbuh baik di dataran tinggi, kebun stroberi Dikri ini berdiri di ketinggian sekitar 400 meter di atas permukaan laut. Suhu siang hari bisa mencapai 32 hingga 33 derajat Celsius saat musim kemarau. Kondisi inilah yang membuat perawatan stroberi di sini jauh lebih menantang.
“Stroberi di dataran rendah itu sensitif. Nggak bisa disamakan perlakuannya dengan dataran tinggi. Racikan pupuknya pun beda, saya sempat coba cara petani Lembang tapi nggak cocok, akhirnya racik sendiri,” jelasnya.
Menurutnya, ukuran stroberi yang ditanam di kebunnya memang tak sebesar stroberi dataran tinggi, rata-rata hanya 20 sampai 30 gram untuk buah pertama. Namun, rasa buah cenderung lebih manis, terutama saat musim kemarau. Kini Dikri punya delapan jenis stroberi, mulai dari mencir, California, pink bel asal Korea, hingga jenis jumbo Bali.
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
Dikri tidak hanya menghasilkan buah untuk dijual, tapi juga dibuka sebagai agrowisata. Pengunjung bisa memetik stroberi langsung di kebun dengan membayar Rp5.000 untuk tiket masuk dan Rp80.000 per kilogram stroberi yang dipetik.
Ia menyebut, pengunjungnya datang dari berbagai kota, bahkan pernah ada yang datang malam-malam dari Tangerang karena sang istri sedang ngidam memetik stroberi.
Saat musim panen normal, Dikri bisa memanen hingga 50 kilogram stroberi per bulan. Omzet bulanannya berkisar antara Rp4 juta sampai Rp6 juta, namun pernah tembus Rp10 juta pada September 2024. Pendapatan itu berasal dari penjualan buah, bibit, hingga pengunjung yang datang langsung.
Meski begitu, perjalanan bertani bukan tanpa hambatan. Tantangan cuaca dan hama seringkali membuatnya gagal panen. Saat awal musim hujan, misalnya, banyak buah yang rusak dan tidak bisa dijual.
“Musuh utama itu trip, terus jamur kalau musim hujan. Produksi jadi nggak stabil. Dulu kalau saya menghalau hama, ngambil anak kodok dari sawah, kita sebar ke sini, tapi dampaknya mengundang ular,” ucapnya.
Dikri kini dibantu oleh dua pekerja di kebunnya. Ia juga berharap suatu saat bisa membangun greenhouse untuk menjaga kestabilan produksi saat cuaca ekstrem. Untuk saat ini, ia memilih fokus memperbanyak varietas stroberi dengan rasa yang unik agar pengunjung mendapat pengalaman berbeda setiap datang.
“Saya belum pernah coba silangkan varietas baru karena memang agak ribet dan banyak gagalnya. Saya fokusnya produksi dulu aja,” sambungnya.
Dengan latar belakang pendidikan IT, Dikri membuktikan bahwa dunia digital dan dunia pertanian bisa saling melengkapi. Bagi Dikri, menjadi petani bukan pilihan terakhir, justru langkah awal untuk hidup yang lebih dekat dengan alam dan mandiri secara ekonomi.