Setiap pagi, Denny Achmad memulai hari dengan catatan target. Apa yang harus selesai hari ini, apa yang tertunda kemarin, dan apa yang harus diputuskan minggu ini. Pola itu, menurutnya, sudah ia jalani sejak masih kuliah hingga kini memimpin Kejaksaan Negeri Kabupaten Bogor. Karena itu, ketika namanya kerap disebut sebagai rising star kejaksaan, Denny memilih merespons dengan dingin.
“Gue tidak merasa diri gue rising star. Itu cuma target-target gue yang terpenuhi,” ujarnya saat membuka perbincangan dengan infoJabar, awal pekan ini, di ruang kerjanya.
Namun rekam jejaknya bercerita lain. Di usia 47 tahun, Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bogor itu telah melewati hampir seluruh lintasan penting dalam karier jaksa. Seperti di bidang Pidana Umum, Pidana Khusus, Intelijen, Perdata dan Tata Usaha Negara, hingga posisi strategis di tingkat pusat. Ia menyebut pengalamannya sederhana, bertahan karena terbiasa belajar.
“Kalau lo tidak baca buku, lo tidak akan survive,” katanya.
Karier Denny ditempa sejak awal dengan cara yang tidak selalu ideal. Ia mengingat masa ketika masih muda dan justru menangani pekerjaan senior-seniornya.
“Waktu itu banyak yang males sidang. Gue yang bikin dakwaan, bikin tuntutan,” ujarnya.
Dari situ ia belajar membaca berkas, memahami substansi, dan menguasai perkara lintas bidang.
“Karena jadi ‘joki’ itulah gue survive sampai sekarang,” katanya lugas.
Lintasan lintas bidang itu membentuk gaya kepemimpinannya hari ini. Denny tidak menyukai apel panjang dan seremonial. Ia memilih duduk, berbincang, dan mendengar.
“Gue lebih suka ngopi kayak gini, ngobrol. Gue tanya, minggu ini kerjaan lo apa? Kendalanya apa?” ujarnya.
Ia menerapkan komunikasi bottom-up. Bagi Denny, pimpinan harus tahu kondisi. Dia mengistilahkan kepemimpinan yang diampunya sebagai sebuah sistem mekanis kendaraan yang di-drive ke tujuan tertentu.
“Mobil itu ada ban, ada spion, ada pengemudi. Semua harus tahu tujuannya mau ke mana,” katanya.
Sebagai pemimpin, ia menekankan sistem dan tenggat. SOP menjadi kunci agar organisasi tidak bergantung pada figur. “Setiap gue ditempatkan, gue pasti ada rencana jangka pendek, menengah, dan panjang. Kalau SOP sudah disepakati dan ditandatangani, pimpinan berganti pun tetap jalan.”
Pendekatan manajerial itu juga tercermin dalam sikapnya terhadap keterbukaan. Denny mendorong PPID berjalan aktif dan media sosial dimanfaatkan sebagai laporan publik.
“Medsos itu salah satu bentuk laporan kepada masyarakat. Ini loh yang sudah kita kerjakan,” katanya.
Ia ingin kejaksaan tidak tertutup, terlebih terhadap pelayanan kepada masyarakat. “Karena kita pelayan masyarakat,” ujarnya.
Pengalaman panjang membuat Denny juga tegas menjaga jarak dari godaan kekuasaan. Ia mengaku sudah lama menghadapi tawaran proyek dan kepentingan. “Kalau gue ikut, fungsi kontrol gue selesai,” katanya.
Ia bahkan mengingat pernah mendapat ancaman saat menangani perkara besar. “Pernah mau dibunuh. Ya santai aja,” ucapnya.
Sebagai jaksa yang relatif muda di jajarannya, ia sadar kecemburuan dan penilaian akan selalu ada. Namun ia memilih tidak merespons dengan konfrontasi.
“Mereka abang-abang gue, gue tidak akan ngutik-ngutik kebijakan lama. Kebijakan itu diambil sesuai zamannya” katanya dengan logat khas Betawi.
Baginya, kepemimpinan bukan soal cepat naik, melainkan soal kesiapan. Ketika baru memulai hari, catatan menjadi pengingat apa yang hendak dilakukan beserta tujuannya.
“Setiap hari gue bangun, gue punya catatan apa yang harus gue selesaikan,” ujarnya.
Sementara itu, dalam praktik pemerintahan daerah, kejaksaan tidak hanya hadir ketika persoalan hukum sudah terjadi. Jaksa justru berada di posisi strategis untuk mengawal pembangunan sejak tahap perencanaan agar tidak menyimpang dari aturan.
Di Kabupaten Bogor, fungsi itu dijalankan melalui pendampingan hukum, pengamanan kebijakan, dan pengawasan proyek strategis. Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Bogor, Denny Achmad, menjelaskan bagaimana kejaksaan menempatkan diri di tengah pembangunan tanpa kehilangan ketegasan hukum.
Berikut wawancara khusus infoJabar bersama Kajari Kabupaten Bogor Denny Ahmad.
Sebenarnya, di mana posisi kejaksaan dalam pembangunan daerah?
Kejaksaan itu bagian dari sistem penyelenggaraan pemerintahan. Kita harus linier dengan RPJMD, RPJPN, dan kebijakan pusat. Dari sisi tugas, kita mengamankan pembangunan supaya berjalan sesuai norma hukum.
Jadi jaksa tidak menunggu kasus terjadi?
Tidak. Justru kita masuk lebih awal. Kita ikut program pemerintah daerah supaya dari awal sudah benar dan tidak berujung masalah hukum.
Apa tujuan utama pendekatan seperti itu?
Tujuannya pencegahan. Goal akhirnya pembangunan, dan pembangunan itu untuk kesejahteraan masyarakat.
Kapan kejaksaan harus bertindak tegas?
Kalau sudah ada niat jahat, ada mens rea, ada perbuatan curang, itu jelas masuk ranah penindakan.
Pendampingan sering dianggap rawan konflik kepentingan. Batasnya di mana?
Kita memberi rekomendasi sesuai aturan. Kalau rekomendasi dijalankan, aman. Kalau dilanggar atau disembunyikan faktanya, itu tanggung jawab yang bersangkutan dan kita tindak.
Jadi pendampingan bukan tameng hukum?
Bukan. Pendampingan itu rambu, bukan kekebalan. Melanggar rambu, ya ada konsekuensinya.
Dalam proyek pembangunan, masalah biasanya muncul di tahap mana?
Banyaknya justru dari awal. Analisis kebutuhan, perencanaan, pengadaan. Kalau itu keliru, ujungnya pasti bermasalah.
Dana desa juga jadi perhatian kejaksaan?
Iya. Dana desa besar, tapi SDM desa beragam dan aturan sering berubah. Di situ rawan salah tafsir.
Maka digunakan Aplikasi Jaga Desa?
Betul. Itu alat untuk memonitor dan mencegah sejak dini, bukan untuk mencari-cari kesalahan.
Tidak semua penyimpangan langsung korupsi?
Tidak. Ada administrasi, ada perdata, ada pidana umum, ada pidana khusus. Masing-masing jalurnya beda.
Bagaimana kejaksaan memastikan tidak terjadi kriminalisasi kebijakan?
Kita patuh pada aturan, termasuk SKB Tiga Menteri. Semua harus melalui tahapan yang jelas.
Restorative justice juga diterapkan?
Iya, tapi syaratnya ketat. Ada ekspos berjenjang, verifikasi lapangan, persetujuan pimpinan, dan pengawasan.
Kalau ternyata ada cacat dalam proses restorative justice?
Bisa dicabut dan proses hukum dilanjutkan. Tidak ada yang kebal.
Abang ingin kejaksaan dipandang seperti apa oleh masyarakat?
Ketika masyarakat ada persoalan hukum, ingatnya jaksa. Datang ke kejaksaan.
Kalau ada yang sengaja ‘ngetes’ batas rekomendasi jaksa?
Gini aja, gue udah bilang jangan minum kopi itu. Kalau masih diminum diam-diam, ya salah sendiri dong, bro.
