Salah satu tempat makan sambil ngopi di Kota Bandung yang jarang sepi pengunjung adalah Warung Kopi Imah Babaturan. Berdiri sejak satu dekade lalu, warung yang mengedepankan sajian rumahan tersebut kini juga banyak diburu wisatawan luar kota.
Warung Kopi Imah Babaturan terletak di Jalan Kebon Bibit nomor 3 dan Jalan Tamansari nomor 51a Bandung. Begitu masuk, penunjung akan disuguhi suasana ramai khas warung makan, namun dengan versi yang lebih modern dan menyerupai kafe. Ada aneka makanan berat, camilan tradisional, hingga macam-macam menu kopi yang bisa dinikmati.
Salah satu keunikan Warung Kopi Imah Babaturan terletak pada kurasi menu-menu makanannnya. Seluruh resepnya didasarkan pada ingatan sang pemilik terhadap aneka masakan ibunya, yang ia nikmati sedari kecil.
“Setiap menu yang ada di Imah Babaturan itu selalu ada alasannya, enggak ada yang dibuat dengan ngarang atau mengada-ada. Semua pasti sudah pernah dibuat oleh ibu saya,” ungkap pemilik Imah Babaturan, Muhammad Nurul Huda saat ditemui infoJabar belum lama ini.
Aneka sajian tongseng, misanya. Menu-menu seperti tongseng kambing, tongseng sapi hingga tongseng ayam kampung dibuat karena dulu sang ibu sempat memiliki warung tongseng.
infoJabar berkesempatan mencicipi menu tongseng kambing yang menjadi salah satu santapan best seller di Imah Babaturan. Rasanya gurih dengan kuah yang ‘lekoh’. Aroma khas kambing masih jelas terasa, dan justru menambah sedap keseluruhan sajiannya.
Selain itu, ada juga menu cumi cabe hijau yang mana cuminya memakai cumi laut segar, mengikuti kebiasaan masak sang ibu. Umumnya, di Kota Bandung menu ini memakai cumi asin berukuran kecil.
“Ini adalah salah satu menu otentik signature-nya Imah Babaturan. Karena jaranga ada yang jual cumi segar dijadikan cumi cabai hijau. Ibu saya selalu pakai cumi ini, meskipun harganya sekarang di pasar mahal banget, naik turun seperti saham,” kelakar Uyul.
Menu lainnya yang terbilang unik adalah bala-bala sambal kacang hingga pisang goreng yang dipotong dadu. Uyul mengatakan, dulu ibunya selalu menyajikan pisang goreng dengan dipotong kecil-kecil agar semua anaknya bisa ikut mencicipi.
“Mungkin dulu ibu uangnya enggak banyak, sementara kalau bikin masakan apapun porsinya harus banyak karena anaknya ada tiga. Jadi pisang goreng dipotong kecil-kecil agar semua kebagian,” tuturnya.
Terbaru, ada menu nasi lodeh pindang tongkol yang lagi-lagi diramu dengan gaya yang biasanya ibunya sajikan. Uyul mengaku tidak mau membuat resep eksperimental yang belum pernah dimasak oleh sang ibu, kecuali bila hanya merubag sedikit tampilan masakannya.
“Ibu itu meninggal dunia ketika saya berusia 22 tahun. Jadi sepanjang itulah saya punya pengalaman mencicip masakan beliau. Ketika masak, saya ingat-ingat rasanya, dan buat semirip mungkin,” papar Uyul.
“Tidak mungkin saya bikin menu yang tidak pernah dimasak ibu, karena jadi tidak ada benchmarknya,” lanjutnya.
Seperti Bertandang ke Rumah Teman
Nama “Imah Babaturan” sendiri dalam Bahasa Sunda berarti “Rumah Teman”. Ia mengatakan, nama tersebut diambil karena rumahnya kerap dijadikan ‘basecamp’ atau tempat nongkrong teman-temannya sejak zaman sekolah hingga saat ini.
Selain untuk berkumpul, masakan sang ibu juga menjadi magnet tersendiri bagi teman-temannya untuk terus mendatangi rumahnya. Uyul mengatakan, rasa nikmat dari masakan ibunya membuat teman-temannya tak sungkan datang untuk makan, bahkan ketika ia tidak berada di rumah.
“Jadi anak-anak (teman-teman) tuh sudah memang diniatkan untuk makan kalau datang ke rumah. Lama-lama kepikiran, kenapa kita enggak coba bikin warung aja,” tuturnya.
Siapa sangka, pertemanan yang berawal dari kebiasaan nongkrong di rumah kini berkembang menjadi sebuah bisnis kuliner yang solid. Beberapa teman lama Uyul ikut terlibat, mulai dari menjadi pemasok bahan baku seperti batagor dan kerupuk, hingga membantu operasional sehari-hari.
“Ditambah lagi ada beberapa teman yang akhirnya masuk ke manajemen, ada yang jadi admin, ada yang orang finance, ada yang orang purchasing, termasuk barista di kedai kopi yang baru juga, berasal dari teman nongkrong” ujarnya.
Uyul berharap, Warung Imah Babaturan bisa terus menjadi ruang yang merawat rasa dan memori tentang kenikmatan masakan rumah. Bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk anaknya kelak, juga khalayak.
“Anak saya sekarang cuma doyan nasi goreng. Tapi saya pengen nanti dia tahu, dulu neneknya jago masak tongseng, masak cumi, bikin nasi uduk sambal kacang. Saya ingin warisan itu tetap hidup lewat tempat ini,” tutupnya.