Dewan Soroti Pajak dan Retribusi di Indramayu yang Masih Semrawut

Posted on

Pajak dan retribusi daerah di Kabupaten Indramayu jadi sorotan sejumlah anggota DPRD. Pasalnya dalam penyerapannya dewan menilai kurang optimal.

Sejumlah isu tersebut muncul saat Panitia Khusus (Pansus) 7 DPRD Kabupaten Indramayu membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang pajak dan retribusi daerah. Beberapa poin yang diajukan oleh pemda Indramayu masih menjadi perdebatan.

Di antaranya tentang perhitungan tarif pajak bumi dan banhun (PBB), pencabutan sistem retribusi di kawasan wisata Bojongsari dan pantai Tirtamaya. Penetapan tarif layanan kesehatan hingga pajak restoran sebagai sumber PAD baru.

Anggi Novia, anggota Pansus dari fraksi PDIP menyebut, pencabutan kawasan wisata Bojongsari dari zona aset lebih efektif. Sehingga, jika masuk dalam zona aset akan bisa dikelola oleh pihak ketiga.

“Nanti masuk zona aset ya, maksudnya wilayah aset gitu biar bisa dikerjasamakan dengan pihak ketiga. Karena kalau kita lakukan pemeliharaan sendiri kan lumayan ya,” kata Anggi kepada infoJabar, Sabtu (10/5/2025).

Poin perhitungan tarif pajak bumi dan bangunan di Kabupaten Indramayu juga menjadi perdebatan sengit. Terutama tentang pengklasteran tarif, rens tarif hingga penetapan tarif.

Di sisi lain, politisi PDIP itu menilai penetapan tarif harus melihat kesanggupan masyarakat. Apalagi saat ini, rendahnya penyerapan PBB masih tanda tanya.

“Pertama kita itu serapan PBB masih rendah ya masih di bawah 30 persen. Itu perlu dikaji lagi sama Pendapatan Daerah. Apakah PBB kita itu terlalu mahal? Atau akses pembayarannya sulit, atau ternyata masyarakat sudah membayar tapi belum sampe ke Bapendanya,” tanya Anggi.

Lebih mengagetkan, kata Anggi, pembahasan tentang retribusi zona parkir. Terutama parkir di pasar daerah yang saat ini justeru di pihak ketigakan sampai tahun 2029 nanti.

Menurutnya, jika retribusi itu diatur oleh dinas terkait akan lebih optimal sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Indramayu.

“Misalnya di salah satu pasar ya, pihak swasta ini hanya membayar Rp67 juta per tahun. Sedangkan retribusi parkir ini kan lumayan ya jadi perlu dikaji ulang,” katanya.

Termasuk seputar pajak restoran yang saat ini sudah berjalan. Dimana, restoran yang beromset Rp5 juta masuk dalam wajib pajak.

Menurut Anggi, keputusan itu harus dikaji ulang. Dikhawatirkan itu akan mengganggu pertumbuhan ekonomi masyarakat.

“Pendapatan omset Rp5 juta ini layak nggak jadi wajib pajak. Jangan sampai masyarakat yang baru tumbuh usaha karena kena pajak jadi pembeli membayar lebih mahal karena ada pajak 10 persen. Jangan sampai pertumbuhan ekonominya mati karena pajak,” katanya.

Anggi menegaskan Raperda tentang pajak dan retribusi daerah itu masih dalam perdebatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *